Suaramuslim.net – Sejak reformasi yang kemudian mengamandemen UUD 1945, tanpa disadari kita telah mengganti negara yang dirahmati Allah menjadi negara yang Liberal Sekuler.
Indonesia hari ini bukan negara yang diproklamasikan 17 Agustus 1945, sebab kaidah berbangsa dan bernegara yang terurai di dalam pembukaan UUD 1945 diabaikan, tidak lagi menjadi pedoman, arah, tuntunan, cita-cita dalam berbangsa dan bernegara.
Apa masih ada rasa kecintaan kita pada bangsa dan negara ini? Apa masih ada rasa bangga menjadi bangsa ini dan apa masih ada kedaulatan bangsa ini sebagai bangsa yang merdeka?
Semua pertanyaan di atas bergelantung pada situasi 74 tahun peringatan kemerdekaan Indonesia.
Kita semakin tidak paham terhadap apa itu Indonesia dan apa itu Pancasila sebab 20 tahun telah dicekoki dan dicuci otak dengan Individualisme, Liberalisme dan Kapitalisme. Kita kagok dengan negara berdasarkan Pancasila, dianggapnya yang serba Liberal dan Kapitalis ini sebuah kemajuan, sementara sistem negara berdasarkan Pancasila adalah kemunduran.
Padahal pendiri negeri ini mendirikan negeri bukan asal jiplak dari negara asing, bahkan berani membuat sendiri sistem negaranya. Dasar yang dipakai digali dari budaya sendiri, bukan menjiplak dari bangsa lain.
Rupanya para pemimpin tidak memahami bahwa sistem yang dijalankan hari ini justru menjiplak dari asing dengan sangat mendewakan demokrasi liberal. Demokrasi liberal dengan sistem presidensial dianggap sebagai agama baru dan dianggap kemajuan, sementara sistem sendiri yang mengedepankan kekeluargaan dan gotong royong dianggap mundur, puritan.
Jokowi, Prabowo, Megawati, SBY, Jusuf Kalla, Surya Paloh, Amien Rais dan semua elite politik telah berkhianat terhadap Pancasila, sebab mereka bicaranya ideologi Pancasila tetapi yang dijalankan Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme. Rakyat ditipu, dikatakan negara berdasarkan Pancasila tetapi mereka menjalankan Liberalisme Kapitalisme.
Pesan-Pesan Bung Karno
Bung Karno mengatakan, “Bangsa atau rakyat adalah satu jiwa. Jangan kita kira seperti kursi-kursi yang dijajarkan. Nah, oleh karena bangsa atau rakyat adalah satu jiwa, maka kita pada waktu memikirkan dasar statis atau dasar dinamis bagi bangsa, tidak boleh mencari hal-hal di luar jiwa rakyat itu Beograd….” (Pancasila sebagai dasar negara, hlm. 37).
“Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang Beograd, mempunyai karakteristik Beograd. Oleh karena pada hakikatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian Beograd.” (Pancasila sebagai dasar negara, hlm. 7).
“Kita bangsa yang cinta perdamaian, tetapi lebih cinta kemerdekaan!” (Pidato HUT Proklamasi, 1946).
“Bangsa adalah segerombolan manusia yang keras. Ia punya keinginan bersatu dan mempunyai persamaan watak yang berdiam di atas satu geopolitik yang nyata satu persatuan.” (Pancasila sebagai dasar negara hlm. 58).
“Saya benci Imperialisme. Saya membenci Kolonialisme. Dan saya takut konsekuensi perjuangan terakhir mereka untuk hidup. Kami bertekad, bahwa bangsa kami, dan dunia secara keseluruhan, tidak akan menjadi tempat bermain dari satu sudut kecil dunia.” (Soekarno: Indonesia Menggugat).
“Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi “perkakasnya Tuhan” dan membuat kita menjadi “hidup di dalam roh.” (Suluh Indonesia Muda, 1928).
Pernyataan-pernyataan Soekarno ini harusnya menjadi pelajaran bagi mereka yang mengaku Soekarnois tetapi hari ini melihat ajaran Soekarno dibuang dan diganti dengan menjiplak Liberalisme dan Kapitalisme.
