Suaramuslim.net – Lembaga-lembaga Survei telah merilis hasil hitung cepat yang tak jauh berbeda satu sama lain, mengacu pada hal itu tiap Cagub Cawagub yang dinyatakan unggul telah mendeklarasikan kemenangannya sembari menunggu hasil rekapitulasi suara di KPUD Provinsi masing-masing yang baru akan diumumkan awal Juli mendatang.
Di Sumatera Utara pasangan Edy Rahmayadi dan Musa Rajekshah dinyatakan unggul atas Djarot Saiful Hidayat dan Sihar Sitorus. Di Jawa Barat meski unggul tipis dari Sudrajat dan Ahmad Syaikhu, Ridwan Kamil dan UU Ruzhanul Ulum telah menyatakan kemenangannya. Lalu di Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Taj Yasin unggul tak banyak dari Sudirman Said dan Ida Fauziyah. Begitupun di Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak unggul dari petahana Saifullah Yusuf dan Puti Guntur Soekarno. Kemudian di Nusa Tenggara Barat pasangan Zulkieflimansyah dan Sitti Rohmi unggul dari 3 pasangan calon lainnya. Dan di Kalimantan Timur, Isran Noor dan Hadi Mulyadi unggul juga dari 3 calon lainnya.
Nama-nama Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur diatas yang terpilih berdasarkan hitung cepat adalah Cagub-Cawagub yang mengobral janji kepada kalangan umat Islam, lebih khusus kepada pondok pesantren.
Berdasarkan penelusuran redaksi suaramuslim.net , mayoritas Cagub-Cawagub dari luar Jawa tidak menjanjikan banyak hal urusan keagamaan kepada umat Islam dan kalangan pesantren. Dan yang paling utama diprioritaskan adalah soal pembangunan infrastruktur yang nyatanya belum memadai diluar Jawa.
Konstituen diluar Jawa, pada umumnya nampaknya tak terlalu ampuh jika diiming-imingi hal-hal yang berkaitan dengan urusan keagamaan dan spiritual, karena harapan utama dan kendala hidup mereka ada dalam urusan fisik, terlebih pembangunan.
Sementara di Jawa dimana infrastruktur cukup memadai meski belum merata, janji-janji politik dalam urusan keagamaan dan spiritual cukup ampuh menarik suara konstituen. Di seluruh provinsi yang menyelenggarakan Pilkada, seluruh pasangan calon mengumbar janji kampanye yang berurusan pada urusan identitas umat Islam, terlebih pada pondok pesantren. Diluar Jawa cukup sulit bagi redaksi mencari, dan hanya menemukan di 3 provinsi yakni Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Umat Islam Sasaran Elektoral
Jelang pemilihan kepala daerah, tak sedikit mereka yang menampakkan identitas-identitas keagaaman sebagai atribut kampanyenya. Berpeci, bersorban hingga berdalil ketika berkampanye, termasuk yang disebutkan diatas: mengumbar janji pada umat Islam.
Bahkan di Jawa Tengah yang terkenal sebagai “kandang Banteng” yang mayoritas sekuler, atribut keislaman ternyata diperlukan dan terbukti efektif menggaet suara. Ganjar Pranowo sang petahana dari PDIP harus menggandeng putra dari Kiai sepuh kharismatik asal rembang KH Maimun Zubair, Taj Yasin.
Cagub-cawagub yang tampil dalam gelaran pilkada serentak harus nampak islami, karena bisa jadi di persepsi publik, tampilan islami adalah standar kebaikan dan moralitas. Padahal dilain kesempatan tak jarang kita dengar ungkapan politisi, atau bahkan Presiden Indonesia Joko Widodo menghimbau untuk memisahkan urusan agama dan politik.
Faktanya, ternyata pada akhirnya urusan agama, atau secara spesifik urusan keislaman ternyata harus dibawa-bawa, karena ia jadi sarana untuk menggaet suara mayoritas pemilih, yang mau tidak mau harus diakui adalah umat Islam.
Menolak Jadi Objek Obral Janji
Suara umat Islam akan menjadi murah, ketika calon kepala daerah yang telah terpilih kemudian tidak merealisasikan janjinya terkait urusan umat Islam. Meski memang semua janji kampanye yang baik, secara substantif adalah juga urusan umat Islam, namun yang berkaitan dengan identitas ini juga perlu dikawal. Agar kemudian urusan identitas umat tidak mudah dijadikan dagangan politik oleh calon kepala daerah agar terpilih.
Maka menagih janji kampanye yang telah diobral kepala daerah kepada umat Islam, adalah cara untuk menjaga martabat umat Islam dihadapan demokrasi. Dan kemudian hal itu akan meningkatkan posisi dan daya tawar umat Islam terhadap para politisi agar tidak mudah ingkar janji.
Pada level berikutnya, Umat Islam, selayaknya tak hanya menerima diri sebagai objek semata. Karena sejak awal secara kuantitas jika menggunakan alat demokrasi, umat Islam amat dibutuhkan untuk mengantarkan para politisi sampai pada kursi yang diincarnya.
Untuk tak hanya menjadi objek dan menjadi subjek, umat Islam membutuhkan ukhuwwah islamiyyah, sehingga solid dan punya self determination atau kemerdekaan menentukan nasib sendiri. Tanpanya, untuk seterusnya umat Islam hanya akan jadi objek politik dimana suaranya hanya bisa dibeli dengan janji-janji yang sejatinya belum pasti.
Wallahu a’lam bisshowab