Suaramuslim.net – Jika memiliki anak sudah mengaku-ngaku menjadi “ayah”, maka sama anehnya dengan orang yang mempunyai bola mengaku-ngaku menjadi pemain bola.
Ayah itu gelar untuk lelaki yang mau dan pandai mengasuh anak, bukan sekedar ‘membuat’ anak.
Jika Ayah mau terlibat mengasuh anak bersama ibu, maka separuh permasalahan negeri ini mungkin akan teratasi.
Ayah yang tugasnya cuma memberi uang, menyamakan dirinya dengan mesin ATM. Didatangi saat anak butuh saja.
Akibat hilangnya fungsi tarbiyah dari ayah, maka banyak ayah yang tidak tahu kapan anak lelakinya pertama kali mimpi basah. Sementara anak dituntut shalat shubuh padahal ia dalam keadaan junub. Shalatnya tidak sah.
Dimana tanggung jawab ayah?
Jika ada anak durhaka, tentu ada juga ayah durhaka.
Ini istilah dari ‘Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Ayah durhaka bukan yang bisa dikutuk jadi batu oleh anaknya. Melainkan ayah yang menuntut anaknya salih dan salihah, namun tak memberikan hak anak di masa kecilnya.
Ayah ingin didoakan masuk surga oleh anaknya, tapi tak pernah berdoa untuk anaknya. Ayah ingin dimuliakan oleh anaknya tapi tak mau memuliakan anaknya.
Maraknya kekerasan terhadap anak belakangan ini hendaknya menjadi instrospeksi bagi seluruh pihak, khususnya para orang tua, ayah dan ibu, mengingat Indonesia saat ini termasuk negara nomor tiga di dunia yang termasuk ‘fatherless country’. Negeri ini hampir kehilangan ayah. Realitanya banyak ayah yang hanya hadir secara fisik, tapi tidak psikologis dan belum total mengasuh anak. Maka pantaslah negeri ini dicap fatherless country. Padahal keberanian, kemandirian dan ketegasan harus diajarkan di usia dini, dan itu tugasnya ayah.
Perlu dipahami bersama, bahwa anak tetap membutuhkan sosok ayah baik secara fisik dan psikologis. Di Indonesia ada banyak sekali ayah yang hadir secara fisik tapi psikologisnya tidak. Anak-anak itu butuh ayah yang saat menatapnya dengan penuh cinta atau yang berbicara padanya tidak sambil memegang handphone.
Fatherless country merupakan sebuah negeri yang ditandai keadaan atau gejala dari masyarakatnya berupa kecenderungan tidak adanya peran, dan keterlibatan figur ayah secara signifikan dan hangat dalam kehidupan sehari-hari seorang anak di rumah. Konstruksi sosial masyarakat kita menempatkan figur ayah bukan pada urusan di wilayah ‘domestik’ rumah tangga. Mengasuh dan mendidik anak, mengerjakan seluruh urusan rumah, merupakan urusan dan tanggung jawab para ibu. Sebagai kepala keluarga, sosok ayah seakan sekadar bertugas mencari uang, bukan yang lain.
Implikasinya, banyak para ayah saat pulang mencari uang, tak merasa perlu memberi sentuhan emosi dan kasih sayang pada anaknya. Tak merasa perlu membangun keakraban bersama anak, bahkan mungkin juga dalam hal mendidik dan membimbing nilai-nilai mulia kepada anak secara konkret. Sebab, selain merasa itu merupakan tugas istri, juga lantaran para ayah merasa sudah terlalu lelah bekerja.
Pada saat hari libur pun, boleh jadi tak diisi ayah untuk membangun kebersamaan bersama anak dan keluarga. Tapi memilih mengurusi dan mendandani kendaraan kesayangan, memandikan burung piaraan, memancing bersama teman-teman, atau hal-hal lain di luar aktivitas bersama anak. Ayah malu untuk mengasuh anak apalagi, jika masih bayi. Banyak anak yang sudah merasa yatim sebelum waktunya, sebab ayah dirasakan tak hadir dalam kehidupannya. Ketidakhadiran ayah secara psikologis dalam pengasuhan anak membuat anak-anak jadi father hunger atau anak-anak yang ‘lapar’ akan ayahnya. Akibatnya saat anak tumbuh, timbul berbagai masalah.
