Suaramuslim.net – Imam Abu Hanifah, siapakah yang tidak mengenalnya? Sejarah membuktikan bahwa kepiawaian beliau dalam dunia ilmu fiqih memang patut diacungi jempol. Nama aslinya Nu’man bin Tsabit, bukan keturunan Quraisy dan bukan keturunan Mudhari. Imam pertama ini sebelum menjadi ahli fiqih, profesinya adalah seorang pedagang. Beliau beralih ke dunia ilmu agama disebabkan motivasi dari Sya’bi ketika bertemu di pasar. Sya’bi meyakini bahwa Imam Abu Hanifah mampu menjadi seorang yang berilmu. Akhirnya dengan diskusi panjang, Imam Abu Hanifah tertarik untuk pindah jalur dari berdagang ke dunia ilmu.
Usia Imam Abu Hanifah masihlah muda kala beliau memulai petualangannya dalam menuntut ilmu. Sehingga usia 30 tahun, Imam Abu Hanifah sudah menjadi rujukan kaum di kotanya. Bagaimana keunikan Imam Abu Hanifah dalam menuntut ilmu?
Membandingkan Banyak Disiplin Ilmu
Belajar banyak disiplin ilmu, sebenarnya bukanlah hal yang sulit dilakukan Imam Abu Hanifah. Namun, ternyata cita-cita Imam kelahiran Kufah ini adalah mahir di satu ilmu. Pilihan Imam Abu Hanifah jatuh pada ilmu fiqih.
Keputusan itu bukanlah tanpa alasan. Sebelum jatuh cinta belajar ilmu fiqih, Imam Abu Hanifah bertanya tentang semua ilmu dan dampaknya. Sang Imam tidak memilih Al Quran, karena murid-muridnya kelak pasti akan lebih banyak hafalannya sehingga tak ada kesempatan lagi untuk mengajar. Beliau pun tak memilih belajar hadits karena resiko dicap sebagai pembohong manakala tua menghampiri dan akalnya menjadi lemah. Imam Abu Hanifah pun tak memilih ilmu nahwu, syair, dan teologi. Pilihan Imam Abu Hanifah jatuh pada ilmu fiqih. Semakin belajar dan belajar, Imam Abu Hanifah pun sangat mumpuni ilmu fiqihnya. Ibnu Mubarak sampai berkata, “Saya tidak pernah melihat tentang kedalaman ilmu fiqih orang seperti dia.”
Telah Mempelajari Imu Pendukungnya Terlebih Dahulu
Alasan sebenarnya mengapa Imam Abu Hanifah memilih ilmu fiqih untuk dipelajari lebih dalam bukan semata-mata ilmu yang lain tidak bermanfaat. Namun, Imam Abu Hanifah sebelumnya sudah punya bekal ilmu lain selain ilmu fiqih. Bahkan beliau pernah beradu argumen juga dengan beberapa ulama yang menyimpang di kota Bashrah. Tidak mungkin Imam Abu Hanifah berani berdebat tanpa bekal ilmu sebelumnya.
Pun, seorang yang mempelajari ilmu fiqih, tidak akan mencapai keberhasilan yang gemilang kecuali dia telah menguasai ilmu Al Quran, al hadits, nahwu, dan syair dalam sastra. Maka wajar Imam Abu Hanifah memilih ilmu fiqih, karena beliau sadar bahwa untuk bisa menguasai ilmu ini diperlukan 4 ilmu yang menjadi bahan perbandingan tadi. Dan Imam Abu Hanifah sebelumnya sudah menguasai.
Selain itu, kebiasaan para sahabat dan generasi tabi’in yang sangat antusias belajar tentang fiqih dibanding ilmu teologi (yang ini memang dilarang keras untuk dipelajari), juga menjadi alasan Imam Abu Hanifah mendalami ilmu fiqih ini. Ilmu yang sangat bermanfaat hingga saat ini.
Iltizam (Menyantri)
Imam Abu Hanifah beriltizam kepada Syekh Hammad bin Abi Sulaiman. Iltizam juga dilakukan oleh imam-imam yang lain. Iltizam bukan berarti tidak mendengarkan dan menimba ilmu dari guru atau syekh yang lain, namun dengan iltizam pada satu guru akan membuat murid terikat dengan syekh tempat dia menimba ilmu, sehingga ilmu yang didapatkan lebih dalam. Untuk ilmu fiqih, maka Imam Abu Hanifah beriltizam kepada syekh ilmu fiqih juga, meskipun secara kapabilitas, Imam Abu Hanifah sudah layak memberi fatwa. Bahasa kerennya iltizam zaman sekarang adalah magang. Berguru pada yang ahli hingga benar-benar mumpuni.
3 keunikan Imam Abu Hanifah dalam menuntut ilmu benar-benar luar biasa. Cara belajar yang menginspirasi dan bisa saja diapdosi. Agar pendidikan mencetak muslim yang mampu membangun peradaban tinggi.
Kontributor: Henny Puspitarini
Editor: Oki Aryono