Suaramuslim.net – Suatu malam, di bumi hijrah, seorang wanita terbangun dari tidurnya. Ia sangat khawatir dan cemas. Baru saja mimpi buruk menderanya. Dalam mimpi ia melihat, suami yang dicintai selama ini, tenggelam ke dalam lautan yang sangat dalam.
Kondisinya sangat memprihatinkan. Air mata pun tak terbendung membasahi pipinya. Ada apa gerangan yang akan terjadi dengan suami tersayang yang sama-sama hijrah dalam ikatan cinta?
Esok hari, baru ia tahu mimpinya benar-benar terjadi. Kini ia telah murtad dari agama Islam, lebih tertarik dengan agama penduduk setempat. Tak cukup sampai di situ, ia sekarang juga terbiasa mabuk-mabukan. Bahkan yang membuatnya terperanjat adalah ketika suami tercintanya mengajaknya murtad. Sungguh pilihan dilematik. Saat dua cinta dipertaruhkan: cinta suami apa cinta agama yang diperjuangkan selama ini.
Wanita itu lebih memilih agama. Sehingga pilihan sulit harus ia ambil. Berpisah dari suami adalah jalan terbaik yang dipilih. Gundah gulana pun sekarang deras menimpa hatinya. Hidup di negeri orang dengan seorang anaknya, tanpa kehadiran sang suami dan sanak keluarga. Hanya saudara seimanlah yang menjadi penguatnya. Tapi ia berusaha meyakinkan diri, cinta agama jauh lebih utama daripada cinta pada suami.
Kesabarannya akhirnya terbayar. Saat sedang tidur di waktu duha, tiba-tiba ada yang datang mengetuk pintu seraya berkata, “Wahai ummul mu`minin (Ibunda Orang-orang Beriman)!”. Karuan saja dirinya kaget mendengarnya. Syahdan, ada seorang budak Najasyi bernama Abrahah memberi kabar gembira. “Engkau dilamar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam.” Kebahagiaan pun memenuhi relung jiwanya. Ia sadar hari ini masa iddah telah habis. Rupanya manusia paling mulia yang akan menjadi suaminya. Tanpa berpikir panjang, akhirnya semua perhiasan yang dimiliki diberikan kepada Abrahah.
Inilah buah dari cinta di atas cinta. Wanita ini merelakan cinta suami yang mengajaknya murtad demi cinta hakikinya kepada Allah. Allah pun menganugerahinya dengan cinta Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam.
Ujian cintanya tak sampai di situ, menjelang fath Makkah (pembebasan kota Makkah), ayahnya yang merupakan tokoh kafir berpengaruh di Makkah berkunjung menemuinya di Madinah. Kedatangannya untuk menego penambahan perjanjian damai Hudaibiah. Rasulullah pun tak mau menuruti keinginannya karena orang kafir telah menyalahi janji.
Dalam kesempatan itu, ia sempat bertemu putrinya, “Bolehkah aku duduk di sini?”. “Tidak, itu adalah tempat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, sedangkan engkau adalah musyrik dan najis. Tidak layak musuh Allah duduk di ranjang Rasulullah.” Lihat bagaimana ia lulus dari ujian dua cinta. Ayahnya pun kelak memeluk Islam bersama ibu dan saudara-saudaranya.
Demikianlah sepenggal kisah dari ibunda kaum Muslimin, Ummu Habibah, Ramlah binti Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhuma. Ia memberikan pelajaran berharga mengenai cinta di atas cinta; cinta sejati. Cinta kepada Allah, Rasulullah, dan agama lebih didahulukan daripada cinta kepada suami dan orang tua yang kafir dan musyrik. Cintailah cinta yang benar, maka engkau akan mendapat cinta di atas cinta.
Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono