“Kehidupan di Bali yang serba bebas, dirangkul teman yang suka menghambur-hamburkan uang dan sering ke klub malam, menjadikanku anak malam. Suatu ketika aku berada dalam titik terjenuh, hingga akhirnya diberi kesempatan kuliah di Surabaya kemudian perlahan mulai hijrah,” Jebink, 20 tahun.
Suaramuslim.net – Bali telah lama menjadi pusat clubbing dan acara-acara malam. Hampir setengah abad yang lalu, pulau ini menjadi lokasi populer bagi para peselancar, budaya santai yang mendukung suasana untuk pesta yang berkembang selama beberapa dekade.
Jebink -bukan nama sebenarnya- sebagaimana pemuda kebanyakan yang sewaktu kecil menerima pendidikan sekolah, berinteraksi sosial kemasyarakatan. Ia hidup tidak di dalam bayang-bayang siapa pun, menjadikannya sama seperti anak lainnya, yang membuatnya berbeda, Jebink berasal dari keluarga broken home.
Sejak orang tuanya berpisah, Jebink melakukan tindakan yang di luar batas. Menjadi anak malam, sering mabuk-mabukan, gonta-ganti pacar dan tak jarang masuk grup klub malam yang sudah mulai membudaya dalam kesehariannya.
“Sejak semester dua saat aku kelas 1 SMK mereka (orang tua) memutuskan untuk berpisah. Namun aku bila disuruh memilih (ikut ayah atau ibu), aku tidak memilih salah satunya, aku memilih keduanya, cuma aku ikut ayah,” ujarnya.
Jebink bukanlah orang yang sejak kecil sudah nakal. Saat kecil, ia merupakan anak rumahan, pemalu, kurang pergaulan, bahkan pernah nyantri di salah satu pondok pesantren di Denpasar Bali, meskipun tidak sampai selesai dan bertahan hanya satu bulan karena riwayat sakit yang dideritanya.
Kehidupan Saat Kecil
“Ayah pernah bilang ke aku, lakukan apa yang kamu mau lakukan yang penting kamu pikirkan akan merasakan susahnya di kemudian hari”, kenangnya.
Bagi Jebink, ayahnya merupakan sosok yang membebaskan anaknya. Tidak terlalu melarang apa pun yang dilakukan Jebink, namun ayahnya selalu berpesan bahwa segala hal yang akan dilakukan akan menuai konsekuensi.
Jebink beberapa kali tidak tinggal menetap, pernah tinggal di Denpasar, pernah pula menetap di daerah lain di Bali. Kini keluarganya sudah menetap di Denpasar. Dari Denpasar inilah Jebink memulai kenakalan remajanya.
Setelah pindah rumah, dari desa ke Denpasar, benih-benih kenakalan mulai terasa. Pasalnya selain keluarga yang broken home, ajakan teman baru yang merangkul dalam kenakalan membuatnya mencoba hal-hal yang baru.
Dari teman inilah Jebink mengenal kehidupan malam, klub bebas, dan kehidupan selayaknya anak malam yang selalu mencoba hal baru.
“Selain karena faktor broken home, juga di tempat baruku, aku tidak punya teman, akhirnya ada teman yang merangkul, dari teman ini pula belajar nakal,” terangnya.
“Aku mulai belajar merokok, dan kenakalan-kenakalan lain,” lanjutnya.
Apalagi setelah dinyatakan lulus dari SMK, kelakuan Jebink semakin menjadi-jadi. “Aku nakal sampai lulus SMK tahun 2016. Setelah lulus kerja selama 1 tahun, semakin tambah brutal, sampai berteman dengan pembunuh bayaran,” kenangnya.
Hingga akhirnya ada tawaran dari orang tua untuk kuliah, setelah kerja selama satu tahun. Orang tuanya menawari kuliah dan disuruh memilih di tiga tempat; Surabaya, Yogyakarta atau Jember. Jebink memilih Surabaya, dari kota pahlawan inilah dia mulai menapaki babak baru dalam kehidupannya.
Hijrah Saat memulai Kuliah
Hijrah adalah pindah, berpindahan untuk mencari sesuatu yang lebih baik. “Di Bali itu aku sering mikir sampai kapan aku akan berbuat seperti ini, tapi kayaknya susah sekali, kalau ada teman ngajak keluar itu, aku ikut,” terangnya.
Tahun 2017, merupakan momentum Jebink menemukan dirinya yang baru. Setelah menerima tawaran dari orang tuanya, ia meyakinkan dirinya bahwa inilah waktu untuk hijrah.
Meski belum sempurna, namun perlahan dengan pasti, kebaikan-kebaikan muncul seiring dengan kepindahannya ke Surabaya.
“Kalau di rumah ada yang ngajak kejelekan selalu aku iyakan, tetapi bila di Surabaya ada yang ngajak, itu selalu ta’ pikir berkali-kali. Aku sering kepikiran nanti kalau mati itu bagaimana,” ujarnya.
Di Surabaya, Jebink memulai kehidupan baru dengan ikut organisasi di kampusnya. Selain ikut organisasi dan mencari kebiasaan yang baik, Jebink juga menggunakan media sosial sebagai penunjang hijrahnya.
Selain hijrah, sebagaimana anak milenial lainnya yang sering menggunakan media sosial terutama Youtube, Jebink kecantol membuka ceramah tentang akhir zaman.
“Aku melihat video akhir zaman, ustaz Zulkifli di Youtube tentang tanda-tanda akhir zaman, mulai di situ aku takut, terus aku membuka Youtube lagi, selalu ada video akhir zaman semakin membuatku takut, hingga ketakukan tersebut berbuah istiqamah,” ucapnya.
Pria yang mengidolakan Ustaz Hanan Attaqi ini berharap perbuatan-perbuatan masa lalunya tidak terulang lagi. Baginya masa lalu biarlah menjadi masa lalu, yang terpenting adalah hari depannya.
“Harapan untuk masa depan, tidak mengulangi masa lalu, dan lebih baik di masa yang akan datang,” pungkasnya.
Reporter: Teguh Imami
Editor: Muhammad Nashir