Suaramuslim.net – Seharian ini saya digoda dengan sebuah istilah Marhaen, saya mencoba menerawang dalam batin, Siapakah Marhaen itu? Terlalu banyak orang melabelkan dirinya sebagai kaum Marhaen, namun apa dan bagaimana ruh Marhaen itu? Sepertinya saya masih harus mencarinya lagi.
Apakah Marhaen Itu Melarat?
Suatu saat Soekarno muda sedang merenung dan memikirkan bagaimana rakyat bangsa Indonesia bisa bergerak dan membebaskan dirinya dari cengkraman Kapitalisme Belanda.
Soekarno sudah lama merenungi, atau lebih tepatnya berusaha memahami, tentang kelas-kelas dalam masyarakat Indonesia. Saat itu, ia sedang bergumul dengan persoalan-persoalan teoritik. Akhirnya, pada suatu pagi, Bung Karno memilih mendayung sepeda tanpa tujuan. Mungkin sekadar “jalan-jalan”.
Sampailah dia di sebuah ladang persawahan, dengan santun dia sapa seorang petani yang sedang mengerjakan sawahnya. Dengan dialog yang dirangkai sesantun dan sesederhana mungkin, diketahuilah petani itu bernama Marhaen. Soekarno mendapatkan cerita dari Marhaen, sang petani, bahwa dia sedang menggarap sawahnya untuk kepentingan diri dan keluarganya. Betapa bangganya Pak Marhaen menceritakan tentang dirinya dan apa yang dia kerjakan.
Mendengar cerita itu, sebagai pemuda yang cerdas dan bercita-cita membebaskan bangsanya dari cengkraman kapitalisme Belanda saat itu, Soekarno mendapat ilham dari nama itu, bahwa Pak Marhaen ini orang yang jiwanya merdeka. Meski beliau seorang petani, ternyata dia punya kebanggaan dirinya sebagai orang yang berjiwa, yaitu orang yang bisa menghidupi dirinya, punya modal dan punya alat untuk bekerja.
Terbesitlah sebuah julukan sebagai Marhaen, orang yang punya pekerjaan, punya modal dan alat dan hasilnya hanya untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Marhaen bukan orang melarat, Marhaen punya alat, punya modal kerja dan punya modal intelektual serta berjiwa merdeka.
Siapakah Marhaen Itu?
Saya sejatinya hanya tergoda dengan perilaku banyak orang yang mengatakan dirinya Marhaen hanya karena kemelaratannya, tak punya modal kerja dan tak punya penghasilan, ah yang seperti itu Marhaen jadi-jadian. Bisakah merebut kemerdekaan Indonesia diserahkan kepada Marhaen jadi-jadian? Susahlah, jangankan memerdekakan orang lain, memerdekakan dirinya dari ketergantungan orang lain saja tidak mampu.
Marhaen bagi saya adalah kelompok yang sadar akan tanggung jawab terhadap diri dan keluarga serta terhadap masyarakatnya. Marhaen pemilik modal dan pemilik kerja, modal bukan saja berupa fisik tapi modal juga harus dipahami sebagai modal intelektual.
Bagi kaum marhaen tidak memandang modal itu besar atau kecil, bagi mereka adalah ukuran tanggung jawab yang bisa diberikan kepada masyarakat. Meski modalnya kecil dan hasilnya cukup untuk dirinya sendiri, tapi dia bangga karena tidak menjadi beban negara. Marhaen adalah kaum sadar dan terdidik. Marhaen mempunyai positioning karena modal dan alat kerja yang dimiliki. Marhaen adalah kelas menengah karena dia bisa membiayai dirinya dan keluarganya.
Kelas Menengah sebagai Motor Perubahan
Revolusi Perancis adalah sebuah potret perubahan, ketika kaum borjuasi, para kaum kaya dan yang berpura-pura kaya melakukan perampasan dan penindasan terhadap rakyatnya, maka kelas menengah yang terdiri petani dan pengusaha yang mempunyai modal dan alat kerja sendiri termasuk di dalamnya mereka yang mempunyai modal intelektual, serta dibantu oleh kaum proletar yang terdiri dari para pegawai, guru dan yang lain-lain yang hidupnya berharap dari anggaran pemerintah serta juga rakyat biasa.
Marhaen itu tidak merepotkan pemerintah dan orang lain, karena hidup mereka sudah tercukupi dari hasil kerjanya sendiri. Sehingga siapapun yang mengaku dirinya Marhaen, perilakunya pasti tak akan mengganggu dan menjarah anggaran pemerintah, karena hidupnya sudah merdeka dengan dirinya. Marhaen adalah kelompok yang bertanggung jawab.
Lalu ingatan saya mengembara pada sebuah sejarah perubahan peradaban. Di jazirah nun jauh disana, terhampar gurun pasir nan luas dan buas. Seorang tauladan dan sosok perubahan, Muhammad yang bergelar Al Amien.
Muhammad membebaskan kaumnya dari penindasan kapitalis jahiliyah suku Quraisy. Muhammad adalah seorang nabi yang bekerja dan mempunyai modal kerja, karena kecerdasan dan kejujuran dalam laku hidupnya. Muhammad bukanlah orang yang kaya dan berlebih-lebihan. Muhammad adalah orang tercukupi, karena itulah kemudian beliau di akhir hayatnya dikenal sebagai orang yang kalau tidur bertahtakan langit dan beralaskan bumi. Beliau dipercaya, nah Marhaen sejati adalah Nabi Muhammad SAW.
Apa yang Dilakukan Muhammad?
Muhammad muda adalah pemuda tampan, cerdas dan mempunyai tanggung jawab. Muhammad adalah simbol perlawanan dan perubahan. Muhammad mampu mengorganisir kekuatan dan melaksanakan laku bersandingan. Muhammad adalah simbol kemandirian dan kepedulian serta juga ketaatan.
Muhammad muda adalah orang yang mampu mengorganisir kekuatan. Nah, di tangan Muhammad Sang Marhaen sejati yang mempunyai alat dan dukungan serta nalar intelektual menghasilkan pribadi tangguh dan dipercaya. Saat itulah perubahan terjadi di bumi Arab nan tandus dan gersang saat itu.
Kalau ada mereka yang menasbihkan dirinya sebagai Marhaen, maka hidupnya pasti bisa ditebak, tak akan merepotkan orang lain, dan cerdas melihat momentum serta terlihat santun ketika berbicara dengan orang lain. Marhaen sejati itu simbolik perilaku.
Kawan, terlalu banyak di luaran sana para pemuja Marhaenisme yang hanya karena merasa dirinya melarat, tak punya modal kerja, nalar intelektual lemah apalagi kemerdekaan diri. Hidupnya terbebani dengan kepentingan diri dan tak bisa empati serta peduli, itulah yang kata Soekarno disebut sebagai sontoloyo. Kaum predator yang tak pernah puas menghisap negara dan kawannya.
Kawan, menjadikan diri sebagai Marhaen sejati merupakan pekerjaan yang tak mudah, karena Marhaen sejati adalah jiwa yang tangguh dan merdeka dan tak tergantung lagi kepada yang lainnya.
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imraan: 139).
“Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Ilah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Rabb yang memiliki ‘Arsy yang agung”. (QS. At Taubah: 12
*Ditulis di Surabaya, 19 Maret 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net