Suaramuslim.net – Awalnya mereka saling mengagumi. Apalagi satu nama besar mempersaudarakan keduanya. Sampai akhirnya bentangan perbedaan membuat perkawanan disapu benci.
Tiadanya Haji Rasul bukan aral untuk langgengnya perkawanan Hamka dan Sukarno. Cuma siapa yang menjamin bila keduanya, dengan latar pemikiran berbeda, terus-menerus saling menenggang perbedaan yang sewaktu-waktu hadir?
Bernhard Dahm, dalam disertasi doktoralnya —yang kemudian dibukukan dengan terjemah Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan (1987)— menyebutkan bahwa tahun 1934-1941 (masa pembuangan Sukarno di Endeh dan Bengkulu) merupakan “tahap Islamis” Sukarno. Di periode ini pula tumbuh minat Sukarno pada Islam di pembangunan (bangsa).
Periode antusiasme Sukarno pada tema Islam tersebut menautkannya untuk mudah berakrab dengan pemikiran ataupun tulisan Haji Rasul dan Hamka. Hanya saja, fase ini ternyata tidak permanen. Selepas itu, Sukarno kian tertarik mensintesiskan Nasionalisme, Marxisme, dan Islam.
Titik baliknya adalah pertengahan 1950-an, saat pendulum ambisi Sukarno nyaman bersama eksponen partai komunis. Cerita airmata dua sekawan pun berbelok. Rusjdi, putra Hamka, mengenang hubungan dua kawan lama itu dalam riwayat hidup ayahnya, Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr Hamka (1981) pada periode ini.
“Pidato Ayah di sidang Konstituante yang menolak ide Sukarno, pasti sangat menyakitkan hati Sukarno,” tulis Rusjdi. Ia pun menceritakan bagaimana polemik ayahnya dengan Sukarno.
Satu kali Sukarno bicara, “Kapan kita mulai menggali Api Islam?”
Ayah dalam kesempatan lain menjawab, “Tunggu tanggal mainnya!”
Tentang konsepsi Demokrasi Terpimpin, kabinet kaki empat yang menjadi gagasan Sukarno, Presiden itu berkata, “Itulah jalan lurus, as-sirathal mustaqiim.”
Ayah menjawab, Itulah as-sirat ilal jahim”, alias jalan menuju ke neraka.
Imbasnya, terang Rusjdi, Sukarno membungkam sang ayah dalam penjara selama hampir 2,5 tahun.
Bukan hanya Hamka yang menderita di bawah kian berkuasanya Sukarno pada masa berkarib dengan kalangan komunis. Beberapa kawan seperjuangannya di Masyumi dibui rezim.
3 Januari 1950, Hamka masih bisa bermajelis dengan Sukarno. Sukarno menjadi pendengar ceramah kawannya itu dalam peringatan maulid Nabi Muhammad yang diadakan di Istana Negara, tepat lima hari setelah penyerahan kedaulatan Belanda kepada pemerintah Indonesia.
“Maka terbayanglah di hadapan saya di malam ini sebagai seorang seniman, kejayaan Islam akan timbul kembali! Indonesia akan memegang peranan penting dalam kebangunan itu. Dan engkaulah, Bung Karno, saya harap menjadi pandu dari kebangunan itu,” gema Hamka dari atas mimbar dengan kopiah hitam di kepala, seperti dicatatnya dalam Kenang-kenangan Hidup IV (1951).
Enam hari sebelumnya, Hamka juga membuat sanjungan pada Sukarno satu puisi yang dimuat di koran Merdeka. Pada baris-baris puisi berjudul “Kepada Sukarno-Hatta” itu, ia menuliskan:
Tuan berdua manatahnya satu
Dukuh berlian di leher Asia
Tauladanlah Muhammad pulang ke Makkah
Ma’afkan semua
Ma’afkan semua
Selamat istirahat di Istana Gambir
Mengenangkan berapa darah bertumpah
Puisi dan pidato Hamka itu memang bukan yang terakhir di hadapan Sukarno. Hanya saja, itulah akhir dari kisah perkawanan karib anak (kandung) dan anak angkat almarhum Haji Rasul. Selanjutnya adalah saling mendengar tapi dengan gemuruh dada saling menyerang.
Padahal, di hadapan banyak orang, Sukarno menyampaikan penuh semangat: “Kita menghancurkan kita punya diri sendiri dari dalam. Kita merobek-robek dada kita sendiri, bukan musuh yang merobek-robek kita punya dada, tetapi kita sendiri merobek-robek kita punya dada! gomtok-gontokan satu sama lain.”
