Penulis: Daniel Mohammad Rasyid
Suaramuslim.net – Hari-hari otoritas pendidikan tinggi ataupun lembaga-lembaga survei secara ajeg mengeluarkan pemeringkatan (ranking) atas perguruan-perguruan tinggi telah berlalu. Para rektor telah lega mengetahui hasil pemeringkatan ini, setelah jungkir-balik berakrobat untuk memastikan peringkat universitasnya berada di papan atas. Kini Kemenristekdikti meluncurkan sistem seleksi baru penerimaan mahasiswa baru.
Hemat saya, praktik perankingan seperti ini makin tidak relevan dengan tuntutan zaman revolusi industri 4.0, terkadang malah menyesatkan manajemen perguruan tinggi maupun mahasiswanya. Praktik pemeringkatan ini sebagian besar disebabkan oleh kebijakan supply-side dan paradigma mutu yang mendominasi mindset petinggi-petinggi birokrasi pendidikan tinggi. Dari paradigma mutu ini diturunkan lagi ke mantra kompetisi. Yang berada di papan atas disebut lebih bermutu daripada yang berada di papan bawah.
Hemat saya praksis pendidikan tinggi semacam ini keliru, jika tidak menyesatkan. Saya akan tunjukkan kesesatan kerangka pikir ini.
Pertama, menyesatkan (calon) mahasiswa baru. Kinerja atau prestasi akademiknya sebagai pengalaman belajar sebenarnya sangat ditentukan oleh kesiapan dirinya sendiri, bukan oleh sarana dan prasarana universitas, dosen, apalagi kurikulum. Dengan pola seleksi nasional usang hingga saat ini, bagi mahasiswa mediocre dan pemalas, asal perguruan tingginya akan sangat berpengaruh pada kinerja akademiknya. Bagi mahasiswa cerdas, dan memiliki motivasi tinggi, asal perguruan tinggi tidak secara signifikan menentukan kinerja belajarnya.
Malcolm Gladwell (2013) telah menunjukkan bahwa alumni perguruan tinggi papan tengah namun berhasil menjadi yang terbaik di kampusnya ternyata memiliki karier yang lebih baik daripada rekan sebayanya, alumni perguruan tinggi papan atas tapi berprestasi biasa-biasa saja. Artinya, kesuksesan lebih ditentukan oleh kepercayaan diri yang diperoleh melalui pencapaian akademik gemilang walaupun di perguruan tinggi papan tengah. Sedangkan mereka yg kuliah di perguruan tinggi papan atas tapi berprestasi medioker tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi yang dibutuhkan untuk sukses. Ini juga berarti bahwa peluang sukses lebih terbuka bagi mahasiswa yang berprestasi tinggi walaupun kuliah di perguruan tinggi papan tengah.
Kedua, kebijakan supply-side pendidikan tinggi telah menelantarkan relevansi belajar bagi kebanyakan mahasiswa. Pendidikan tinggi seharusnya semakin demand-side, pada saat pendidikan dasar dan menengahnya cenderung supply-side karena harus mengutamakan angka partisipasi kasar.
Pendidikan dasar dan menengah adalah pendidikan paksa massal yang sering tidak bermakna. Seharusnya pendidikan tinggi lebih menekankan kebermaknaan belajar atau relevansi, daripada mutu. Praksis ini telah menyebabkan krisis kepemimpinan massal yang kini kita hadapi.
Kepemimpinan sejati harus diajarkan secara inside-out, bukan outside-in seperti yang selama ini terjadi. Jiwa merdeka yang menjadi lahan subur bagi karakter justru dimatikan oleh pendidikan paksa massal ini.
Di tengah banjir informasi yang dibawa internet, pergeseran fokus ke relevansi ini makin menjadi tuntutan zaman digital ini. Sajian pembelajaran semakin bisa disesuaikan dengan minat, bakat dan aspirasi mahasiswa yang beragam. Departementalisasi dan linieritas yang kaku semakin tidak relevan dengan kebutuhan hidup abad digital.
Penelantaran relevansi juga dapat ditunjukkan pada penelantaran sektor agro-maritim selama 40 tahun terakhir ini. Arah pendidikan tinggi kita terlalu terobsesi dengan industri massal bias perkotaan. Minat pada studi pertanian, peternakan, dan perikanan, dan kelautan secara ajeg tetap rendah, jika tidak menurun, dikalahkan oleh teknologi informatika, dan teknologi industri.
Ketiga, budaya sharing yang dibawa internet semakin mengharuskan penguasan kemampuan bersanding, bukan bersaing. Tekanan kompetisi telah diberikan terlalu awal sejak pendidikan dasar melalui perankingan yang dipakai sebagai ukuran keberhasilan belajar untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Apalagi perankingan itu dilakukan melalui berbagai ragam instrumen evaluasi yang miskin ranah dan miskin kecerdasan.
Inovasi baru seleksi mahasiswa baru yang berbasis komputer dan mencakup Tes Potensi Skolastik dan Akademik diluncurkan Kemenristekdikti seharusnya juga menangkap persoalan ini. Perguruan tinggi perlu memberi sinyal relevansi yang lebih kuat pada pendidikan dasar dan menengahnya.*
Ditulis di Gunung Anyar, 28/10/2018
*Direktur Rosyid College of Arts and Maritime Studies
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net