SURABAYA (Suaramuslim.net) – Potensi zakat di Indonesia masih cukup besar dan belum dimanfaatkan secara maksimal. Beberapa faktor penyebabnya antara lain mekanisme pengumpulan yang kurang inovatif, transparansi dalam sistem pelaporan, dan literasi masyarakat, sehingga banyak muzakki (muslim yang wajib berzakat) secara langsung menyerahkan kepada 8 asnaf (kelompok penerima zakat) tanpa melalui lembaga amil resmi.
Sama halnya dengan wakaf, pengelolaan aset ini umumnya bersifat variatif, peruntukannya tidak terbatas hanya 8 asnaf, serta semua orang dapat berpartisipasi dalam wakaf.
Jika kedua hal ini dapat dikelola secara maksimal maka kekuatan modal yang dimiliki umat dapat tersalurkan bagi penyelesaian masalah kebangsaan seperti permasalahan di aspek pendidikan, kesehatan, kemiskinan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang menjadi cita berbangsa dan bernegara Republik Indonesia.
Potensi Aset Wakaf di Indonesia
Ketua Gerakan Wakaf Indonesia Jawa Timur Ustaz Misbahul Huda, MBA dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (09/11) mengatakan, wakaf adalah salah satu potensi yang bernilai ekonomi bagi umat Islam yang sangat besar. Umat Islam sebesar ini mempunyai aset yang besar pula dalam hal wakaf, namun belum dimanfaatkan serius dan massif. Pemanfaatan wakaf masih bersifat natural, banyak masyarakat saat mendapatkan pertanyaaan tentang wakaf maka pemahaman yang muncul secara umum masih berkutat pada wakaf tradisional.
“Artinya, wakaf masih terbatas pada mewakafkan tanah untuk dibangun masjid, pesantren, atau pemakaman,” tuturnya.
Misbahul Huda menyebut, semenjak zaman kenabian, para sahabat, bahkan negara-negara muslim saat ini mencatatkan potensi wakaf minimal 30 persen, yang dapat digunakan sebagai alternatif bagi pembiayaan Negara. Kalau pun tidak untuk negara maka bisa bersifat sosial dan pendidikan berjalan mendampingi zakat, infaq serta sedekah.
“Meski berpotensi besar dan mampu menjadi salah satu pilar pembangunan ekonomi umat, wakaf di Indonesia belum diberdayakan secara maksimal,” ucapnya.
Padahal, menurut Misbahul Huda, terdapat political will dari pemerintah secara penuh di dalam pengelolaan wakaf, salah satunya lahirnya UU Wakaf No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 2002 tentang legalitas dan dibolehkannya wakaf uang. Undang-undang ini antara lain mengatur tentang wakaf tunai, yaitu benda wakaf berupa aset produktif berupa uang, surat berharga, deposito, hak cipta intelektual, dan lain-lain yang bernilai.
“Tetapi sekarang sudah 14 tahun, saya kira isu-isu tentang wakaf ini masih jauh pasak dari tiang, banyak yang tidak memahami secara utuh, maka perlunya sosialisasi kepada masyarakat khususnya kaum muda. Dengan demikian, potensi wakaf dan zakat sebagai sumber pemasukan bagi program-program ekonomi berdasarkan syariah pada masa yang akan datang diharapkan meningkat dan dapat diandalkan untuk menyejahterakan rakyat,” tuturnya.
Kampus Sebagai Pengelola Dana Wakaf
Perwakilan penyelenggara Wakaf Goes to Campus III Universitas Airlangga Surabaya, Sulistya Rusgianto, SE, MIF dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (09/11) mengatakan, Wakaf Goes to Campus sebuah program yang diinisiasi oleh Badan Wakaf Indonesia, bertujuan mensosialisasikan wakaf kepada mahasiswa dan masyarakat umum dan meningkatkan kesadaran dan minat wakaf.
“Kegiatan wakaf goes to campus pertama dilaksanakan di Universitas Indonesia, kedua, di Institut Teknologi Bandung, dan ketiga ini melibatkan beberapa kampus di Surabaya di antaranya, Institut Sepuluh Nopember, Universitas Airlangga (UNAIR) dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA),” kata pria yang juga dosen Ekonomi Islam UNAIR.
Sulistya menjelaskan, pemilihan lokasi kampus ini karena mereka yang berada di universitas sebagai agen perubahan.
“25 persen mahasiswa di UNAIR setiap tahun yang diterima adalah mereka dari kalangan yang kurang mampu, dengan mengikuti program bidik misi. Maka untuk merealisasikan pendidikan itu, tentu kita tidak bisa mengandalkan semuanya kepada pemerintah, dengan kata lain wakaf ini sebuah solusi bagi pendidikan,” tuturnya.