Pesan ini dipidatokan Sukarno di Istana Negara, dalam amanat peringatan Isra dan Mi’raj, 20 November 1965. Tidak ada Hamka di depan Sukarno kala itu karena sang pemegang sapaan ‘buya’ masih meringkuk dalam tahanan atas tuduhan terlibat dalam persekongkolan yang hendak membunuh dan menggulingkan kawannya itu.
Meski dalam puncak kekuasaannya Sukarno memusuhinya, Hamka mampu memilahnya mana pertentangan pemikiran dan mana soal pribadi. Hal ini tampaknya yang membuatnya bisa mengelola emosi. Sukarno yang berkawan lama dengan Hamka, lantas memusuhinya bahkan merampas hak-hak Hamka sebagai seorang warga negara selaku seorang ayah, justru disikapi dengan airmata persahabatan manakala ada pihak yang memohonkan padanya untuk bersedia mengimami shalat jenazah Sukarno.
“Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku.” Pesan singkat ini dibawa penuh lekas oleh Mayjen Soeryo, ajudan Presiden Suharto, pada Hamka.
Pesan Sukarno dititipkan lewat keluarganya, yang kemudian dipenuhi Suharto. Pesan terakhir sebelum sang proklamator wafat. Irfan, seorang putra Hamka, dalam karyanya yang berjudul Ayah…; Kisah Buya Hamka, menuturkan percakapan sang ayah dan Soeryo. Almanak menera hari itu Ahad 21 Juni 1970.
“Jadi beliau sudah wafat?”
“Iya Buya. Bapak Sukarno telah wafat di RSPAD, sekarang jenazahnya telah dibawa ke Wisma Yaso.”
Tanpa membuang waktu, Hamka berangkat ke Wisma Yaso, untuk selanjutnya tampil ke depan memenuhi amanah sang kawan lama, Sukarno, yakni menjadi imam shalat jenazahnya. Di belakang Hamka, Suharto turut sebagai makmum.
Setelah Sukarno dikebumikan, tidak ada upaya Hamka untuk mengungkit-ungkit rasa sakit akibat dizalimi kawannya itu. Dalam ungkapan Rusjdi, “Seolah-olah dia benar-benar telah lupa bahwa Sukarnolah yang menangkapnya berdasarkan undang-undang anti-subversif yang terkenal dengan nama Penpres No 11 itu.”
Di mata Rusjdi, Hamka memang sosok yang memiliki “rasa haru yang amat cepat mengeluarkan airmata.” Baginya, sikap sang ayah itu berlebihan.
Sebenarnya, keharuan yang amat cepat, bahkan diiringi airmata, juga dimiliki pada sosok Sukarno. Hanya saja, keharuan lewat tanda airmata kedua kawan itu tidak mesti sama ketulusan dan kesungguhannya dalam memaknai suatu peristiwa. Ada kalanya airmata Sukarno merupakan senjata pamungkas untuk menaklukkan pihak yang belum sependapat dengannya.
Ki Bagus Hadikusumo, dan Daud Beureueh pernah merasakan hal itu dalam tempo berbeda dan penyikapan berbeda. Ki Bagus membaca gelagat permainan airmata Sukarno dalam perdebatan terkait penghapusan “tujuh kata” dalam sila ke-1 Pancasila dan “presiden beragama Islam” (pasal 6 ayat 1 UUD 1945), dan memilih bergeming. Sebaliknya, Daud Beureueh “takluk” dan percaya begitu saja manakala Sukarno menjanjikan pemberlakuan syariat Islam, khusus bagi Aceh.
Hamka, menariknya, boleh jadi tahu soal airmata Sukarno, sebagaimana halnya Ki Bagus. Tapi ia tak terus-menerus menyungutinya, dengan mengingatkan orang lain. Hamka memilih untuk melupakan. Melupakan segala hal atas tindak tanduk Sukarno padanya. Baik yang langsung dengan tangannya, atau kaki tangannya.
“Kita tidak boleh putus asa! Pemimpin tidak boleh putus asa!”
Mungkinkah karena kalimat Sukarno pada 1944 itu maka Hamka tak mau berputus asa untuk menerima baik kawannya? Asa agar sang kawan berubah dalam menjalankan kekuasaan untuk rakyat. Walau, sayangnya, jalan politik Sukarno ternyata tidak seperti pilihan hati Hamka.