Suaramuslim.net – “Pemalas, kau tidak pantas sukarelawan di sekolah ini, sekolah terbaik di kota ini” pagi-pagi terdengar suara menggelegar dari ruang kepala sekolah.
“Maaf bu, anak saya seminggu ini panas tinggi, sehingga tadi saya terlambat karena semalam menjaga anak yang menangis terus” jawab seorang guru muda yang gemetar ketakutan duduk di hadapan meja kepala sekolah.
“Anak itu urusanmu bukan urusanku, kalau kamu nggak sanggup, mundur saja. Saya tidak ingin sekolah saya tercemar karena kamu. Beberapa hari ini kamu selalu datang terlambat, bagaimana pandangan orangtua murid melihat ada guru yang terlambat!”
“Tapi bu…” belum habis guru muda itu berkata, kepala sekolah sudah menggebrak meja dengan tangannya.
“Tidak ada tapi-tapian, pokoknya bisa datang jam 06.00 atau kamu dipecat…!!!”
Percakapan di atas benar-benar terjadi beberapa bulan yang lalu di sebuah SD favorit yang setiap pagi dan siang mobil-mobil bermerk antri di jalan depan sekolah untuk antar jemput muridnya. Bisa sahabat bayangkan betapa hancur sang sukarelawan, menghadapi pilihan dilematis antara mengasuh sang putra semata wayang yang sakit-sakitan atau tetap menjadi sukarelawan (sukwan) di sekolah favorit itu.
Kalau sukwan itu tetap mengajar di sekolah itu, ketika di depan kelas, apakah bisa konsentrasi kepada anak didik di depannya dan mapel yang disampaikan? Kalau toh sukwan tadi “terpaksa” tetap menjadi guru di sekolah itu, apakah dia saat mengajar bisa mendidik anak-anak didiknya dengan sepenuh hati, atau hanya sekedar mengajar, menyampaikan materi yang harus diajarkan pada anak didiknya?
Dalam zaman yang serba “pabrikan” menurut istilah psikolog Kang Salis dari PAUS Pelangiku Jombang, maka dikembangkan berbagai standar yang harus menjadi acuan perilaku guru, kepala sekolah, murid dan semua warga sekolah sedemikian rinci dan rigidnya, sehingga saya lebih suka menyebutnya sebagai “sekolah robotic”, sekolah yang seluruh warganya bergerak bagaikan robot yang perilakunya dikendalikan secara ketat oleh mahluk yang namanya SOP, Standard Operation Procedure.
Bandingkan dengan capture percakapan via wa berikut ini di Sekolah Garasi:
“Bunda Ruha bagaimana keadaan Uzan, sudah baik?”
“Masih panas dan semalam rewel terus”
“Sudah dibawa ke Puskesmas?”
“Semalam bu, ada gejala tipus”
“Ya sudah, bunda di rumah dulu, jaga Uzan sampai sembuh betul”
“Terima kasih bu, rencana pembelajaran hari ini di rak saya bu”
“Ya bu, semoga Uzan cepet sembuh, biar bunda digantikan oleh bunda yang lain”.
Kalau kita berpandangan pada guru sebagai pekerja, maka yang menjadi acuan adalah kinerja guru, sesuai, melebihi atau kurang dari kriteria yang ditetapkan. Guru harus melaksanakan pekerjaan sesuai dengan standar yang ditetapkan, tanpa ada alasan untuk tidak bisa mencapainya. Hubungan guru dengan sekolah adalah hubungan kerja, semua masalah di luar itu bukan urusan sekolah. Anak sakit, kendaraan macet, terlambat bangun dan sebagainya sekolah tidak mau tahu. Pokoknya guru harus bekerja sesuai standar. Supervisi bukan untuk membantu kesulitan guru, melainkan ajang untuk memarahi guru. Ada keterpisahan antara kepala sekolah sebagai atasan dan guru sebagai pekerja.
