Suaramuslim.net – Dalam benak kita mungkin pertanyaan-pertanyaan berikut pernah muncul:
“Mengapa Nabi Adam a.s. dan Hawa ‘diusir’ dari taman surga dan harus ke Bumi? Mengapa tidak terus menerus di surga sehingga kita juga akan merasakan kehidupan di surga dan tidak perlu bersusah payah menjalani kehidupan di dunia? Apakah ‘dosa’ beliau berdua sedemikian besar sehingga harus diusir dan dihukum untuk tinggal di dunia yang penuh kekejaman dan kejahatan?”
Apakah itu adil untuk kita?
Mari kita lihat dengan lebih membuka pikiran kita atas peristiwa fenomenal Adam dan Hawa (Eve). Dalam versi Al Quran, cerita mengenai Nabi Adam a.s. dan Hawa ini setidaknya muncul dalam QS Al Baqarah: 30–38 dan QS Thaahaa: 115–123 (tidak dimunculkan artinya di sini, pembaca dapat melacak sendiri).
Berdasarkan ayat-ayat tersebut, kita akan menyadari bahwa Nabi Adam a.s. dan Hawa sebenarnya memang diciptakan untuk tidak tinggal di surga, namun untuk tinggal di muka bumi, yakni sebagai khalifah/pengelola alam di bumi sebagaimana tersirat dalam QS Al Baqarah: 30 berikut ini,
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.” (QS Al Baqarah: 30)
Namun apa hubungannya dengan memakan buah pohon khuldi (pohon pengetahuan dan keabadian)? Apakah memakan buah khuldi adalah dosa yang sangat besar sekali, lebih besar daripada perbuatan syirik, membunuh, merampok, dan memperkosa sehingga harus mendapatkan hukuman yang berat?
Bahwa Nabi Adam a.s. dan Hawa telah bersama-sama melanggar perintah Tuhan atas hasutan Iblis adalah hal yang memiliki dukungan otentik dari Injil Perjanjian Lama, Kitab Kejadian, dan Al Quran. Namun demikian, memakan buah khuldi tidaklah berarti dosa yang sangat besar yang menjadikan manusia dihukum untuk bersusah payah di bumi. Tinggal di bumi bukanlah kutukan.
Memakan buah khuldi pada dasarnya merupakan momentum awal manusia (dalam hal ini Nabi Adam a.s.) yang telah menggunakan akalnya untuk membuat pilihan atas perilakunya. Sebelum ada godaan dari Iblis, maka Adam a.s. sepenuhnya patuh dan taat terhadap ketentuan Tuhan. Akal inilah yang merupakan senjata manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi. Akal pada dasarnya merupakan tempat manusia menimbang akan kemana ia melangkah.
Nabi Adam a.s. dan Hawa pada dasarnya telah memiliki petunjuk dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk tidak memakan buah tersebut (QS Al Baqarah: 35), namun beliau lupa dan tidak memiliki kemauan kuat untuk mengikuti perintah Allah subhanahu wa ta’ala (QS Thaahaa: 150) karena mungkin terlena akan kenikmatan surga, sehingga akhirnya terpedayakan tipu daya syetan (QS Thoohaa: 120 dan QS Al Baqarah: 36). Dengan momentum tersebut, keduanya dikeluarkan dari kondisi semula, yakni kondisi makhluk yang sepenuhnya tunduk dan taat menjadi makhluk yang siap membuat pilihan secara bebas untuk berbuat baik atau buruk. Menjadi makhluk yang telah siap menggunakan otak dan hatinya untuk mengambil keputusan menjadi orang baik atau tidak, bertuhan atau tidak, dan sebagainya. Wallahu a’lam bisshowaab. Hanya Allah subhanahu wa ta’ala yang mengetahui secara pasti sesuatu hal yang terjadi.
Dengan demikian, bumi pada dasarnya bukanlah tempat hukuman, karena Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan bahwa bumi adalah tempat tinggal dan kesenangan sampai waktu yang ditentukan (QS Al Baqarah: 36). Allah subhanahu wa ta’ala tidak murka atas perilaku Nabi Adam a.s. dan Hawa, bahkan telah mengampuni Nabi Adam a.s. dan istrinya (QS Al Baqarah 37). Cerita tentang Nabi Adam a.s. dan Hawa tersebut kemudian ditutup dengan peringatan yang menunjukkan konsekuensi hidup bahwa barang siapa mengikuti petunjuk akan selamat dan kembali ke surga, adapun yang tidak akan ditempatkan di neraka.
Fair game! Hidup memberikan permainan. Permainan untuk mendapatkan grand prize jalan pulang mudik ke surga. Permainan yang memiliki dan memberikan konsekuensi. Bila tersesat, salah jalan, bukan saja kita tidak sampai, namun yang bahaya adalah apabila salah jalan dan memillih jalan keburukan. Kita bebas memilih sesuai akal kita, namun setiap pilihan tentunya memberikan konsekuensi tersendiri, yakni dapat berakhir baik atau berakhir buruk. Oleh karena itu, menggunakan akal sebaik-baiknya dengan panduan ilmu merupakan hal utama untuk dilakukan oleh manusia yang utama, dan itulah pembeda kita dengan makhluk lainnya.
Inti dari keseluruhan pembahasan kisah orang-orang pilihan, Nabi Adam a.s. dan Hawa, di atas adalah bahwa manusia memang dijadikan untuk tinggal di Bumi dan menggunakan akal/otak sebagai alat yang vital yang dapat memenangkan permainan hidup. Otak merupakan sarana bagi manusia untuk mengindra, mendapatkan pengetahuan, mempersepsikan diri dan lingkungan, berpikir, dan berperilaku.
Salam Tuhan menjadikan kita mampu mengelola akal kita untuk memenangkan grand prize perjalanan ke surga. Aamiin.
Penulis: Dr. Gancar C. Premananto*
*Koordinator Program Studi Magister Manajemen FEB Universitas Airlangga Surabaya