Suaramuslim.net – Pertanyaan tentang keberadaan diri biasanya muncul saat sebelum usia baligh. “Aku ini dari mana? Kok bisa ada aku?”, “Bagaimana ibu melahirkan aku?”, akan muncul sebagai wujud rasa ingin tahu mereka. Ada yang disampaikan langsung kepada orangtua, guru, dan ada juga yang dilontarkan dalam obrolan antar teman. Jika ditanyakan kepada orangtua, biasanya mereka akan gelagapan dan menganggap itu topik pembicaraan yang tak patut dibahas. Jika ditanyakan kepada guru, mereka pun akan kesulitan menemukan bahasa yang pas untuk menjelaskan itu kepada anak tersebut. Dan yang lebih berbahaya bila hal tersebut ditanyakan kepada teman sebayanya. Karena boleh jadi karena dorongan rasa ingin tahu tersebut akan mendorong mereka untuk mendapat informasi yang belum sepatutnya mereka asup. Apalagi sekarang cukup dengan sekali sentuhan jari di internet, akan hadir jutaan informasi tanpa filter yang layak.
Sesungguhnya, siapakah yang bertanggung jawab untuk memberikan edukasi kepada anak dalam hal seks dan reproduksi? Jawaban yang pasti adalah ayah ibu atau orangtua. Karena mereka berdualah yang memiliki tanggung jawab mutlak terhadap pendidikan putra-putri mereka.
Dalam buku berjudul “Modern Islamic Parenting”, pertanyaan tentang hal ini terjawab tuntas. Dalam buku karya Dr. Hasan Syamsi ini tertera pentingnya orangtua memberikan pemahaman kepada anak bahwa fenomena pertumbuhan seksual bukanlah hal buruk. Anak-anak perlu diajari untuk menerima diri dan tubuhnya. Pada saat yang bersamaan anak diajari untuk menjaga dan mengontrol diri. Juga menghias diri dengan kehormatan dan segala yang diajarkan Islam. Dengan hati-hati orangtua perlu mengajarkan perubahan-perubahan yang akan terjadi pada fisik anak saat menginjak usia baligh. Seperti buah dada membesar, tumbuhnya bulu kemaluan, haid pada anak perempuan, dan mimpi basah pada anak lelaki. Semua itu disampaikan dengan bahasa sederhana dan tidak secara detail.
Apabila anak bertanya berkaitan dengan proses kelahiran mereka, maka perlu bagi orangtua bersikap tenang dan tidak menganggap anaknya bersikap kurang ajar. Karena boleh jadi itu adalah letupan rasa ingin tahu mereka. Dan perlu disyukuri bahwa mereka bertanya kepada orangtua, bukan kepada orang lain. Karena jika pertanyaan tersebut diajukan kepada orang lain, boleh jadi mereka mendapatkan penjelasan yang belum sesuai dengan usia mereka.
Orangtua perlu menjelaskan secara sederhana sesuai tingkat pemahaman mereka. Semuanya menggunakan bahasa kiasan. Orangtua bisa menjawab, “Perhatikan tanaman di kebun itu. Pada mulanya hanya berupa biji – bijian yang dirawat petani. Seperti kamu juga. Pada mulanya kamu adalah benih dalam rahim ibumu, yang terus dijaga hingga kau berkembang dan keluar ke dunia ini dalam wujud bayi.”
Saat usia anak semakin berkembang dan rasa ingin tahunya semakin tinggi, maka penjelasan lanjutan pun dapat diberikan. Tentu mereka ingin tahu tentang peran ayah dan ibu dalam proses keberadaan dirinya. Penjelasan seperti ini dapat diberikan, “Ketika Allah menciptakan alam raya, Dia meletakkan benih semua anak separuhnya ada di punggung lelaki dan separuhnya ada di perut wanita. Masing-masing dari separuh ini berusaha untuk saling bertemu hingga ketika si lelaki mampu bekerja dan si wanita mampu mengatur rumah tangga. Selanjutnya benih tumbuh berkembang setelah menemukan separuh lainnya di dalam perut wanita hingga lahir.”
Lalu, bagaimana bila anak-anak bertanya tentang bagaimana anak ke perut ibu? Orangtua dapat menjawab bahwa sebelum ia diciptakan, ia berbentuk sangat kecil, lebih kecil daripada partikel debu. Setiap manusia pada mulanya adalah benih kecil. Selanjutnya benih ini tumbuh berkembang di dalam perut ibunya. Seperti biji gandum berkembang di dalam tempat khusus berisi kapas dan air. Selanjutnya dijelaskan bahwa Allah menciptakan benih-benih manusia seperti Dia menciptakan benih tumbuhan dan hewan.
Demikian salah satu model jawaban yang dapat digunakan orangtua untuk menjawab pertanyaan anak tentang seksualitas dsn reproduksi. Jawaban tersebut berupa metafora atau perumpamaan yang insyaallah mudah dipahami anak. Jawaban berjenis metafora atau perumpamaan ini juga digunakan Allah dalam Al Quran untuk menjelaskan hal-hal yang bersifat pribadi. Misalnya tentang kedudukan suami dan istri dalam keluarga.
Oleh: Mohammad Efendi, S.S.*
Editor: Oki Aryono
*Pendidik di YLPI Al Hikmah