Penulis: Yusuf Maulana
Suaramuslim.net – Mei 2000 menjadi waktu bersejarah bagi para politikus sekaligus pejuang dakwah Islam yang tergabung dalam Fazilet Partisi. Itulah masa bersejarah dengan digelarnya kongres partai Islamis di Turki tersebut dalam mekanisme kompetisi yang terbuka untuk menentukan pemimpin. Kongres tersebut digelar karena dua alasan. Necmettin Erbakan yang masih berada dalam larangan berpolitik menggunakan pengaruhnya lewat para loyalisnya seperti Recai Kutan dan Oğuzhan Asiltürk.
Recai Kutan, dari kalangan tradisionalis (gelenekçiler) diunggulkan sebagai kandidat terkuat yang bakal memimpin Fazilet. Sementara Erbakan memainkan pengaruhnya dari balik layar, Asiltürk disebut-sebut memainkan tekanan politik kepada pengurus Fazilet tingkat provinsi untuk mendukung Kutan.
Tak main-main, sebagaimana diungkap William Hale dan Ergun Özbudun (2010), ancaman yang diajukan Asiltürk pada mereka: memilih Abdullah Gül, pesaing kuat Kutan, akan membahayakan kehidupan mereka di akhirat. Gül merupakan representasi kalangan reformis (yenilikçiler) di Fazilet, sebagai pengganti sahabatnya, Recep Tayyip Erdoğan, yang masih dilarang untuk beraktivitas politik (Rahmat Fiansyah, “Perubahan dari Partai Politik Islamis ke Partai Politik Pos Islamis: Studi Kasus Partai Keadilan dan Pembangunan di Turki”, Skripsi Sarjana Departemen Politik UI, 2012).
Sebagai penantang Kutan, selaku petahana, naiknya Gül menuai reaksi keras Erbakan dan pendukungnya. Kesepakatan untuk menggelar kompetisi terbuka seakan dilupakan. Walhasil, Kutan kembali terpilih sebagai ketua umum Fazilet. Saat yang sama, perpecahan tinggal menanti retak yang sudah menjalar di mana-mana.
Hingga akhirnya partai mereka pun dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan melawan sekularisme yang dianut Turki. Juli 2001, berdiri Saadet Partisi, partai anyar di bawah kendali Kutan dan tentu saja kebesaran nama Erbakan. Sebulan kemudian, Gül dan Erdoğan membentuk Adalet ve Kalkınma Partisi. Inilah penahbisan kalangan yenilikçiler untuk tidak lagi menjadi bagian dari “jamaah” Milli Görüş, Ikhwan cawangan Turki.
14 tahun kemudian, di Kuala Selangor, Malaysia…
Parti Islam Se-Malaysia (PAS) menghelat muktamar ke-60. Kalangan yang mengidentifikasi profesional dan progresif di PAS merasa ada yang ganjil dari putusan politik elit mereka. Sudahlah secara sepihak memutuskan keluar dari barisan pembangkang (oposisi), perhatian menepikan kalangan ini mulai terasa.
Nama-nama Ahmad Awang, Mohamad Sabu, Abdul Ghani, Mujahid Yusof Rawa, Husam Musa, Mohd Anuar Tahir mulai ditepikan dari jajaran struktur PAS. Putusan muktamar partai mereka ini direspons dengan satu pertemuan khusus yang kelak melahirkan satu sejarah baru. Tentu saja di mata elit dan pendukung PAS, nama-nama kalangan ini dianggap pembangkang bahkan pengkhianat yang gagal dalam kontestasi muktamar. Dua arus pemikiran yang bercorak konservatif dan progesif sukar dipersatukan.
