Suaramuslim.net – Seorang bocah kecil tengah bermain di kebun. Matanya menatap tajam ke satu kepompong yang sedang dalam proses membelah. Tampak seekor kupu-kupu tengah berjuang keluar dari himpitan cangkang kepompong. Dengan dada berdebar-debar bocah itu mengamati kejadian di hadapannya. Sebentar lagi akan muncul seekor kupu-kupu indah yang sangat dicintainya. Bocah itu terus menunggu saat yang menggembirakan yaitu kelahiran sang kupu-kupu.
Waktu terus berlalu. Kupu-kupu itu masih terus berjuang keluar dari kepompong. Bocah kecil itu merasa kasihan dengan kupu-kupu yang masih terperangkap di dalam kepompong. Sampai kapan ini semua akan berakhir? Begitu pikir si bocah kecil. Maka diambilnya gunting di rumah. Dengan perlahan-lahan dibelahnya kepompong itu. Akhirnya, berkat pertolongan dari bocah kecil itu sang kupu-kupu berhasil keluar dari kepompong.
Dengan penuh kegembiraan bocah kecil itu mengamati kupu-kupu yang baru ditolongnya. Kini ia menunggu saat sang kupu-kupu bisa terbang ke angkasa. Lima menit hal itu belum terjadi. Sepuluh menit belum juga. Satu jam? Ya, akhirnya setelah lama menunggu bocah kecil itu sadar bahwa kupu-kupu yang ditolongnya itu ternyata tidak bisa terbang.
Pembaca budiman, kejadian yang dialami oleh kupu-kupu dalam kisah di atas bukan lagi cerita fiksi. Banyak kejadian serupa terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orangtua berlaku layaknya “bocah kecil menolong kupu-kupu” saat melihat anaknya sedang berproses. Sebagian orangtua merasa tidak tega melihat anaknya harus bersusah payah menyelesaikan satu pekerjaan. Hasilnya, betapa banyak anak-anak kita yang belum bisa mengurus diri sendiri pada usia yang seharusnya bisa mandiri.
Mari lihat kejadian setiap tahun ajaran baru sekolah dimulai. Hampir di semua kota terjadi kejadian yang sama. Semua jalan mengalami kemacetan luar biasa. Penyebabnya adalah orangtua yang mengantar anak-anak masuk sekolah baru. Apakah ini salah? Tentu saja tidak jika yang diantar adalah siswa TK atau SD. Mengantar anak ke sekolah menengah (SMP dan SMA) adalah sesuatu yang kurang lazim untuk dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu. Tapi saat ini bagi sebagian orangtua tidak mengantar anak ke sekolah usia sekolah lanjutan, dianggap tidak cinta kepada anak. Maka jangan heran, sekarang ini cukup banyak siswa SMP bahkan SMA yang belum bisa berangkat dan pulang sekolah tanpa antar-jemput.
Hari ini sebagian besar anak-anak kita tidak pernah lagi belajar bahwa kehidupan itu adalah sebuah proses. Untuk mencapai sesuatu seseorang harus sabar menjalani proses setahap demi setahap. Dan di dalam setiap tahapan itu kadang seseorang harus merasakan sakit dan derita. Proses belajar itu kini telah dihilangkan oleh orang-orang dewasa di sekitarnya, termasuk oleh orangtuanya sendiri.
Orang-orang besar dan para pengukir prestasi hebat seperti pengusaha sukses, para penemu, atlit-atlit juara adalah orang-orang yang sabar menjalani proses. Mereka tetap teguh menempuh jalan menuju cita-cita meski berulang kali mengalami jatuh bangun dan kegagalan demi kegagalan. Tidak ada prestasi hebat yang diukir dari kerja semalam.
Orang-orang hebat yang namanya harum dikenang sepanjang masa adalah orang-orang yang di masa lalunya pernah menjalani proses belajar dari kehidupan. Mereka ditempa oleh kesulitan demi kesulitan di masa lalu. Tidak pernah ada orang besar yang hidup dalam kemudahan dan dimanja dengan fasilitas di masa lalunya. Kesulitan di masa kini adalah pembuka jalan kemudahan di masa depan. Kitab suci Al Quran menyampaikan hal itu di dalam surah Al Insyirah:
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al Insyirah: 5-6)
Maka, biarkanlah anak-anak kita menikmati setiap proses kehidupan sebagaimana mestinya. Jangan pernah memotong “kepompong” anak-anak kita, agar di masa depan mereka bisa terbang tinggi ke angkasa.
Kontributor: Awang Surya*
Editor: Oki Aryono
*Penulis dan Motivator Spiritual