Suaramuslim.net – Malam ini, Senin, 30 Juli 2018, bertempat di gedung Cak Durasim, Gentengkali Surabaya saya menikmati pertunjukan teater Api dengan tema “Max”, Sebuah penjungkir balikan logika.
Dalam pertunjukan yang dilatarbelakangi oleh orang-orangan sawah yang terbelenggu, light lampu merah yang terus menyala dan jerami berserakan diantara tubuh manusia yang tergeletak, menggambarkan sebuah teror terhadap sebuah kehidupan tenang yang ada di desa yang disimbolkan dengan sawah dan jerami. Menunjukkan betapa tidak berdayanya hidup dalam menghadapi modernisasi.
Manusia seolah ritmik yang tersusun secara sistemik. Ibarat mesin, manusia digerakkan agar teratur, diseragamkan dan mengikuti ritme kehidupan yang sedang berlangsung. Manusia menjadi mesin sehingga tak mampu membedakan benar dan salah, manusia dipaksa untuk menerima pemahaman seragam, sehingga tak ada yang disebut dengan perbedaan. Kondisi tak mampu membedakan inilah yang digambarkan seolah sedang berada di rumah sakit jiwa.
Pembelaan terhadap kebenaran, protes terhadap tindak kesewenangan, ketidakadilan dianggap sebagai sesuatu yang sia-sia. Sehingga logika akal sehat menjadi tumpul dan tak mampu membedakan antara kebenaran, keadilan dengan keserakahan dan penindasan. Logika manusia menjadi tumpul.
Max sebagai penggambaran penjungkirbalikan logika, memberi pesan bahwa dunia sudah semakin liar tak ada sekat pembeda. Benar dan salah tak lagi bisa dirasa, ketidakadilan menjadi panutan, kejujuran dicampakkan. Sehingga hidup penuh dengan kepalsuan dan kemunafikan.
Saya hanya bisa membandingkan bahwa situasi yang digambarkan sebagai Max, merupakan sebuah tindakan penjugkirbalikan logika, sebagaimana akal sehat kita yang tak mampu lagi bicara. Orang jujur dianggap salah, sementara mereka yang salah dipuja.
Indonesiaku seolah menjadi sorotan kritis dari sebuah keliaran, ketakmampuan membedakan benar dan salah, sehingga terasa carut marutnya. Indonesia mau dibawah kemana?
Kekerasan terjadi dimana-mana, pelaku kekerasan menjadi pahlawan, korban justru dianggap sebagai pecundang. Logika berbangsa kita semakin buram tak mampu menapaki jalan yang benar Indonesiaku mau dibawah kemana.?
Tengoklah keterbelahan bangsa ini, justru semakin dibanggakan, sehingga akal sehat kita tak mampu lagi menerima pesan kebenaran dan keadilan. Rakyat dipaksa menjungkir balikkan logikanya, kebenaran digambarkan sebagai tindakan yang dilakukan. Kesalahan yang mereka kerjakan, tak mampu mereka menganggap sebagai sebuah kesalahan.
Hidup sejatinya bukan hanya persoalan benar salah, hidup sejatinya merupakan sebuah pilihan atas sebuah keyakinan. Sehingga kebenaran dan kesalahan tidak bisa hanya dipandang satu sisi.
Hidup juga sejatinya merupakan sebuah pilihan atas semakin ketidakberdayaan kita menghadapi situasi, lalu harus melakukan apa? Sehingga hidup itu berbicara bagaimana kita menjalankan kehidupan.
Ditengah carut marutnya situasi pemimpin tak mampu memimpin, partai politik yang tak bisa melakukan pendidikan politik kepada rakyatnya ada baiknya kita menyerukan bahwa kembali kepada UUD 1945 merupakan sebuah pilihan. Memang sulit, karena sudah banyak orang yang menikmati. Keberanian untuk kembali haruslah digaungkan sebagai sebuah keniscayaan.
Semoga saja!
*Ditulis di Surabaya, 31 Juli 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net