Pekerjaan guru berbeda dengan pekerjaan lain, khususnya pekerjaan “pabrikan”, yang hasilnya berupa fisik, yang bisa diamati, bisa diukur dan dihitung (observable, measurable and tangible). Guru yang habis dibentak kepala sekolah bisa saja tetap ada di depan kelas sampai jam pulang, mengajar mapel sesuai dengan rencana, namun jangan diharap guru tersebut mengajar dengan sepenuh hati mendidik anak-anaknya sesuai dengan karakter individualnya. Yang penting just do it, dia sudah mengajar sesuai SOP, dan hasilnya mungkin juga sesuai dengan target kurikulum hari itu. Dia bisa mengajar dengan potong kompas melalui drilling sehingga anak-anak hafal, atau secara behavioristik dengan memaksa siswa untuk belajar dan menghukum siswa yang tidak mencapai target. Tidak terpikirkan lagi apakah anak akan menikmati belajarnya atau malah menyiksa siswa, tidak peduli lagi apakah yang diajarkan menancap di hati sebagai kepribadian siswa atau sekedar just to know and just to do saja,
Atas dasar pemikiran dan pengalaman saya dalam mendidik dan mengelola lembaga pendidikan selama ini, maka saya mengembangkan pengelolaan sekolah berbasis kekeluargaan. Guru, kepala sekolah, anak, orangtua siswa dan pengelola yayasan adalah anggota keluarga besar Sekolah Garasi. Kami tidak pernah menganggap guru itu sebagai pekerja, murid itu hanya sebagai obyek atau sasaran pembelajaran, dan orangtua sebagai sekedar pendukung. “WE ARE THE ONE, ONE FAMILY, ONE HEART”.
Apa beda prinsipil antara mengelola guru sebagai pekerja dan sebagai anggota keluarga?
Pertama, dalam guru sebagai pekerja, maka urusan dan masalah guru yang boleh ada dalam hubungan sekolah adalah semata urusan dan masalah pekerjaan, di luar itu sekolah tidak mau tahu. Masalah anak sakit, suami KDRT, rumah kontrakan habis bukan masalah sekolah dan sekolah tidak mau tahu. Sementara dalam pengelolaan kekeluargaan, semua masalah guru kalau bisa sekolah berusaha membantu sebisa mungkin yang bisa dilakukan.
Kedua, dalam guru sebagai pekerja maka yang berurusan dengan sekolah adalah individu guru karena yang bekerja adalah guru yang bersangkutan. Sementara dalam sekolah sebagai keluarga, yang berhubungan dengan guru tidak hanya guru yang bersangkutan sebagai individu, namun guru tersebut bersama keluarganya.
Ketiga, hubungan guru sebagai individu dalam team work sekolah yang masing-masing mengerjakan tugasnya sendiri-sendiri secara job description, menyebabkan bila ada anggota tim yang tidak bekerja sesuai standar maka hasil kerja secara keseluruhan akan terganggu. Sementara dalam manajemen kekeluargaan, intinya adalah kebersamaan. Bila ada gangguan salah satu anggota team work maka anggota team work yang lain akan mengambil alih masalah tersebut sehingga hasil akhir tetap dan tidak terganggu.
Keempat, manusia bukan mahluk robotik dengan hanya tubuh dan otak sebagai pengendali segalanya. Manusia juga memiliki hati, perasaan dan emosi yang sangat menentukan kinerjanya. Manusia akan bekerja dengan sepenuh tenaga dan hatinya bila dalam situasi yang aman dan nyaman, Kepuasan kerja akan meningkatkan kinerja, sementara meski gaji tinggi dalam suasana yang tidak aman dan nyaman akan menyebabkan turunnya kinerja.
Kelima, dampak dari butir keempat di atas, maka dalam mengelola sekolah sebagai keluarga diperlukan empati yang tinggi dari setiap anggota keluarga, baik kepala sekolah, guru, anak dan keluarganya. Dengan empati dan semangat kebersamaan maka apabila ada yang memiliki masalah, apakah itu guru, orangtua siswa, anak maka akan terjadi semangat untuk saling membantu, melengkapi dan mengatasi kelemahan anggota keluarga yang lain.
Terakhir, keluarga memiliki makna segalanya bagi individu. Karena itu urusan keluarga menjadi prioritas utama untuk diatasi daripada urusan pekerjaan, Tidak ada maknanya terpaksa bekerja sesuai jam kerja namun anaknya terlantar sakit di rumah. Kalau ada masalah keluarga, seperti anak sakit, masalah “dapur”, masalah suami/istri dan masalah lain, beri kesempatan guru yang bersangkutan menyelesaikan masalahnya secara tuntas lebih dulu. Pekerjaan di sekolah bisa diserahkan ke yang lain selama masih ada semangat kebersamaan dan empati satu terhadap yang lain. Kalau kita bisa membantu akan lebih baik, selain memberi kesempatan kepada guru untuk menjadikan masalah keluarga sebagai prioritas pribadinya.
Sekarang, masihkah kita ingin guru kita hanya sebagai pekerja?
Oleh: Kentar Budhojo
*Direktur (DIREKen baTUR) Sekolah Garasi Malang
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net