Suaramuslim.net – Adakah keilmuan seorang muslimin itu hanya untuk satu-dua ranah saja, alias tak mungkin melintasi banyak disiplin? Tidak, tidak ada konsepsi Islam suatu keharusan spesialisasi atau hanya fokus di bidang tertentu saja. Kita dapati dalam rentang ratusan tahun muslimin menggemilangi dunia ilmu dengan khazanah polimath. Ibnu Sina bukan hanya ahli medis. Al-Biruni tak hanya jago dalam urusan astronomi. Al-Jazari tak semata insinyur unggul yang sepi dalam ilmu Dien.
Begitulah ilmu tak sebatas satu sahaja dikuasai muslimin. Hari ini amat mungkin, meski dengan sekian nuansa perbedaan, muslimin mampu menguasai pelbagai ilmu. Paling tidak memahami lintas-ilmu. Mungkin tidak mendalam. Mungkin juga hanya parsial.
Maka, kalaulah seorang berkemampuan miliki tilikan dari pelbagai disiplin dan itu hasil pembelajaran mandiri atau hasil mulazamah atau sebuah perih berpayah dari banyak kulliyah, itu absah dan amat mungkin hadirkan sosok mumpuni. Tidak ada aral seorang yang kuasai tema kepengasuhan makruh atau bahkan haram membincangkan topik tema politik atau sejarah. Ia diperkenankan masuk dalam perbincangan karena kesiapan referensi dan pengalaman mendaras bersama majelis demi majelis. Bila ini dipenuhi, kenapa ada cibiran?
Bilapun ia teranggap kelewatan melintasi bincangan topik bukan disiplinnya, tengok hujah dan untaian kedalamannya. Bukan menolak dengan menyerang sisi pribadi sang penguntai tersebut. Logika awam pun akan pelik mencerna dengan sambutan pada gayung yang disodorkan dengan santun. Mestinya disambut dengan mendedah hujah. Bukan memerosokkan nama dan pribadi si penguntai.
Seorang muslim nasionalis-demokrat akan pantang menebarkan perendahan kepada sisi pribadi. Silap berlogika yang dibarengi kejumawaan hanya akan mengikis kebaikan menjadi seorang yang bawakan arah baru perubahan. Terhadap nasihat al-akh yang menyakiti dan lemah sangat dalam basis argumen, tetap saja perlu berteraskan adab. Jangan rendahkan sesiapa yang tak engkau setujui dalam soal pribadi dan seputar budaya ilmu. Sebab di atas langit ada langit. Sekali lagi, ini agar basis analisis kita dalam soalan apa pun tak sepi dari soal semerbak adab. Walau pada al-akh yang begitu menebar benci pada kaum kita. Apatah lagi pada yang meneroka Sirah sesuai bidangnya; biarlah ditenggang rasa dan dihormati.
Dengan begitu, malulah patik atau siapa saja yang masih pantas menimba khazanah andai kata berkacak pinggang menghardik: “Engkau bukan ahlinya, diamlah! Jangan, akhi! Dia, siapa tahu, lebih menguasai dibandingkan engkau.” Serupa ketika Al Ghazali jadi marbot dalam penyamaran di sebuah masjid. Ia uraikan kitab karyanya yang tengah dibahas seorang syeikh yang tidak mengenalinya. Amat mungkin kita pun lakukan hal demikian. Setidaknya di layar gawai di aplikasi media sosial.
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net