Suaramuslim.net – Malam Sastra Tulungagung (MST) kembali digelar di Sanggar Dewi Sri Desa Ketanon Kecamatan Kedungwaru Tulungagung. (21/11/18)
Pencetus Malam Sastra Tulungagung, Muslih Marju, mengambil tema “Menawar Kata-Kata, Menyindir Puisi”, ingin mengingat kembali akan kedahsyatan sebuah kata. Apalagi setelah menjadi puisi. Sedang menyindir puisi untuk mengingatkan penyair jangan mudah terbeli. Jika ada gerakan sastra yang mengaku sastra tapi berupaya melemahkan nilai kesastraan itu sendiri.
Kesempatan tersebut hadir beberapa pelaku seni di Tulungagung. Di antaranya perupa seperti Mbah Widji Paminto, guru dan penyair Budi Harsono, Penari Renata, pembatik sekaligus penyair Setio Hadi, Perupa dan sastrawan Jawa Edi Dewa dan mahasiswa yang tergabung dalam PKFT (Pusat Kajian Filsafat dan Teologi) Tulungagung.
Kesempatan pertama untuk membacakan puisi Setio Hadi dengan puisi berjudul “perempuan pada ujung pencarian”. Kemudian Budi Harsono dengan “kubuka melatiku” dan diikuti oleh penampilan Edi Dewa dengan geguritan yang banyak memakai kata goro-goro yang seolah sedang prihatin dengan keadaan Tulungagung akhir-akhir ini.
Penampilan yang tidak kalah menarik adalah dari penari yang menggabungkan tari dan baca puisi. Renata mampu membawakan tarian yang indah beserta pembacaan puisi yang dalam. Seakan sebuah kata mengikuti gerakan tarian.
Malam Sastra Tulungagung semakin berbobot dengan orasi budaya yang dibawakan oleh Mochammad Anang Prasetyo. Beliau seorang perupa, penyair sekaligus pelaku tasawuf. Selain itu aktif di Maiyah Segi Tulungagung.
“Saya begitu antusias sekaligus tergelitik dengan tema yang diajukan ke saya “menawar kata menyindir puisi” oleh penggagas malam sastra, mas Muslih,” ungkap pria berumur 47 tahun saat membuka orasinya.
Jika kita cermati, dan benar-benar mengilmui secara utuh, sesungguhnya di dunia ini tidak ada yang tercerai berai ataupun terpisah. Pada hakekatnya intinya, kenyataan yang dihadapi manusia adalah uniform, integrated, satu kesatuan, wungkul, istilah ilmunya adalah tauhid, terang Anang Prasetyo.
Maka upaya memisahkan antara satu dengan yang lain, dengan atau tanpa pendekatan ilmiyah sekalipun, sebenarnya menempatkan seseorang ke jurang kematiannya sendiri, lanjutnya.
“Maka, jika barat mengatakan apalah sebuah nama, maka ini sudah tereliminasi,” tegas bapak yang antif di dunia tasawuf ini.
Masuk dalam tema yang lebih mendalam orator mengemukakan, ”Sudah tepat, bahwa menentukan istilah suatu kata dalam kebudayaan kita, mesti melalui ilmu itu sendiri. Ilmu sebagai karakter dan watak dasar pergerakan kebudayaan adalah keniscayaan. Selain karena Kanjeng Nabi Muhammad mengatakan bahwa ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”
Lebih panjang lagi beliau mengungkapkan, ”Walhasil menawar kata, sejatinya sedang mengarahkan suatu paradigma keilmuan yang tidak bebas nilai, namun ia memiliki makna nilai dari kata-kata.”
Malam sastra diakhiri dengan pembacaan puisi oleh beberapa mahasiswa IAIN Tulungagung yang tergabung di PKFT Tulungagung dan penampilan vokalis Irma dengan suara emasnya.
Reporter: Muslih Marju
Editor: Muhammad Nashir