Apa maneh rek iku?
Apa sekolah yang ramah untuk anak yang berkecerdasan tinggi?
Terus apa hubungannya dengan kasus Sampang?
Sahabatku para pendidik sekalian,
Pagi kemarin, Sabtu 3 Februari 2018 di Sekolah Garasi diselenggarakan pencerahan untuk guru-guru Sekolah Garasi MI Amanah oleh Dr. Sakban dan rombongannya, bunda Rofiqah yang juga pasangan tercinta dari Dr. Sakban Rosidi Saminu, sebagai langkah nyata dari MoU kesepakatan kerjasama antara Parametrik Pedagogi in Loco dengan MI Amanah dalam rangka menuju MI Amanah yang ramah kecerdasan. Inklusi tanpa ramah kecerdasan sama saja dengan pepesan kosong.
Apa sih tujuan kita menyekolahkan anak?
Agar anak kita puinter poll, biar besok jadi anak hebat?
Agar anak kita bisa menyerap pelajaran dan mencapai nilai tertinggi?
Atau
Anak kita selalu bahagia dimanapun juga, di rumah, di sekolah dan dimana-mana?
Pernahkah sahabatku dulu saat sekolah atau kuliah merasa putus asa karena yang diajarkan guru terlalu cepat sehingga kita tidak mengerti sama sekali?
Pernahkah sahabatku dulu males masuk sekolah karena hari itu ada mata pelajaran yang tidak disukai, sampai membuat perut mules?
Dulu kaki saya sangat berat melangkah ke sekolah kalau ada jadwal olahraga, karena kecerdasan kinestetik saya sangat rendah.
Pernahkah sahabatku dulu sangat amat bersemangat karena hari itu ada mata pelajaran yang sahabatku sangat senangi?
Dulu saya sangat bersemangat kalau hari itu ada mata pelajaran Aljabar dan Ilmu Ukur, namun kesemangatan saya itu menjadi musnah saat saya ketemu dengan seorang guru yang menampar saya di depan kelas.
Nah sahabatku, kita pernah merasakan berbagai perasaan, antara sedih, bosan, marah, dendam, senang, bahagia, sejuta rasalah pokoknya rame-rame kayak Nano-Nano, apalagi masa SMP dan SMA, masa-masa jatuh cinta. Sehingga tepat sekali nyanyian Chrisye bahwa masa yang paling indah itu masa-masa di sekolah.
Kalau sahabatku seorang pendidik, pernahkah sahabatku begitu bersemangat ketika anak-anak kita menyambut dengan bersemangat kedatangan kita, atau sahabat merasa sedih, putus asa, marah dan seabreg perasaan yang bisa meningkatkan tensi darah ketika kedatangan kita tidak diacuhkan, ketika bibir ini sudah berbusa tapi anak-anak malah bergurau tanpa mengindahkan apa yang kita sampaikan, ketika ada anak yang tidak memperhatikan pelajaran malah membuat kacau kelas?
Kemarin bernostalgia dengan Dr. Sakban Rosidi Saminu, menceriterakan masa-masa di sekolah. Kebetulan kami berdua memiliki banyak persamaan, meski perbedaannya juga tidak hanya seperti bumi dengan langit, tetapi seperti dasar sumur dengan langit ketujuh. Kami sependapat betapa bosannya kami saat itu. Hanya kami, khususnya saya tidak mengekspresikan kebosanan itu dengan tindakan anarkis, karena saya khususnya termasuk anak yang radikal (radi kalem). Berbeda dengan anak saya ndukmbarep, ketika pelajaran terutama saat mengerjakan tugas mesti mengacaubalaukan kelas, saat kelas 1 dan 2 SD berlarian kesana-kemari, mengganggu teman-temannya. Ketika pak dan bunda gurunya melihat tugas yang harus dikerjakan sudah selesai. Karena itu, pak gurunya mendatangi saya pada saat awal kelas 2 dan menceriterakan anak mbarep saya. Anak saya dilompatkan ke kelas 3 dengan tujuan, agar beliau dan kelasnya terlepas dari gangguan anak saya dan biar anak saya kapok di kelas tiga yang lebih sulit. Alhamdulillah, mungkin anak saya anak pertama yang mengalami sekolah “akselerasi” di sekolah ndeso dan alhamdulillah pula akhirnya dia lulus dokter hewan termuda di IPB serta paling alhamdulillah, pada saat kelulusannya ada formasi dokter hewan di PNS, karena tahun-tahun berikutnya nggak ada lagi lowongan PNS untuk dokter hewan di kabupaten saya.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari cerita di atas?
Bahwa sering sekolah itu seperti penjara, bahwa sekolah itu seperti lembaga yang berkuasa memaksakan kehendak tanpa menghiraukan suara anak, bahwa sekolah itu tidak menyenangkan kecuali saat-saat ketemu pacar.
Maukah kita membuat sekolah itu membahagiakan anak?
Allah memberikan fitrah atau potensi dasar pada anak itu sangat beragam, sehingga anak itu unik, tidak ada duanya, bahkan untuk saudara kembar sekalipun. Disamping keberagaman fisik yang mudah kita amati dengan mata telanjang, juga ada keberagaman kecerdasan kepribadian, bakat dan minat. Keberagaman nonfisik ini ada yang bisa kita amati, ukur dan hitung (observable, measurable and tangible). Namun ada pula yang hanya bisa kita selami dengan hati melalui empati yang mendalam.
Lalu apa hubungannya dengan kasus Sampang?