Mungkin Kongres PDIP yang baru digelar di Bali menghasilkan kesadaran bahwa negara ini telah melenceng dari Pancasila dan kesadaran mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi dan menghidupkan kembali GBHN perlu menjadi gerakan rakyat mengembalikan kedaulatan rakyat, mengembalikan Pancasila dan UUD 1945.
Mungkin bagi PDIP sudah mulai sadar kalau selama ini mengkhianati Pancasila dan ajaran Soekarno.
“Inti dari Nasionalisme kita adalah persatuan yang dilandasi kemanusiaan yang adil dan beradab jelas bukan Nasionalisme yang dijiplak dari luar bangsa kita. Nasionalisme kita dari Republik Indonesia dengan tegas menolak Chauvinisme itu. Maka itu di samping sila kebangsaan dengan lekas-lekas kita taruhkan sila perikemanusiaan.” (Pancasila sebagai dasar negara, hlm. 64).
“Nasionalisme yang sejati, nasionalismenya itu bukan semata-mata tiruan dari Nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan.” (Di bawah bendera revolusi, hlm. 5).
Realitasnya kita telah copy paste dari asing yang serba Liberal Kapitalis, akibatnya bangsa ini sudah kehilangan kedaulatannya, bukan hanya soal beras dan kebutuhan hidup yang diimpor, kuli bangunan, dosen sampai rektor akan impor. Begitu di titik nadirnya bangsa ini di usianya yang ke 74 tahun tidak merdeka lagi. Kita tersandera dengan utang yang menggunung, gali lubang tutup lubang, bahkan untuk membayar utang harus utang lagi.
Apa masih ada rasa kecintaan kita pada bangsa dan negara ini? Apa masih ada rasa bangga menjadi bangsa ini dan apa masih ada kedaulatan bangsa ini sebagai bangsa yang merdeka?
Semua pertanyaan di atas bergelantung pada situasi di mana berkumpul, berserikat, mengeluarkan pikiran dan pendapat bisa dipersekusi menjadi makar.
Rupanya kapal persatuan itu telah oleng dan bocor akibat badannya persatuan telah digerogoti oleh Individualisme dan Liberalisme. Amandemen UUD 1945 telah mengingkari salah satu prinsip yaitu persatuan Indonesia.
Hari ini kita mundur jauh ke belakang bahkan sebelum Indonesia merdeka sebab kita tidak meletakkan negara sebagai alat perjuangan. Kita kembali pada partai politik yang justru menjadi alat pecah belah dan alat merebut kekuasaan demi dinasti politik, demi kekuasaan para pendiri dinasti politik.
Rakyat hanya menjadi obyek politik di mana suara rakyat ditukar dengan sembako dan uang receh dan amanat penderitaan rakyat tidak lagi menjadi alat pijak perjuangan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita berada pada demokrasi para borjuis yang serba mahal dan serba post truth, menghalalkan segala cara demi kekuasaan.
Sistem politik tidak lagi memperkuat persatuan bangsa justru dengan demokrasi liberal ala partai politik terjadi pecah belah terhadap bangsa dan hilangnya tata nilai Pancasila. Rasa kebangsaan dan rasa Nasionalisme kita tergerus oleh pragmatisme sesaat yang hanya menguntungan individu dan golongan saja.
Pragmatisme menjalar ke seluruh tubuh bangsa dan negara. Menjalankan negara hanya dilihat dari untung dan rugi. Akibatnya semua kita gantungkan pada impor. Dari infrastruktur sampai kebutuhan makan kita impor. Di negara maritim yang mempunyai bentangan laut yang sangat luas, kita impor ikan, padahal sejatinya nenek moyang kita adalah pelaut.
Di usia yang ke-74 tahun Indonesia, sudah saatnya kita menemukan kembali keindonesiaan kita, temukan kembali jati diri bangsa. Kita kembalikan Pancasila dan UUD 1945 asli untuk merajut keindonesiaan kita, rakyat harus bergerak menuntut dikembalikan Pancasila dan UUD 1945 asli, jika kita masih menginginkan Indonesia lebih baik ke depan.
Peringatan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2019, jangan biarkan Indonesia menjadi jajahan Tiongkok.*
Prihandoyo Kuswanto
Penggiat Rumah Pancasila
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net