Penulis: Yusuf Maulana
Suaramuslim.net – Sebegitu kuatnyakah keberadaan kalangan islamis berpandangan “garis keras” di negeri ini hingga sebatang hidung mereka saja di tengah umat mesti diwaspadai? Seberapa hebat kekuatan mereka hingga semua celah untuk masuknya radikalis itu harus jauh-jauh hari ditangkal?
Sementara sebagian Muslimin masih mencari-cari jawaban atas pertanyaan itu, sekelompok umat dengan mantap dan yakin sering menyebutkan berbahayanya kelompok yang dicirikan bakal mengganti ideologi negara. Pancasila dan NKRI bakal diganti para radikalis tadi. Kelompok itu sejak dini pun ingin dipersempit ruang geraknya. Apalagi bila mereka menyebar dan bersiap merebut kekuasaan. Begitulah isi pikiran kalangan yang mencemasinya.
“Sangat bodoh sekali jika ada orang yang berbeda alasan khittah atau alasan apa, lalu membiarkan negara dikuasai oleh aliran keras atau membiarkan negara dikuasai, didanai asing atau negara dikuasai oleh kelompok Islam yang menentang Ahlussunnah Wal Jamaah, atau membiarkan negara dipimpin oleh orang yang mengancam keutuhan bangsa.” Ucapan KH. Marzuki Mustamar, Ketua PWNU Jatim, ini bagi kalangan kelompoknya hanya mengafirmasi kecemasan selama ini. Kelompok-kelompok yang diidentifikasi sebagai “wahabi”, HTI, khawarij, sering disebut-sebut di ruang publik sebagai ancaman marabahaya negeri. Sembari memuji andil kelompoknya, kalangan seperti sang alim ini senantiasa mengingatkan publik bahaya kelompok tadi.
Retorika-retorika pengingatan bahaya kelompok “sebelah” semacam sang alim tersebut sebetulnya masih bisa dicermati, apakah memadai sebagai peringatan ataukah sebentuk paranoid belaka yang diselubungi latar politik?
Banyak beredarnya peringatan bahaya kelompok radikal, saat yang sama sayangnya tak selalu disertai bukti. Lebih sering berangkat dari asumsi dan ketidaksukaan pada pemikiran kalangan lain. Sejauh masih berupa aliran pemikiran atau mazhab, sejatinya tak perlu digundah-gulanakan. Mazhab bentuk bernegara selagi masih wacana, kendati kita benci sangat pada mereka, tak mesti dilarikan dengan sikap beringasan. Sikap tak beradab pada mukminin yang, bahkan dalam anggapan kita, dianggap sesat atau keliru melahirkan istinbat hukum pada kelompok lain.
Penarikan kesimpulan menghakimi pemikiran sesama mukminin seyogianya dengan cermat. Berhati-hati dan bijak sebagaimana klaim-klaim identitas kita selama ini selaku penjunjung Islam sebagai rahmat bagi semua makhluk-Nya. Lantas mengapa kepada saudara seagama lebih sering ucapan-ucapan tak patut, mendegradasi makna kedalaman ilmu para alim yang melontarkannya? Ataukah ini semata bingkai penulisan berita belaka?
Ucapan seperti alim tadi, sungguh bikin kita pantas mengelus dada. Penarikan hujah politik semacam itu sudah tentu tidak perlu disikapi dengan keras oleh kalangan yang dituju—diam-diam ataupun blak-blakan. Tak perlu kesilapan ulama membuat argumen lemah (baik secara silogisme maupun fakta empiris) dibalas dengan amarah dan cerca. Asumsi awal yang membelah “kita” dan “mereka”, Aswaja dan kalangan Islam di luarnya, terlampau disederhanakan dalam kaidah yang lemah. Bias “persaingan” mazhab fiqh klasik diterapkan dengan semena-mena pada ranah kontestasi politik hingga jadilah begini. Tampak baik di nawaitu, bila digeledah hasrat si penutur maka bisa berbeda dari yang zahir.
Harap dimaklumi, hari-hari ini aroma politik begitu kuat. Ssementara kesediaan membuka ilmu dari khazanah minda berbeda ditutupi hasad. Jadilah ucapan-ucapan ke publik yang rentan dipelintir media. Sayangnya, para alim seperti senang karena agenda kelompoknya disiarkan media. Lupa bahwa kekuatan ummah, dan bukan mazhab kelompok “kita” sekalipun bernama mulia, tengah diperlemah dari retorika-retorika semacam alim tadi.
Bermazhab fiqh, yang kemudian dalam dinamikanya mengejawantah sebagai aliran politik pemikiran islamis, sejatinya ini yang mesti direnungkan. Tidak ada yang salah dengan bermazhab, juga tak mesti dilawan dengan jargon klasik, gaungkan anti-taqlid mazhab. Yang bermasalah sebenarnya sikap fanatik dalam bermazhab sampai lupa kaidah-kaidah yang mesti diperbuat sebagaimana para pendiri dan pemuka awal madrasah fiqh yang kemudian lebih dikenal sebagai mazhab fiqh.
Dengan begitu, ucapan-ucapan semacam alim di timur Jawa tadi seyogianya asing andaikata Imam asy-Syafi’i hidup. Yang ada semestinya sebentuk kelapangan menindak bukan mengancam. Sama seperti bagaimana Khalifah Ali bin Abi Thalib menyikapi penyebutan para Khawarij, yang enggan beliau kafirkan meski beliau sendiri pun berkali-kali pantas kesal dengan perilaku mereka.
Berbeda aliran, kalau mau konsisten bermazhab, tak patut melawan dengan sentimen kesumat. Pikiran dilawan dengan pikiran bermetode. Bukan dengan ancaman yang meninggalkan ilmu di belakang prasangka.