Bisakah sahabatku berempati dengan menempatkan diri kita pada posisi H, anak pelaku pemukulan pada Pak Budi, gurunya. Bisakah kita bayangkan bagaimana perasaan anak saat mengikuti pelajaran seni di siang itu bila H tidak atau kurang memiliki bakat dan minat seni?
BORING….1000% BORING
Karena itu H menggoda teman-temannya, persis kelakuan anak mbarep saya dulu, yang ketika saya tanya mengapa kok menggoda dan mengganggu temannya. Jawaban anak saya, karena bosan dan untuk menghilangkan rasa bosan itu ia mengganggu kelas.
Kenapa H bisa tantrum?
Bagaimana perasaan sahabatku ketika dipermalukan di depan teman-temannya. Beberapa orang bisa hanya diam namun di hatinya tersulut dendam yang akan diingat sampai kapanpun, seperti yang saya rasakan dan alami saat saya digampar di depan kelas. Sampai saya setelah lulus kalau saya ketemu beliaunya, saya lebih baik menyingkir cari jalan lain, atau seolah-olah tak melihatnya.
Namun bagi beberapa orang yang memiliki keberanian dan sudah pada puncak kemarahannya, maka dia akan berada pada kondisi tantrum, marah tak terkendali. Karena H memiliki keahlian bela diri, maka pukulannya tanpa disadarinya memiliki kekuatan yang berlebih dibanding orang yang tidak memiliki ilmu bela diri dan mengarah tepat pada sasaran yang mematikan, sehingga terjadilah peristiwa yang membuat marah orang-orang pemarah, yang mungkin berbuat sama seperti yang dilakukan oleh H, bahkan mungkin lebih sadis lagi.
Itulah sahabatku para pendidik, mengapa perlunya berusaha menjadi dan mencapai sekolah yang ramah kecerdasan.
Ramah pertama mengacu pada sekolah harus mampu mengakomodasi, melayani, mendampingi dan membimbing anak sesuai dengan kecepatan dan kemampuan belajarnya. Konsekuensi dari hal ini adalah pembelajaran yang timeless tapi berorientasi kematangan perkembangan anak. Sebagian besar anak memiliki kecepatan dan kemampuan belajar normal, dan sebagian kecil ada yang lebih lambat namun juga ada sebagian kecil lain anak yang memiliki kecepatan dan kemampuan belajar yang lebih cepat. Sebagai sekolah inklusif, harus mampu melayani semua anak dengan berbagai kecepatan dan kemampuan belajarnya.
Alhamdulillah, Sekolah Garasi MI Amanah telah mampu meluluskan anak dalam waktu 8 tahun, sebagian besar anak lulus dalam 6 tahun dan sebagian besar lain dalam jumlah dan proporsi sama, anak yang lulus dalam 5 tahun dan ada sebagian kecil lain yang tamat 4 tahun. Kata Dr. Sakban, itulah realita keberagaman anak itu tersebar sesuai kurva normal dan ada pencilan di sudut kiri dan kanan yang ekstrem kelambatan maupun kecepatan dan kemampuan belajarnya.
Ramah kedua mengacu pada sekolah harus mampu memberikan layanan, mengakomodasi, mendampingi dan membimbing anak sesuai dengan bidang dan jenis kemampuan, bakat dan minat anak. Kecerdasan itu tidak hanya mengacu pada kecerdasan kognitif yang meliputi kecerdasan matematika, logika dan bahasa, namun meliputi semua kecerdasan majemuk. Jangan membandingkan anak satu dengan yang lain hanya dari satu sisi, melainkan harus dari berbagai kemampuan. Ada anak yang cerdas Matematika dan IPA, tapi gak bisa olahraga dan kinestetis seperti saya misalnya, ada pula anak yang cerdas sepakbola tapi tidak bisa matematika. Murid saya misalkan, ada yang mengalami disleksia dan diskalkula, tapi dia juara II Porseni MI tingkat kabupaten.
Jangan paksakan anak untuk cerdas dalam semua bidang, meskipun adapula anak yang kecerdasan multitalenta, meski jumlahnya sangat sedikit, antara lain Dr Sakban ini, cerdas hampir dalam semua kecerdasan. Dalam kenyataan kehidupan, tidak semua apa yang kita terima itu kita perlukan dan gunakan dalam kehidupan keseharian kita. Kalkulus, Fisika, Matematika, Biologi dan sebagainya tidak semua kita amalkan dalam keseharian kita. Logaritma, sinus, kosinus, tangen, kotangen sampai gakkotangen hanya mengisi memori pendek kita dan saat ini untuk sebagian besar kita tidak kita perlukan. Pakar pendidikan fungsional menyatakan hanya 15% yang kita terima di sekolah yang kita gunakan dalam kehidupan keseharian kita. Ini memerlukan penataan ulang sistem pendidikan kita. Betapa banyak pembiayaan, waktu, tenaga yang sia-sia saat anak tersesat masuk jurusan yang tidak sesuai dengan bidang ilmu yang digelutinya saat kuliah, meski ada juga hikmahnya, seperti sahabat Gus Lukman Hakim yang sarjana sipil dan arsitek namun lebih nyaman bergaul dengan anak-anaknya di sekolah dolan, meski ilmu arsiteknya terpakai juga waktu mendesain sekolah dolan.
Ayo kita buat sekolah kita sekolah ramah anak, khususnya ramah terhadap kecerdasan anak dengan melayani, mendampingi, mengakomodasi semua kecepatan dan kemampuan belajarnya serta menurut bakat, minat dan kemampuan dalam bidang kecerdasannya
Oleh: Kentar Budhojo
*Ditulis di Turen 3 Februari 2018
*Direktur (DIREKen baTUR) Sekolah Garasi Malang
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net