Oleh: Yusuf Maulana (penulis buku “Mufakat Firasat”)
Selepas kekhalifahan Umayyah di Andalusia berakhir dan memulakan hadirnya raja-raja kecil (mulûk al-thawâ’if atau reyes de taifas), tanah Seville dikuasai Bani ‘Abbadiyyah. Kuasa yang dirintis Muhammad I ibn ‘Abbad itu tak berumur sampai seabad, hanya tiga raja dengan diakhiri oleh Muhammad II al-Mu’tamid.
Pada era al-Mu’tamid, Bani ‘Abbad berhasil memasukkan Kordova ke dalam kerajaannya. Kendati begitu, raja-raja pada kurun mulûk al-thawâ’if punya “kewajiban” menyetor upeti kepada raja Kristen gabungan Leon dan Castile, yang saat itu digenggang Alfonso VI. Alfonso VI ini menahbiskan diri sebagai kaisar sekaligus “raja atas rakyat dua agama”. Hingga pada suatu ketika al-Mu’tamid merasa ingin terbebas dari kebesaran dan kewajiban pada Alfonso VI. Ia pun mengundang pemimpin tangguh dari seberang pulau, Yusuf ibn Tasyfin.
Yusuf ibn Tasyfin berasal dari kalangan Murabithun di jarizah maghribi. Kehadirannya dipandang oleh para sejarawan Barat sebagai langkah blunder al-Mu’tamid. Betapa tidak, Ibnu Tasyfin ini bukan sembarang sekutu yang tanpa misi lain. Ketika itu, banyak yang menasihati al-Mu’tamid.
“Jangan masukkan dua pedang dalam satu sarung,” begitu ungkapan yang populer, sebagaimana diceritakan Philip K. Hitti dalam Histroty of The Arabs (2002). Hitti sendiri termasuk yang memandang sinis Ibn Tasyfin.
Dua pedang, apatah lagi sama-sama tajam dan membahayakan, mustahil bersatu dalam satu sarung, selongsong yang dibawa ke mana-mana. Ia ibarat dua matahari yang bersaing menerangi bumi. Logis. Tapi al-Mu’tamid berpikiran lain. Ia menjawabnya dengan ungkapan puitis, lantaran ia memang sosok yang sensitif dan suka syair, “Lebih baik aku menjadi seorang penunggang unta di Afrika ketimbang menjadi seekor babi di Castile!”
Jawaban berani al-Mu’tamid itu dibayar tunai oleh Yusuf ibn Tasyfin. Kemenangan mutlak diraih pasukan bangsa Barbar ini atas prajurit Alfonso VI. Tercatat dalam sejarah kekalahan memalukan Alfonso VI pada 23 Oktober 1086, dengan meninggalkan timbunan ribuan mayat pasukan Kristen.
Bisa dimengerti bilamana Ibn Tasyfin tidak disukai Barat, bahkan hingga hari ini. Torehan luka peperangan di Zallakh, dekat Badajoz, itu kelak diikuti ekspansi mengerikan. Ancaman terhadap kekuasaan Castile benar-benar di depan mata. Benar saja, November 1090, Ibn Tasyfin memasuki Granada, kemudian setahun berikutnya merebut Sevilla. Seluruh wilayah Muslim ditaklukannya, tulis Hitti, kecuali Toledo yang masih dikendalikan kekuasaan Kristen dan Saragossa yang diizinkan didiami Bani Hud.
Al-Mu’tamid tak menduga bila prasangka baiknya pada Ibn Tasyfin berujung pembuangan dirinya di Maroko. Bersama istri kesayangan dan putrinya ia disebut-sebut hidup terbelenggu, merana dalam kemelaratan, sebelum akhirnya mangkat pada 1095 di Agmat.
Perspektif yang meletakkan tragedi seorang al-Mu’tamid sebagai penanggung putusan “memasukkan dua pedang di sarung yang sama” adalah tipikal cara pandang Barat. Hanya saja, tidaklah salah ketika menyebut Yusuf ibn Tasyfin sebagai pedang yang tajam dan membahayakan. Cuma mengarahkannya sebagai ancaman dan sosok antagonis, ini satu soalan yang perlu dikritisi cermat.
Bila kita sibak amatan sejarawan Muslim, kehadiran Yusuf ibn Tasyfin menuai hasil berbeda. Sosok yang disebut dalam karya Majid Irsan Kaylani (yakni Hakadza Zhara Jailu Shalahuddin wahakadza ‘adat al-Quds, 2000) sebagai figur yang hendak dibaiat Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali ini bukanlah penakluk yang materialis dan semata-mata keduniawian. Hawa nafsu yang digambarkan Hitti melekat pada Ibn Tasyfin sejatinya berkebalikan dengan misi yang diembannya. Justru Yusuf ibn Tasyfin ingin menyatukan raja-raja Muslim di bekas kekhalifahan Umayyah Andalusia. Mereka yang lebih mudah berpecah dan berperang sesamanya karena kecintaan pada dunia, inilah yang hendak direkat Ibn Tasyfin.
Sebagian orang boleh saja menyalahkan kepekaan rasa al-Mu’tamid hingga tak sadar ada marabahaya di balik sekutunya, Ibn Tasyfin. Tapi kita tak bisa mengabaikan bahwa undangan bersekutu itu bisa saja dari sebab yang lebih mendasar: persatuan iman. Betapa al-Mu’tamid turut saksikan perpecahan demi perpecahan saudara seimannya di bekas puing-puing kebesaran Andalusia. Dan ia menempuh risiko bersemayamnya dua pedang tajam dalam sarung yang sama.