Pada 14 Juni 2015, kalangan progresif membuat satu kesepakatan yang dinamakan “Deklarasi Melawati”, merujuk pada tempat pertemuan mereka. Satu partai yang akan mewadahi pemikiran mereka dalam menjayakan Islam di Malaysia mesti ditubuhkan. PAS sudah dianggap bukan lagi kendaraan kondusif, apatah lagi mereka sudah distigma bahkan secara de facto dikeluarkan. Tanpa butuh waktu lama, sebulan lewat, tepatnya 31 Agustus 2015, berdirilah Parti Amanah Negara. Partai ini dibentuk setelah mengambil alih partai yang ada dalam, yakni Parti Pekerja-pekerja Malaysia. Dalam platform-nya, Parti Amanah Negara berteraskan Islam sebagai perjuangan dengan ciri-ciri progresif, demokratik, moderat, dan berintegritas. Amanah, begitu partai ini biasa disebut, juga secara tegas memilih untuk menjadi oposisi dari penguasa.
Hadirnya Amanah rupanya tetap jadi perhatian para politikus PAS. Bila sebelum ada Amanah, PAS sering mengkritik koalisi partai berkuasa (UMNO), berdirinya Amanah justru mengalihkan sasaran serangan. Amanah, sejak bakal ditubuhkan hingga kini, jadi sasaran kecaman elit dan pendukung PAS. Sebutan kepada Amanah sebagai partai yang berpahaman liberal pun disematkan di banyak tempat. Ketika elit-elit Amanah membela diri dengan menyebut pendekatan politik dan pemikiran mereka sejalan dengan almarhum Tuan Guru Tok Nik Abdul Aziz Nik Mat, PAS membuat hujjah sebaliknya. Tak jarang saling klaim paling selaras dengan pemikiran Tok Guru berseliweran di ruang publik. Selepas Pilihan Raya Umum ke-14, cibiran beberapa pendukung PAS bahwa Amanah bakal tenggelam rupanya tidak terbukti. Sementara PAS kian mesra dengan UMNO, Amanah menempatkan tiga nama dalam jabatan menteri di pemerintahan Mahathir Mohamad yang diumumkan 18 Mei lalu.
Tersebutlah nama Anis Matta bila menyebut kiprah AKP dan Amanah. Nama mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera ini disebut-sebut oleh kalangan muda di pergerakan Tarbiyah memiliki kedekatan, untuk tidak menyebut akses istimewa, dengan jejaring Ikhwan. Tak terkecuali dengan Erdoğan, bahkan saat Anis tak lagi menjabat posisi strategis di PKS. Terlebih dengan para al-akh di Amanah. Nama Anis sudah mendapat tempat tersendiri di kalangan Ikhwan negeri jiran. Namanya tak asing bahkan selepas tidak menjabat sebagai presiden PKS, ia diundang oleh pertubuhan IKRAM, satu gerakan yang memakai manhaj Ikhwan, dalam Konvensyen Maqasid Syariah 2015.
Tema yang dibincang Anis cukup mentereng: Implementasi Maqasid Syariah dalam Koalisi Politik. Acara pada 30 Oktober itu banyak dinilai orang sebagai bagian dari agenda Amanah. Bukan rahasia bila IKRAM dan Amanah itu satu fikrah dan sering dikait-kaitkan sebagai al-akh yang saling menopang. Gagasan yang disampaikan Anis Matta dalam forum itu memang tidak berbeda jauh dengan langkah taktis yang diambil Amanah ketika menghadapi PRU 14. Hasilnya: sukses, bahkan bisa dibilang cukup berjaya.
Hanya saja, satu gundah patut dilayangkan oleh mereka yang kenal Anis Matta: di mana dia? Sementara Erdoğan berhasil mewujudkan skenario sebagai presiden Turki di bawah sistem pemerintahan presidensial, kemudian Mat Sabu dan kawan-kawan sukses menumbangkan status quo nan korup di Malaysia, bagaimana dengan visoner Ikhwan dari Asia Tenggara itu, Anis Matta?
