Seberapa yang sadar jika lagu anak saat ini justru mendidik tidak tepat. Ada yang mengajari tidak sopan dan ambiguitas. Itulah yang rasakan Sigit Baskoro, musisi dari Jogja yang berjuang untuk Islam melalui musik. Ia menyatakan keprihatinan terhadap musik anak tidak tepat. Sehingga muncul pertanyaan siapa sebenarnya pencipta lagu-lagu tersebut dan kenapa anonim.
Sigit menyampaikan kegelisahan itu pada Pelatihan Cipta Lagu Anak (2/2/2018) di Aula Dinas Pendidikan Kebudayaan dan Olahraga Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Di hadapan 110 guru PAUD dan guru sekolah dasar kelas, Sigit mencontohkan lagu-lagu anak yang bermasalah.
“Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya sampai ke meletus balonku dor.” Menurut ia, sejak dini anak diajari ledakan.
“Nona manis siapa yang punya, yang punya kita semua.” Kalimat lagu tersebut mengajarkan untuk memiliki secara beramai-ramai nona tersebut.
“Nenek sudah tua, giginya tinggal dua. Secara tidak langsung, ini mengajarkan anak untuk tidak sopan,” ungkap musisi yang tinggal kawasan Prambanan, Klaten ini.
Matahari tenggelam hari sudah malam, terdengar suara burung hantu, suaranya merdu, sejak kapan burung hantu suaranya merdu, tambahnya.
Keganjilan-keganjilan ini mendorong kuat mencipta lagu. Inspirasinya dari Al Quran dan hadits. Ini bisa dicari dengan nama “The Q” di youtube. Acara yang dimulai pukul 13.00 ini ditutup pada 16.30 WIB.
Naskah dan foto: Muslih Marju
Penulis adalah penyuka tumpukan kata. Tinggal di Tulungagung. Aktif di Lembaga Seni Budaya dan Olahraga-Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kab. Tulungagung.
Editor: Oki Aryono