Oleh: Ir Misbahul Huda MBA (Founder Rumah Kepemimpinan Indonesia)
Suaramuslim.net – Ijtima’ Ulama’ dan tokoh Nasional yang di helat di Jakarta akhir pekan lalu, dan dihadiri ratusan ulama dan tokoh nasional termasuk ketua umum dari lima partai calon koalisi keummatan (Gerindra, PAN, PKS, PBB, Partai Berkarya), mestinya mampu menjawab pertanyaan tersebut. Bahwa umat yang diwakili para ulama’ dan tokoh nasional serius hendak mengganti presiden secara konstitusional lewat mekanisme Pemilu Presiden tahun 2019.
Tetapi jika mengikuti dinamika seleksi calon capres dan cawapres pada ijtima’ ulama’ tersebut, pertanyaan pada judul tulisan ini ada relevansinya. Kebingungan menentukan pasangan calon presiden dan wapres di komisi politik, seolah hendak menegaskan bahwa kita serius ingin mengganti Presiden, tetapi kita tidak serius menyiapkan siapa orangnya yang layak dikompetisikan menjadi pemimpin nasional .
Pembukaan ijtima’ berakhir tengah malam, diisi dengan sambutan pengarahan dan orasi tokoh, mulai ketua panitia, welcome speech dari Gubernur Anis Baswedan, GPNF Ulama’, dilanjutkan parade pidato lima ketua umum parpol yang hadir saat itu. Bahkan sebelumnya diperdengarkan rekaman pidato arahan Imam Besar Habib Rizieq Shihab (HRS). Dalam arahan tersebut mulai mengerecut kesepakatan ijtima’ bahwa pasangan yang diusung harus tandem mewakili tokoh nasional (kebangsaan) dan ulama mewakili (keummatan). Artinya, jika RI-1 nya tokoh nasional, maka RI-2 harus kalangan ulama’, demikian sebaliknya.
Tugas menggodok nama paslon selanjutnya diamanahkan pada komisi politik. Agendanya cukup banyak, selain membahas rekomendasi calon pemimpin nasional, sebelumnya membahas draft keputusan ijtima’ tentang kriteria ideal calon pemimpin dan pejabat publik yang akan dipilih oleh umat, tentang program politik pejabat publik dan calon presiden, juga tentang pakta integritas pejabat publik dan pemimpin nasional. Cukup banyak agenda yang dibahas, sehingga alokasi waktu sehari untuk rapat komisi itu terasa sempit. Akhirnya pembahasan pembahasan calon pemimpin nasional, baru dimulai usai asar dan harus berakhir maghrib.
Agar cepat mengerucut dan tidak melebar, musyawirin sepakat untuk mulai memeras dari kandidat yang pernah dibahas pada pertemuan GPNF Ulama sebelumnya, untuk RI-1 mengerucut nama Prabowo Subianto, mengungguli kandidat lain Zulkifli Hasa dan Yusril Ihza Mahendra dan lainnya. Pembahasan RI-1 ini tidak memakan waktu lama.
Diskusi komisi politik menjadi ramai ketika mencari siapa wakilnya, yang disepakati harus dari kalangan ulama’. Maka muncullah nama Habib Salim Al Jufri, ulama’ yang bisa diterima banyak pihak dan punya pengalaman di pemerintahan sebagai menteri, tambahan lagi koalisi PKS-Gerindra diakui paling awet. Namun, Forum sepakat untuk membuat opsi minimal 2 pasangan calon, untuk dimajukan ke HRS agar memilihnya.
Alternatif paslon berikutnya lebih sulit karena ada kriteria tambahan, yaitu diharapkan dari ulama’ muda yang netral (non-partisan), sehingga akseptabilitas di kalangan umat lebih meluas. Wacana ini muncul karena ada kekuatiran Habib Salim mendapat resistensi dan parpol lain yang malah menjadi ganjalan koalisi keummatan.
Kriteria harus ulama’ ini pula yang akhirnya menggeser nama-nama Zulkifli Hasan, Yusril, Anies dan Aher yang sempat diungggulkan. Awalnya ada tokoh ulama’ paling seksi dari timur, TGB, tapi sudah ‘masuk kotak’ duluan sebelum diusulkan.
Menjelang maghrib, tiba-tiba keluar nama Ustad Abdus Shomad (UAS) sebagai wakil alternatif yang mendampingi Prabowo. Nama UAS langsung diamini oleh forum karena tidak ada nama lain yang dimunculkan saat itu, meski masih banyak yang angkat tangan (termasuk penulis) yang kurang setuju. Keterbatasan waktu yang membuat komisi politik harus segera memutuskan rekomendasi pasangan calon. Akhirnya rekomendasi keluar seperti yang telah beredar viral, RI-1 Prabowo Subiyanto, RI-2 ada dua nama Habib Salim Al Jufri dan UAS.
Benar saja kekuatiran penulis, pemunculan UAS menimpulkan pro-kontra di kalangan umat sendiri. Kalangan akademisi menyayangkan seolah ijtima’ ulama’ tidak serius mencari calon pemimpin nasional, alasannya UAS itu ustadz banget, ulama’ yang alim cocoknya berdakwah, karena belum teruji kompetensinya di manajemen dan kepemimpinan apalagi di pemerintahan. Sementara kalangan ulama’ sangat mendukung UAS karena integritas dan popularitasnya, umat lebih mengenal UAS ketimbang tokoh calon wakil lainnya.
Saya kira pendapat akademisi yang kontra tidak salah, juga ulama yang pro UAS juga tidaklah salah, karena sejalan dengan persepsi nya masing-masing. Yang salah adalah umat islam Indonesia sejumlah 220 juta lebih ini, belum mampu melahirkan sosok pemimpin yang integritas, kapasitas, popularitas dan elektabilitasnya layak di kompetisikan dengan pentahana. Sistem demokrasi yang mengunggulkan popularitas tambah menyulitkan ijtima memilih kandidat yang benar-benar layak. Aura ketidaksiapan ini sangat terasa ketika ulama dari Aceh sampai Papua yang berkumpul di forum ini tidak mampu menyebut nama lain selain UAS.
Kekuatiran penulis semakin bertambah manakala melihat kesiapan lainnya, pentahana sudah dipersiapkan lebih dari 10 tahun yang lalu, sementara calon dari umat islam ini baru diperisapkan pekan lalu. Semoga pertolongan Allah menyempurnakan ikhtiar dan jihad politik kita.
Pesan moralnya adalah, saatnya umat khususnya ulama dan tokoh nasonal peduli bangsa serius memikirkan lembaga yang memproduksi pemimpin bangsa dan umat, dalam pelbagai tingkatannya, mulai RT, RW, Kades, Walikota sampai pemimpin Negara. Pemimpin yang layak diunggulkan di kampung, kampus maupun di kantor-kantor pemerintahan.
Jika tidak maka kegaduhan dan kebingungan yang sama akan kita alami pada pilpres 2024 yang akan datang, juga pilwali surabaya tahun depan (2020) dan pemilu legislatif lainnya. Doa kita tak pernah lupa, “jadikan kami dan anak cucu kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa”, tapi ikhtiar kita sepertinya belum sepadan dengan doanya.
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net