Konon mudik berasal dari kata mulih orang udik, bahasa Jawa yang artinya orang udik, orang desa perantauan ke kota, mulih, pulang kampung. Mudik adalah pulang ke kampung halaman setelah setahun lamanya hidup di rantau orang.
Sebelum memasuki Ramadhan tahun ini tersiar kabar pemerintah memangkas masa cuti karyawan swasta atas permintaan perusahaan. Konon perusahaan rugi besar jika karyawan libur terlalu lama. Saya teringat ketika saya bekerja di perusahaan swasta yang dikelola oleh non-Muslim. Pimpinan perusahaan marah-marah dan mengeluh. Katanya masa libur karyawan terlalu lama sementara gaji yang dibayarkan tetap.
Benar kata Aa Gym manakala menanggapi kepongahan A Hok dua tahun silam. Kata pendiri Ponpes Daarut Tauhid Bandung ini, orang yang tidak se-aqidah dengan kita, tidak akan memahami perasaan kita. Orang yang tidak se-aqidah dengan kita tidak akan memahami apa-apa yang kita cintai dan apa yang membuat kita bersuka cita.
Syukurlah cuti lebaran tahun ini tidak dipangkas pemerintah. Sebenarnya apa makna mudik?
Susah menjelaskan mudik, menggambarkan secara gamblang, jelas dan terang, apa makna mudik. Bukan karena mudik tidak memiliki arti yang jelas, melainkan karena ia mengandung sejuta makna, sebanyak umat Islam yang mudik. Tidak mudah melukis perasaan.
Apa yang mendorong umat Islam dari seluruh penjuru negeri rela berlelah-lelah, berdesakan dalam kapal, dalam kereta, hanya untuk pulang kampung? Mengapa bukan hari lain saja? Jika hanya untuk menemui orang tua, mengapa harus hari lebaran?
Kemajuan teknologi komunikasi terbukti tidak mampu menghalangi mudik. Fasilitas video call mampu mempertemukan perantau di Jakarta dengan keluarga di Ambon. Jika memang terlalu padat, eloklah memilih hari lain untuk pulang kampung, lebih mudah, lebih lengang, lebih murah. Bertemu saat lebaran Idul Fitri cukup melalui video call saja. Pilihan ini tidak diambil. Mudik tidak dapat diganti oleh yang lain.
Oleh karena itu, pemerintah sebagai pengayom masyarakat hendaknya menjadikan mudik Idul Fitri sebagai agenda nasional. Perusahaan-perusahaan swasta pun demikian. Jangan memandang mudik dan cuti lebaran sebagai kerugian lantaran karyawan tidak bekerja. Mudik dan cuti lebaran harus dipandang sebagai budaya lokal yang harus dihargai.
Ada sebuah pepatah berbunyi, “Setinggi-tinggi bangau terbang, kembalinya ke kubangan jua.” Begitu pula perantau, sejauh-jauh merantau, kembalinya ke kampung juga. Tidak ada yang dapat menggantikan kampung halaman. Kita telah memulai asam manis hidup dari kampung halaman. Kampung lebih mengenal diri kita dari yang lain. Ada cinta dan cita tersendiri di kampung. Ke mana pun kita pergi, orang selalu bertanya, “Kampungmu di mana?” “Kamu dari mana?” Kita pun selalu mengidentifikasi diri sesuai kampung kita. Seperti orang tua, keturunan, kampung asal sulit bahkan tidak mungkin diingkari.
Mahasiswa berdarah Cina di Amerika Serikat sering merasa dongkol. Walaupun lahir di Amerika, berbahasa Inggris, dan tidak mengenal budaya Cina, mereka tetap diidentifikasi sebagai orang Cina, bukan orang Amerika. Begitu pula orang Afrika berkulit hitam. Meskipun lahir di Amerika, berbahasa Inggris, ber-KTP Amerika, orang Amerika mengidentifikasi mereka sebagai orang Afrika, bukan sebagai orang Amerika tulen. Lalu siapakah orang Amerika tulen? Mereka yang berkulit putih walaupun orang berkulit putih ini pun pendatang juga.
Saya pernah bertemu orang Irlandia keturunan Cina. Saya mengenalnya sebagai orang Cina, orang daratan Cina. Sejak awal berkenalan ia memperkenalkan diri sebagai orang Irlandia. “I’m an Irish. I’m working for Ireland,” tegasnya.
Begitulah, asal-usul kampung halaman sulit dihapus. Kita selalu menambatkan diri pada kampung halaman. Apabila keluar di kampung telah tiada, tidak ada lagi sanak keluarga, sebagian masih turut bergabung dalam organisasi kedaerahan. Kita mengenal paguyuban A atau paguyuban B berdasarkan daerah asal.
Begitu besarnya kesan daerah asal, kampung halaman, semoga tidak ada yang berusaha melupakan kampungnya. Jangan karena di kampungnya jalanan belum aspal, listrik belum masuk, dan warganya masih di kali, tidak mau diakui, malu memperkenalkan diri sebab orang kampung sebab kita telah berdasi, telah berbaris gelar di dada, telah menggenggam segulung ijazah. Orang seperti ini, ibarat kata pepatah, habis manis sepah dibuang. Padahal takkan berkurang kehormatan karena mengakui asal-usul. Harta tetap, badan tak ciut. Malah kehormatan, kemuliaan itu akan bertambah-tambah. Orang akan berkata, “Orang udik terbukti bisa jadi orang!”
Sebelas bulan berletih, berpeluh bekerja mencari nafkah di negeri orang. Saatnya kembali ke negeri sendiri. Sambung silaturrahim dengan karib-kerabat. Jahit kembali kain yang sobek. Dalam silaturrahim itu ada keberkahan. Nabi kita baginda Muhammad saw. berpesan, salah satu ciri percaya kepada hari akhir adalah menjalin silaturrahim.
Saat bersua kembali dengan keluarga, lalui waktu dengan ibadah bersama. Habiskan waktu dengan tarawih bersama, tilawah bersama, dan zikir bersama. Jauhkan tv dan hp. Jauhkan semua yang dapat mengganggu kebersamaan. Bagi para pelajar dan mahasiswa, enyahkan buku-buku. Hentikan belajar untuk sesaat. Nikmati kebersamaan dengan keluarga. Beri keluarga kesempatan untuk merasakan kehadiranmu. Jangan pindahkan perpustakaan kampus ke ruang keluarga.
Ketika bertemu orang tua, tanyakan kabarnya walau hanya sekadar basa-basi. Orang tua senang diajak bicara. Masukkan kegembiraan ke hatinya walau secuil.
Waspadai satu penyakit mudik, yaitu bersaing dalam kekayaan dan kemewahan. Tiap-tiap orang berlomba mempertontonkan kendaraannya, baju barunya, sandang dan jam tangannya yang bermerek. Ia mengira hanya dirinya seorang memilikinya di dunia ini. Ia membusungkan dada keliling kampung merasa paling tampan, paling cantik. Demi melihat orang lain berharta pula, diukurnya orang itu, dihitung-hitung, ditimbang, mana lebih sukses, aku atau dia.
Bila ternyata saat mudik tidak membawa sebarang harta, usahlah berkecil hati. Allah memberi rezeki bagi siapa yang Ia kehendaki dan menahannya dari siapa yang Ia kehendaki. Mudik lebih dari sekadar untuk kebolehan dan kekayaan, bahkan bukan itu tujuan mudik. Apa yang ada itulah yang dibawa. Tidak perlu berkecil hati bila sedikit, tak perlu menepuk dada bila banyak. Apapun hasil, bawalah pulang. Tutup telinga dari cibiran pencibir maupun pujian pemuji.
Mudik adalah rekreasi. Setelah sekian lama hidup di rantau orang, setelah sekian lama ber-“kreasi’ di tanah orang, di kampung orang, kini saatnya ber-“re-kreasi”, beristirahat dari segala kepenatan untuk ber-“kreasi” kembali. Dengan mudik tenaga terkumpul kembali untuk mengarungi hidup di rantau.
Rekreasi di sini jangan hanya dipahami sebagai hiburan semata. Ini pemahaman keliru tentang rekreasi. Rekreasi bukan menghabiskan waktu di pantai, di pemandian air panas, di air terjun, di wahana-wahana hiburan. Semua itu bagian dari rekreasi. Rekreasi yang sesungguhnya adalah meresapi makna istirahat, menjauh dari rutinitas untuk menilainya dari jauh, mengevaluasi diri, untuk kemudian tampil sebagai manusia baru yang lebih baik. Inilah rekreasi yang hakiki. Untuk inilah kita mudik.
Jika di perantauan hidup sebagai pendosa, saatnya insaf, sadar diri. Keluarga di kampung menanti. Keluarga berharap banyak. Jangan buat kecewa. Jangan coreng nama baik keluarga dengan kelakukan bejat durjana di negeri orang. Sadarlah bahwa apapun yang terjadi pada diri kita, nama keluarga terseret juga. Sebaliknya jika di perantauan kita tergolong orang terpandang, mudik mengingatkan asal-muasal kita sebagai bukan siapa-siapa, sebagai orang kampung biasa, tiada beda dengan orang lain. Namun kini dengan pertolongan Allah dan kerja keras, cita-cita tercapai, mudik, menjadi kebanggaan keluarga.
Di kampung saya, ada seorang orang tua miskin, sangat miskin. Kampung saya memang kampung miskin. Menurut cerita nenek saya, pernah suatu waktu, keluarga kami makan biji mangga yang dikeringkan. Saat itu paceklik. Harga meroket. Kini orang tua tadi telah wafat. Ia meninggal dalam keadaan miskin. Seandainya ia masih hidup, ia patut berbangga sebab dua orang cucunya telah berkecukupan. Saat mudik, mereka memboyong keluarga masing-masing dengan mobil pribadi. Bukan main.
Setiap pemudik memiliki kesan sendiri tentang mudik. Dari semua kegembiraan, suka-cita, haru-biru bersua keluarga, hendaknya diresapi dalam hati bahwa mudik ini ibarat perjalanan hidup manusia dari dunia ke akhirat. Akhiratlah kampung halaman yang sesungguhnya. Mari berbekal sebanyak mungkin, berhias diri di perantauan dengan harta, dengan nama, untuk di bawa pulang ke kampung halaman. Mari berbekal sebanyak mungkin di dunia dengan ibadah, dengan sembah-sujud, dengan amal-amal baik untuk dibawa pulang ke kampung akhirat.
“Hubbul wathan minal iman ‘Cinta tanah air bagian dari iman,’” kata Imam Ibnu Rajab al-Hanbali. Tanah air yang dimaksud Imam Ibnu Rajab adalah tanah yang hakiki yaitu surga, negeri asal leluhur kita semua: Adam dan Hawa. Itulah falsafah mudik yang hakiki.
“Siapa saja yang mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia menyekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Oleh: Wahyudi Husain*
Editor: Oki Aryono
*Staf pengajar Pesantren At Taqwa Depok, Jawa Barat
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net