Disengaja ataupun tidak, plot naiknya dua cawangan alias cabang “tak resmi” Ikhwan, AKP di Turki dan Amanah di Malaysia, dicegat oleh kalangan yang tidak suka tampilnya Anis. Siapa mereka? Sebagaimana dalam dua kejadian di dua negara tersebut, justru dari kalangan Ikhwan pula yang melakukannya. Perhatikan, kontestasi terbuka sebagaimana dalam kasus Fazilet saat memilih ketua umum, kini hanya angan belaka diwujudkan di benak pendukung Anis Matta. Betapa tidak, semua jejaring pendukung, bahkan yang sekadar terindikasi, ditepikan. Kesempatan untuk “melawan” dinihilkan sejak awal. Jadi, perebutan secara terbuka bak utopia.
Momen peluang untuk “mewarnai” oleh pendukung Anis dalam muktamar PKS, sebagaimana dalam kasus PAS oleh kalangan al-akh progresif, juga sudah diantisipasi. Cerita-cerita penepian, pembuangan, pemecatan berhamburan di saat PKS semestinya perlu mengonsolidasi diri. Tampaknya pemikir strategi di elit PKS tak mau kejadian ketiga terjadi “cawangan resmi” Ikhwan di Indonesia. Peluang berdialektika tak boleh terjadi, apa pun risiko yang bakal mereka terima dari kader setia Anis maupun—dan terutama—publik di tanah air. Kalkulasi dengan dalil agama sudah disiapkan, yang tentu ini merepotkan potensi untuk terjadi islah. Dambaan banyak kader PKS ini pun normal lagi manusiawi; siapa sih yang menghendaki konflik para guru mereka diumbar saban hari oleh media massa sekuler?
Di sinilah menarik untuk disimak bagaimana formulasi mengatasi konflik di PKS. Apakah berujung sebagaimana di Turki dan Malaysia, bakal ada wadah baru meski awalnya sekadar sebuah gerakan moral non-partai? Toh pihak yang kuat dan memegang struktur kekuasaan di PKS naga-naganya “mengarahkan”, langsung ataupun tidak, adanya pendirian wadah baru oleh pihak “orang sana”. Bila demikian, bagaimana Anis dan pendukungnya membuat satu tatanan baru yang membeda dengan status quo. Juga prosedur pemisahan yang aman lagi nyaman tanpa mengusik rasa ukhuwah. Ilustrasinya, para pendukungnya kelak bisa bergandengan tangan di kehidupan sehari-hari dengan para al-akh yang dulu mencelanya. Tak ada cerita penghadirkan dengan dalil, atau saling sindir lebih Ikhwani seperti pernah terjadi di Turki dan Malaysia. Muasalnya, kalangan harakah, meski sudah berubah wujud sebagai partai politik bahkan mendakwa diri terbuka sekalipun, kadang kala masih kurang terbuka, toleran dan asertif pada bekas kawan yang dianggap memilih jalan hidup beda—dari urusan politik sampai rumah tangga.
Misalkan Anis Matta tak hendak menuju wadah baru, ini juga menarik. Bagaimana ia membuat formulasi bagi para pendukungnya agar rekonsiliasi yang, kononnya, ditepikan struktur PKS tidak serta-merta berarti penggembosan di bilik suara tatkala pemilu? Bagaimana pula ia menyiapkan peranti agar para pendukungnya tidak terintimidasi tapi sekaligus masih setia mendukung PKS, setidaknya, di bilik suara saban pemilu? Singkatnya, bagaimana dalam terpaan disakiti, ia dan pendukungnya tetap berjamaah dalam wadah PKS meski mahligai persatuan itu hanya hadirkan luka dan duka “abadi”? Sampai kapan pula Anis Matta menahan diri agar tak seperti Erdoğan ataupun Mat Sabu yang berikan toleransi, sampai kapan bersabar melihat taktik para Ikhwan di jamaah sudah tak memadai dalam mengembangkan dakwah di Nusantara?
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net