Suaramuslim.net – Membawa politik ke masjid dipertentangkan. Padalah masjid punya adab-adaban dan aturan-aturan khusus. Tidak perlu aturan lain. Siapapun dan apapun bisa masuk masjid, termasuk politik, selama mengikuti adab-adabnya. Tidak perlu dipertentangkan.
Masjid dibangun untuk mendirikan sholat dan dzikir. Untuk berjamaah. Politik pun silakan masuk masjid selama untuk ikut shalat dan dzikir. Untuk berjamaah. Bukan untuk pecah. Namun untuk tujuan apapun siapapun dan apapun tidak dapat masuk masjid jika badannya atau pakaiannya bernajis. Politik yang masuk masjid harus dijamin bersih dari najis-najis politik baik dalam isi maupun bungkusnya. Karenanya, sebelum masuk masjid, bersihkan dulu, mandikan dulu.
Setelah bersih badan dan pakaian dari najis pun orang masuk masjid belum bisa shalat jika tidak punya wudhu atau keadaannya junub. Politik pun sama. Agar politik bisa sholat di masjid terlebih dahulu harus diwudhukan dan mandikan dulu. Politik yang “dawamul wudhu” (senantiasa berwudhu) tentu punya kualitas tersendiri di dalam masjid.
Kemudian perhatikan pula penutup auratnya. Tidak bisa politik masuk masjid dalam keadaan telanjang. Harus berpakaian yang menutup aurat. Bersih, putih, dan wangi. Dari mulutnya semerbak aroma siwak. Jika politik itu wanita maka politik harus bermukena atau berkerudung. Demikian pula dalam hal menghadap kiblat. Tidak bisa politik di dalam masjid tapi kiblatnya ke Barat dan atau ke Cina.
Jika politik sudah memenuhi syarat-syarat masuk masjid maka tak seorang pun berhak melarangnya atau mengeluarkannya dari masjid. Para ulama tahu mana politik yang memenuhi syarat dan mana yang tidak. Lalu jika tidak memenuhi syarat, maka jangan berharap bisa mendekati masjid menjadi hanya sekadar di emperannya.
Babi, meski telah diwudhukan, dimandikan, diberikan pakaian penutup aurat dan wewangian, tidak akan pernah bisa masuk masjid selamanya. Karena babi najis seutuhnya. Caleg najis, capres najis, partai najis jangan berharap bisa melenggang masuk masjid. Masuk saja ke kandang babi.
Kontributor: Deden Muhammad Makhayruddin*
Editor: Oki Aryono
*Indonesia Murojaah Foundation
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net