Alih-alih memandangnya seperti para pengkritiknya, al-Mu’tamid menempuh jalan berpikir lain. Pedang tajam kembar tak mesti saling meniadakan. Ia bisa saling mengisi ketika bisa dipergunakan oleh jemari yang tepat. Tampaknya sampai di sini ia memilih risiko memulai belajar hidup dengan dua pedang, yakni kehadiran orang lain yang lebih potensial menerjang lawan bahkan dirinya bila dilihat sebagai ancaman laten. Tapi al-Mu’tamid membaca ada persoalan yang lebih besar. Umat Islam di negerinya harus terbebas dari cengkeraman penguasa lain iman. Ia tak sejalan dengan raja-raja Muslim lainnya yang membebek pada Alfonso VI atau pendahulunya. Demi perubahan yang lebih baik, meski dalam ketidakpastian, tetap harus ada ikhtiar. Keadaan yang ada tidak ideal, perlu ada perubahan radikal bila diperlukan. Dan itu ia putuskan dengan mengundang Yusuf ibn Tasyfin. Bisa jadi, ketika mengundangnya, al-Mu’tamid tak tebersit mengira sang tamu bakal bertindak lebih jauh, termasuk pada dirinya. Tentu saja, al-Mu’tamid menyimpan kemungkinan seperti itu, meski dalam potensi urutan buncit sekalipun. Ia memilih tepiskan hingga keluar jalan berpikir yang berani: “Lebih baik aku menjadi seorang penunggang unta di Afrika ketimbang menjadi seekor babi di Castile!”
Bila sebilah pedang adalah manusia, maka sarung adalah institusi penaung—bisa berupa organisasi, partai, kerajaan, hingga negara. Tajamnya pedang adalah wujud kehebatan sosok insan. Sehebat-hebat insan, ia memerlukan penaung agar potensi diri tidak menebas sembarangan. Normalnya, satu pedang bertepekur dalam satu sarung. Tak ada satu sarung berisikan dua pedang, sama tajam pula. Ini logis dan kenyataan empiris memang demikian. Tapi di sinilah ada syubhat yang menjebak pikiran, sebagaimana pernyataan yang hendak mengingatkan al-Mu’tamid. Bagaimana bisa dua pedang tajam disarungkan pada satu wadah? Syubhat itu adalah jebakan untuk membuang salah satu pedang atau memikirkan sarung baru agar satu pedang punya tempat menyimpan.
Setiap ada manusia dengan pikiran besar yang saling bertolak belakang, yang kadang menuai konflik tak berkesudahan, kita sering berpikir sama seperti para penasihat al-Mu’tamid. Jangan sarungkan dua pedang di tempat yang sama. Tidak, al-Mu’tamid tahu cara keluar yang tepat; berisiko memang, namun memenuhi anjuran pengkritiknya juga tak kalah berisikonya. Sering kali konflik berlarut-larut para al-akh aktivis dakwah disolusikan dengan saran untuk menubuhkan wadah baru; entah organisasi ataukah partai, sesuai konteks aktor yang berkonflik. Orang lupa, sarung sukar menampung dua pedang tajam bukan akar masalahnya. Ia memang fitrah memuat satu bilah pedang. Tapi adanya dua pedang, dua atau lebih orang besar yang saling berkonflik, bukan dengan membuang pedang-pedang itu atau memikirkan sarung baru.
Sebanyak apa pun pedang dalam institusi dakwah yang saling menerjang, bahkan sampai merobek marwah dakwah, akan teratasi dengan menilik bagaimana mendudukkan peran dan fungsi pedang itu. Ya, ini tentang menempatkan secara akurat eksistensi manusia dalam kontribusi dakwah; bukan saling menegasikan! Ada kalanya pedang A yang disarungkan, dengan pedang B yang mencabik-cabik lawan durjana. Lain waktu, pedang B yang rehat sekian waktu, sedang pedang A yang mengukir luka di tubuh musuh. Tetap hanya satu sarung dengan sebilah pedang bisa diongkang ke mana-mana menakuti musuh dan menggetarkan kawan.
Begitulah kalau kita meraba jalan berpikir al-Mu’tamid. Ia tempuh risiko bukan memikirkan soal wadah atau sarung pedang. Ia pikirkan hal lebih penting, kepentingan lebih besar, dan prioritas yang tak bisa ditunda. Ada risiko menjadi penunggang unta, tapi ini jauh lebih merdeka ketimbang pedang tetap bersarung tunggal meski jadi babi, budak lawan iman, yang teramat merugikan.
Terlepas sudut pandang Barat yang mensinisinya, kita dapat melihat langkah berani al-Mu’tamid sebagai sebuah kebesaran jiwa. Ada risiko bagi dirinya, tapi sebuah perekatan jiwa Muslimin tengah dilapangkan untuk dirintis al-akh yang lain. Sayangnya, ia memang tidak siap untuk tetap jadi pedang di sarung yang sama. Setidaknya dalam amatan Yusuf ibn Tasyfin. Nama yang disebut terakhir inilah atas fatwa para ulama dunia Islam mendorong untuk menaklukkan eks kekhalifahan Umayyah Andalusia lantaran mencegah mudharat lebih besar. Jiwa retak begitu menganga; pikiran untuk selalu mencarikan sarung pedang lebih menyeruak ketimbang mengelola dan menebaskan keberanian berpedang. Di tangan Yusuf ibn Tasyfin, pedang dan sarungnya difitrahkan untuk kejayaan agama ini. Dan pedang-pedang Muslimin dilarikan bukan untuk dibimbangkan agar saling menegasikan, melainkan untuk saling mengisi pada masa bersesuaian dengan keperluan di medan pertempuran dan kehidupan. []
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net