Sulistya mengungkapkan, sebetulnya UNAIR sangat berpeluang menjadi mauquf ‘alaih (orang atau lembaga yang berhak menerima harta wakaf) dengan koneksi alumni yang sebagian besar sudah berhasil, tetapi tidak ada nilai ibadahnya. Dari pemikiran itu, muncul konsep wakaf, sehingga banyak para alumni yang mencintai almamater turut berwakaf karena bernilai ibadah.
“Maka dari itu UNAIR menjadi nazir (pengelola wakaf), karena melalui wakaf pahala akan terus mengalir selama harta wakaf masih dimanfaatkan untuk kepentingan umat,” jelasnya.
Tantangan Revitalisasi Wakaf Ahli
Ketua Badan Pelaksana Wakaf Indonesia (BWI) Pusat Prof. Dr Ir Mohammad Nuh, DEA dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (09/11) menyampaikan salah satu agenda besar BWI adalah persoalan literasi, yaitu memperkenalkan pengertian wakaf karena yang dikenal kebanyakan masyarakat hanya infaq dan sedekah.
“Bahkan jika ditanya apa sih bedanya infaq, sedekah, zakat dan wakaf, jawabannya itu satu sama baiknya, artinya urusan literasi ini masih harus didorong terus menerus,” jelasnya.
Dari sisi sejarah peradaban, ujar Nuh, urusan wakaf ini dahsyat dan sudah semua terbukti. Secara ideologis, instrumen kesejahteraan yang dicontohkan Rasulullah dan para sahabat terbukti dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat mulai dari zakat, infaq sedekah dan wakaf.
“Kita ingin merevitalisasi salah satu elemen produktif, sering saya sampaikan jika kita mempunyai ayam dan telur 10, maka ayamnya tidak boleh dibagi, yang boleh adalah telurnya, itu pun tidak semuanya karena sebagian telur diternakkan menjadi ayam baru, ayamnya itu yang dimaksud wakaf,” ucap mantan Rektor ITS periode 2003–2006 ini.
Untuk bisa mengelola harta wakaf yang bersifat produktif maka harus orang yang memiliki pengetahuan memadai, berintegritas, dan mempunyai visi entrepreunership. Karena jika tidak memenuhi poin ketiga, maka wakaf akan menjadi statis yang bertentangan dengan konsep wakaf.
“Wakaf ini harus meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan dakwah, dan kemartabatan bangsa. Kenapa kesejahteraan kita tonjolkan? Karena memang isi dari maqashid syariah (tujuan syariat) adalah kesejahteraan dunia dan akhirat, itulah yang melatarbelakangi,” jelasnya.
Prof Muhammad Nuh menilai untuk mewujudkan potensi wakaf yang luar biasa itu menjadi kekuatan riil meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka letak problemnya pada nazir yang mampu mengelola ini.
“Ini sama yang dihadapi oleh bank syariah, perbankan syariah itu dalam urusan halal haram sudah pahamlah, tetapi how to generate the bussines itu yang susah, kita tidak menginkan para nazir hanya mengetahui ini boleh dan tidak, tetapi yang paling penting bagaimana bisa ayam satu menjadi sepuluh,” ungkap Kemendikbud era Presiden SBY itu.
Menurut Nuh, kata kuncinya jika mengikuti perkembangan zaman untuk pengelolaan wakaf mengikuti konsep musabaqah (berlomba) antar lembaga pasti tidak bisa, namun harus ta’awun atau bersama-sama dalam mengelola aset wakaf yang potensinya sangat luar biasa.
“Setiap perjalanan waktu ada metode tersendiri, Alhamdulilah kita bersyukur wakaf ini sudah bisa menjadi bagian sistem keuangan yang dikenal sebagai Sukuk Linked Wakaf,” tuturnya.
Nuh menyebut, alangkah berbahagia masyarakat Indonesia jika persoalan Palu dan Lombok biaya recovery dapat dilakukan umat Islam melalui wakaf, hal itu bisa dilakukan dengan menerbitkan sukuk, dari pada pemerintah berhutang kepada orang lain.
“Mendingan sukuk dibeli oleh kawan-klawan yang berwakaf, dari hasil pembelian sukuk maka bisa dibuat membangun Lombok dan Palu, nantinya para nazir akan mendapat margin keuntungan dengan resiko zero. Langkah ini sudah maju tapi masih belum cukup, maka dari itu kita akan ciptakan engine-engine baru sehingga akan menciptakan gerakan massal tentang wakaf,” pungkasnya.
Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir