Suaramuslim.net – Orang-orang berlatar harakah memang sedianya mesti menyebar ke pelbagai kelompok. Tak harus jadi sosok yang tampil di panggung semisal Faldo Maldini ataupun Gamal Albinsaid. Berkarya di partai sekuler pun selagi karena satu visi keumatan, perlu diberi firasat; bukan dikucilkan tanpa diberikan salam. Bangunan bangsa ini akan besar dengan orang-orang baik yang pernah, dan (syukur) masih, dicelupi sentuhan harakah.
Kita tak adil memandang mereka sudah sekuler ataupun kendur keislamannya. Paramater kita dalam memandang amal mereka mestinya tidak gegabah. Alih-alih menstigma, perlu dialog. Tanyakan dengan hati tulus, “Apakah engkau hendak menjaga agama ini dengan cara yang menyimpang ataukah bukan?” Percayalah, mereka tak terbersit untuk merobohkan agama ini. Andaikan mereka ada keliru, duduk dan berbincanglah dengan tenang. Anak-anak muda kadang punya cara sendiri menghayati zaman. Bukan karena mereka menyandang milenial maka mereka berhak berkuasa. Bukan, bukan tentang sebutan, malah ini rentan lahirkan kesombongan.
Akan tetapi, ini tentang cara kita membaca gerak-gerik membawa kebaikan. Mungkin tak selalu dengan misi dakwah. Atau, kalaupun ada, hanya sedikit; yang dominan aktualisasi. Sejatinya, itu bukan masalah, tinggal bagaimana menempatkan potensi mereka. Bukan lagi dengan sekadar klaim, “Dia ikhwah kita.” Yang kadang cepat pudar klaim itu manakala si potensial tadi terundung masalah. Kita tak mau akui ia pernah bersama kita.
Harakah masa depan mestilah mengajak cara berpikir kosmopolitan. Kader-kader dengan ragam potensi dan kemampuan menyerap khazanah keislaman, semuanya aset. Mereka mesti dipercaya. Di sinilah perlu sudut pandang kita melihat pengaderan dan cara-cara kita mengader. Kekaderan seyogianya tak semata-mata dilihat dari loyalitas tanpa-henti pada kelompok. Kekaderan ke depan ditentukan bagaimana kader mengusung platform maqashid syariah sesuai amanah risalah agama ini dihadirkan. Bagaimana mereka dibina untuk berjuang untuk menjaga agar kiprahnya membawa orang selamat dengan agamanya, nyawanya, akalnya, keturunannya, hartanya, kebebasannya, keadilannya, dan kesejahteraannya. Mereka di tempat masing-masing berjuang dengan kaidah-kaidah pokok maqashid sehingga tidak lagi bergerak hanya dengan simbol.
Membangun Indonesia esok tidaklah bisa dengan rumah kita; dan di sinilah ruang menerapkan keislaman kita menuju objektif sebab agama ini dihadirkan ke muka bumi. Tidak perlu lagi cara pandang bahwa kemegahan Indonesia hanya bisa diisi oleh anak-anak ideologis kita yang masih betah serumah—di harakah kita, yang masih setia walau sebenarnya diragukan kekritisannya karena sering kita bayang-bayangi. Keindonesiaan dan kefahaman Islam kita mestilah menyadarkan bahwa tugas itu ada banyak pihak. Dan kita perlu secara tawadhu ikhlas berbagi dengan lintas kelompok. Harakah kita hanya satu komponennya. Kebesaran pahala kita di sisi Allah adalah lewat amal pelibatan banyak unsur tadi. Meyakinkan bahwa kita tak ada ambisi untuk menipu mereka. Tidak ada pula upaya memerosokkan mereka.
Anak-anak muda harakah biarlah tak mesti bersama guru-guru mereka di majelis kiprah ijtimaiyah. Biarkan mereka jadi mereka karena kita yakin mereka kita anggap dewasa. Pos-islamisme, keniscayaan islamis untuk menerima demokrasi dan menyesuaikan, harusnya disambut sebagai momen kita mendidik para muda sebagai muslim-demokrat. Di mana pun mereka kiprahnya, selagi untuk bangsa ini.
Bahkan andai mereka sejak di kampus memilih berpisah dengan harakah kita karena tidak ada kepuasan dalam jiwa mereka. Usai-berarakah mestilah tak dipandang sinis. Siapa tahu ada sinergi dalam merawat Indonesia nantinya.
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net