Penulis: Yudha Heryawan Asnawi*
Editor: Arina Masruroh
Suaramuslim.net – Pagi ini selepas subuh, saya buka whatsapp. Ada satu postingan dari kawan di Bandung yang memposting gambar nasi kotak. Beliau memberi keterangan, bahwa beliau baru saja menghadiri sholat subuh bersama di Balaikota Bandung, selepas acara tersebut rupanya para jamaah dibagikan nasi kotak.
Saya jadi teringat masa kanak-kanak saya. Waktu saya kecil, kalau pulang tahlilan pulangnya suka dihadiahi oleh-oleh makanan oleh shohibul hajat (tuan rumah yang punya acara), namanya “berkat” biasanya dikemas dalam besek (anyaman bambu) atau dibungkus oleh daun waru. Isi menu-nya pun sederhana; nasi putih, bihun goreng, separuh telur rebus, orak-arik buncis dan ikan asin pepetek.
Sampai rumah saya suka melahapnya dengan semangat, bukan karena lauknya yang lezat, tetapi lebih pada sugesti, bahwa “berkat”‘ itu memang mengandung “keberkahan”, kebaikan karena sebelum dibagikan berkat itu melalui prosesi dibacakannya surah-surah Al Quran dan lafadz-lafadz doa secara bersama-sama.
“Berkat”‘ itu secara sosiologis berbeda dengan “nyuguh”, Jika nyuguh ditujukan pada hal-hal yang ghaib bukan kepada manusia. Sedangkan “berkat”‘ itu profan, sebagai wujud interaksi sosial yang sering pula disebut muamalah. “Berkat” adalah dimensi kemanusiaan, meski pondasi teologisnya adalah “sacred” yaitu mengharapkan keberkahan. Karenanya, zaman dahulu orang membuat standar menu yang cukup sederhana saja, agar setiap orang, meski dia miskin sekalipun ia tetap berkesempatan memberi “berkat” pada tetangganya.
Mengapa dinamakan “berkat”? Bukan gegawan, tengtengan, bingkisan atau bungkusan. Berkat adalah kosa kata dari bahasa Arab, “barokat(h)”, asal katanya adalah “birk” atau “birkah” yang berarti sesuatu yang kecil, diam namun tumbuh. Jadi pantaslah berkat itu dibuat sederhana dalam bentuk kotak kecil dari anyaman bambu atau hanya berupa sebungkus nasi rawon dalam daun waru.
Yang terpenting adalah makna berkahnya. Kita menjadi faham, mengapa ada yang suka mengatakan, “Pendapatan kecil tak mengapa yang penting berkah!”. Ya karena keberkahan itu tidak statik, dia seperti energi potensial yang dapat membuat gerakan berubah beraturan dalam hukum fisika.
Mencari keberkahan itu seni, di dalamnya ada pengetahuan, bayangan dan gerakan. Karenanya keberkahan adalah manifestasi kecendekiaan, sebab ilmu itu sendiri berarti sehat, gembira terkadang jenaka.
Saya menjadi faham mengapa kakek saya dahulu mengatakan, ” Nasi dalam “besek” yang berisi orak arik buncis boleh jadi lebih baik dari hidangan di atas meja yang penuh dengan daging dan ikan”.
Jangan silau dengan kemasan dan tampilan karena berkah bukan di situ adanya, dia ada pada rasa syukur yang tak henti-henti. Semoga kita semua diberi hidup yang berkah oleh Allah swt.
*Ditulis di Cibinong, bakda subuh, 9 Juli 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net