Saat anggaran ristekdikti dipotong, demi obsesi infrastruktur fisik dan beban cicilan hutang, status riset dan inovasi bangsa ini bertahan di status nice to have seperti penilaian mantan Menristek Kusmayanto Kadiman baru-baru ini. Sementara genderang revolusi industri 4.0 ditabuh, riset dan inovasi yang dibutuhkannya untuk mandiri dan berdaulat nyaris tinggal ilusi dan tahayul di banyak kampus negeri ini.
Manusia Indonesia sesungguhnya tidak bodoh dan malas apalagi koruptif seperti yang disangkakan banyak orang. Kita dimiskinkan oleh instrumen nekolim Barat yang paling canggih: sistem keuangan ribawi yang tidak saja merusak ekosistem bumi tapi juga memiskinkan lalu secara perlahan meruntuhkan akhlak manusia. Rekan saya James Wharram dari Inggris pernah mengatakan pada saya kira-kira 20 tahun lalu saat berkunjung ke ITS bahwa korupsi kita kurang terorganisir. Kami Westerner -kata James- melakukannya secara well organized.
Sistem keuangan ribawi ini telah menguras sumber daya alam kita, serta membebani hutang yang makin menggunung pada postur APBN pemerintah sejak Orde Baru hingga saat ini. Seperti peringatan Bung Karno, bahwa saat ini penjajahan masih terjadi melalui dua instrumen nekolim utama: regulasi melalui perjanjian-perjanjian perdagangan internasional -dan diratifikasi secara nasional- dan kelembagaannya seperti WTO dan IMF. Perjanjian-perjanjian itu dirumuskan antara inlander dan mantan tuannya. Sangat tidak adil. Melalui instrumen-instrumen Bretton Woods System itulah sustained, remotely controlled neocolonialism and imperialism berlangsung atas negeri ini hingga kini.
Sistem keuangan global ribawi ini menjarah siapa saja, apapun agama dan kebangsaannya. Fitur riba ini tidak saja bunga, tapi juga uang kertas hard currency yang tidak di jangkarkan kecadangan emas. Barat yang dipimpin Amerika Serikat (AS) bisa mencetak US Dollar out of thin air kapanpun mereka butuh untuk membeli komoditas-komoditas agro hingga tambang kita. Melalui penjarahan ini Barat mampu membiayai mesin-mesin perang mereka untuk ditodongkan kekita yang berani mempertanyakan sistem ribawi ini. Bung Karno, Charles de Gaulle, lalu Kadafy dan Saddam Hussein pernah mempertanyakannya, lalu disingkirkan.
Saat Singer dan Cole dalam Ghost Fleet mengisahkan Indonesia Bubar 2030, kita boleh saja membangun kisah sendiri tentang Indonesia. Banyak orang tidak menyadari bahwa Indonesia memang hanya sebuah dongeng. Bangsanya hanyalah an imagined community seperti di teorikan oleh Ben Anderson. Jika pengalaman berindonesia terasa pahit dan getir bagi banyak warganya, maka mereka bisa berhenti mengimajinasikan Indonesia. Saat itulah Indonesia bubar.
Ancaman atas imajinasi itu adalah riba. Bukan komunis, apalagi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Saat riset di dominasi oleh riset sains dan teknologi, tantangan inovasi kita sesungguhnya adalah inovasi keuangan agar kita dibebaskan dari riba.
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net