Suaramuslim.net – Setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam dan para sahabatnya menaklukkan kota Makkah dari pengaruh kaum musyrikin Quraisy, yang dikenal dengan fathu Makkah, Rasulullah menyatakan dalam sabdanya:
“لا هجرة بعد الفتح ولكن جهاد ونية…”.
“Tiada hijrah setelah Al-fath (fathu Makkah), akan tetapi jihad dan niat…”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Saat itu, setelah fathu Makkah maka tidak ada lagi hijrah yang dilakukan dari kota Makkah ke kota Madinah, yang adalah jihad dan niat. Inilah yang dikenal dengan hjirah maknawiyah. Hijrah maknawiyah adalah hijrah dengan hati menuju Allah dan Rasul-Nya, dan inilah hijrah yang sebenarnya, karenanya hijrah jasadiyah akan mengikuti hijrah maknawiyah.
Hijrah maknawiyah menjadi fardhu ‘ain bagi setiap muslim kapan saja dan di mana saja di berada. Hijrah maknawiyah ini, meliputi kata dari dan ke atau kepada, oleh karenanya seseorang yang berhijrah pada hakikatnya berhijrah dari banyak hal, diantaranya:
Pertama: dia berhijrah dari mencintai selain Allah kepada cinta kepada-Nya. Bila kita mencintai Allah secara benar dan lurus, maka apapun dan bagaimana pun perintah-Nya pasti kita akan senatiasa mengikuti dan melaksanakan segala perintah-Nya, dan cara mencintai-Nya adalah dengan mengikuti segala apa yang diperintah dan diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam.
Yang kedua adalah: kita harus berhijrah dari penghambaan kepada selain Allah kepada penghambaan hanya kepada-Nya. Kita harus membebaskan diri kita dari penghambaan kepada manusia kepada penghambaan kepada Rabb Manusia, dari penghambaan kepada berhala dengan segala macam dan jenisnya kepada penghambaan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata.
Hijrah yang ketiga yaitu: kita berhijrah dari rasa takut kepada selain Allah kepada takut hanya kepada-Nya. Seringkali umat Islam merasa takut kepada selain Allah, takut kepada penguasa dzalim, takut kepada atasan bahkan teman dekan dan kerabat yang menjajikan nilai hampa dan tak bermakna sehingga bila kita mentaatinya akan membawa kita kepada maksiat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Seharusnya sebagai seorang Mukmin kita hanya takut kepada Allah yang Kuasa atas segala sesuatu.
Keempat: kita harus berhijrah dari penyerahan urusan kita kepada selain Allah kepada bertawakkal hanya kepada-Nya. Setelah kita berusaha dan bekerja secara optimal, kita iringi dengan doa harap, kita serahkan semua urusan kita hanya kepada-Nya. Kita bertawakkal hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala secara penuh dan totalitas. Sehingga kita merasa, aman, nyaman dan yakin akan pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan kita yakin bahwa segala urusan kita cukuplah Allah di atas segala-galanya.
Kelima: dari berdo’a (memohon) kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada berdoa hanya kepada-Nya. Fenomena yang sangat menyedihkan, di mana banyak umat Islam yang berdoa dan mengharap sesuatu kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bila mereka ada suatu hajat mereka mendatangi para normal, dukun, kuburan dan yang semacamnya.
Mereka meminta dan berharap agar ada isyarat permintaannya dapat terwujud dan dikabulkan. Padahal hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala Rabb yang Maha Memberi, Rabb yang maha Pengasih. Dia memberi walau pun tidak diminta apalagi bila kita selalu memohon dan meminta kepada-Nya.
Penulis: Sudarno Hadi*
*Ketua Dewan Dakwah Jatim
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net