Bagi anak perempuan hal ini bisa menimbulkan masalah dalam hubungan mereka dengan pria nantinya. Sedangkan bagi anak laki laki ketidakhadiran ayah secara psikologis membuat anak memiliki karakter yang lemah. Ia tidak memiliki kemampuan memilih dan ketegasan terhadap sesuatu.
Lalu bagaimana untuk mengatasi hal ini?
Familiy man dan Ayah berkualitas
Sebutan ayah rumah tangga atau bapak rumah tangga memang belum lazim di Indonesia, juga di negara-negara Asia, yang masih kental kultur patriarkatnya. Tak heran, bila ada pria yang mau melakoni peran ini, pasti dianggap nyeleneh, karena keluar dari tatanan tradisi yang umum. Selama ini, tinggal di rumah dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti mengurus anak, memasak, mencuci pakaian, dan berbelanja identik sebagai tugas seorang ibu. Sedangkan ayah, bertanggung jawab untuk mencari nafkah ke luar rumah.
Tradisi yang kuat melekat dalam masyarakat kita ini kian dipertegas dalam ketentuan di buku nikah yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI. Tertulis jelas di sana, salah satu kewajiban istri adalah mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Memang, tertulis juga bahwa salah satu kewajiban suami adalah membantu tugas istri dalam mengatur urusan rumah tangga. Namun, pada praktiknya urusan rumah tangga lebih banyak diemban oleh istri.
Sekarang sudah saatnya para ayah menyadari akan perannya yang begitu penting dalam pengasuhan anak. Semangat Al Quran mengenai pengasuhan justru mengedepankan ayah sebagai tokoh. Kita mengenal Lukman, Ibrahim, Ya’qub, dan Imran. Mereka adalah contoh ayah yang peduli dan berkualitas. Para ayah dari banyak keluarga di Indonesia harus mulai bergerak dan bertindak untuk menjadi family man, yakni ayah rumah tangga yang peduli dan berkualitas, dimana selain tetap sebagai “kepala keluarga” juga menjalankan fungsi-fungsi pengasuhan dan pendidikan anak di rumah secara total (hadir secara fisik dan psikologis untuk anak). Dengan kata lain, harus berlangsung fathering, yakni keterlibatan dan peran signifikan sosok ayah dalam proses pengasuhan dan pendidikan anak, khususnya secara psikologis.
family man (ayah rumah tangga) bukanlah pertukaran peran secara radikal antara ibu dan ayah: Ayah di rumah menangani “urusan rumah tangga”, sementara ibu mencari nafkah dan menjadi “kepala rumah tangga”. Tapi, lebih tepatnya adalah meredefinisi dan mereaktualisasi peran dan keterlibatan ayah untuk lebih bersinergi bersama ibu dalam mengasuh dan mendidik anak di rumah. Agar relung-relung batin, emosi, dan pikiran anak bisa jauh lebih lengkap dan utuh terisi kehadiran peran ayah dan ibu dalam jiwanya.
Akan bermanfaat besar bagi anak ketika sang ayah intens mengisi nilai-nilai agama, adab, khazanah pengetahuan, keterampilan, dan kemandirian ke dalam relung-relung jiwa anak, melengkapi dan menyempurnakan pengisian yang dilakukan sang ibu. Ayah yang berperan aktif dalam pendidikan anak akan memiliki dampak positif dalam perkembangan keseimbangan emosi, empati, rasa ingin tahu dan percaya diri anak.
Ibnul Qayyim dalam kitab Tuhfatul Maudud berkata,”Jika terjadi kerusakan pada anak, penyebab utamanya adalah ayah.” Ingatlah! Seorang anak bernasab kepada ayahnya bukan ibu. Nasab yang merujuk pada anak menunjukkan kepada siapa Allah meminta pertanggungjawaban kelak.