Suaramuslim.net – Sekitar setahun yang lalu, saya lupa bulannya, saya berjumpa dan mengobrol dengan almarhum Harry Moekti di sebuah taman di perumahan Yasmin Bogor.
Perjumpaan sebenarnya tak sengaja. Saya bermaksud menjemput seorang sahabat, Profesor Noer Azam Achsani untuk suatu keperluan. Rupanya mas Azam masih sedang mandi. Ketika menunggu itu, saya melihat di taman ada seorang pendek kekar, berkaos hitam bertopi ala mujahidin Afganistan sedang olahraga. Olah raganya menarik perhatian saya, bukan main-main; olahraga melempar pisau komando! Itulah yang membuat saya ingin menghampiri. Kebetulan kalau urusan yang agak “army”, saya juga menggelutinya.
“Assalamu’alaikum, Kang!” Sapa saya dari pinggir taman.
“Wa’alaikum salam” jawab beliau dengan sangat ramah.
“Tepangkeun abdi Yudha, rerencangan pak Noer Azam” saya memperkenalkan diri.
“Oh… Subhanallah, kawan pak ustadz rupanya!” Kami berjabat tangan, saling peluk dan saling cium pipi. Ya begitulah, ucapan salam dan berkenalan secara takzim, membuat kita menjadi saudara meski baru saja berkenalan.
Tapi masih ada yang mengiang di kepala saya, rupanya mas Azam itu, selain profesor juga dikenal sebagai ustadz di lingkungan tempat tinggalnya. Alhamdulillah, mudah-mudahan bersahabat dengan ustadz yang juga profesor bisa kecipratan hikmah dan berkah ilmunya.
“Boleh nyoba kang?” Saya memberanikan diri, meminta ijin mencoba melempar pisau.
“Mangga… Mangga”. Beliau memberi saya dua bilah pisau, sambil menjelaskan kehebatan pisau-pisau koleksinya.
Pisau pertama saya lempar, menancap di papan sasaran tapi di pinggir, hampir lolos ke luar. Lemparan kedua, meski tidak tepat di tengah, cukup lumayan buat orang awam.
“Hebat euy..” Teriak Kang Harry Moekti. “Suka lempar pisau juga?” Tanyanya penasaran.
“Sesama mantan preman mestinya sama-sama tahu!” Jawab saya sambil bercanda.
Selanjutnya kami ngobrol, ke sana ke mari, layaknya sahabat yang lama tak berjumpa. Kegalauan mencari makna hidup, itulah yang menjadi topik pembicaraan. Sebuah “trajectory” gelap kepada terang adalah keniscayaan yang sama-sama kami alami.
Hidup menjadi lebih bersemangat ketika kita mendaki dari lembah suram menuju keyakinan bahwa ada cahaya benderang di puncak sana. Cahaya itu bukan milik manusia, melainkan milik Sang Khalik, kita hanya mencoba mendekati-Nya agar refleksi cahaya itu bisa juga berpendar di diri kita.
Setelah perjumpaan itu, dua kali kami bertemu lagi. Sekali beliau mengajak saya mengisi pengajian di daerah Tangerang Selatan. Terakhir, bulan Maret kami bertemu di pengajian di Depok dan berjam-jam kemudian kami ngobrol sampai dini hari.
Harry Moekti, adalah jiwa yang menemukan pencariannya. Bukan sekadar keberanian meninggalkan “kebintangan”, tapi ada pelajaran dari kehidupannya. Allah tak pandang bulu kepada siapa pun yang akan diberi hidayah. Tak pernah boleh ada penghakiman pada siapa pun tentang diraihnya kecintaan Allah. Allah tak pernah salah, ketika tangan kasih-Nya membelai siapa pun, dan pastilah belaian itu adalah kebaikan.
Harry Moekti, mengingatkan kita, kebintangan dunia hanyalah fana. Apalah dunia? Ia hanyalah sandiwara yang mengecoh, ia tak lebih dari “bangkai” jika kita tergila-gila padanya.
Selamat jalan Kang Harry, maaf aku tak bisa mengantarmu ke tempat istirahatmu, semoga engkau tenang di tempat yang engkau cari, di taman indah yang engkau rindukan.
Aku pun hanya menunggu waktu, semoga Allah berkenan mempertemukan kita di taman firdaus, sebagaimana kita bincangkan di akhir pertemuan kita kemarin.
Doaku untukmu hai si pelempar pisau.
Allahummagfirlahu, warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu.
Adikmu yang meneteskan air mata atas kepergianmu.
Penulis: Yudha Heryawan Asnawi*
*Ditulis saat di Jalan tol Jagorawi, 25 Juni 2018.
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net