Fenomena Peziarah Gus Dur

Fenomena Peziarah Gus Dur

Ilustrasi Gus Sholah. Ilustrator: Novitasari
Ilustrasi Gus Sholah. Ilustrator: Novitasari

Suaramuslim.net – Sebagian masyarakat Indonesia baru saja menggelar “haul” mantan Presiden Republik Indonesia keempat, K.H. Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. K.H. Salahuddin Wahid (Gus Sholah) adik kandung Gus Dur sekaligus pengasuh Pesantren Tebuireng mengatakan peringatan haul kesembilan Gus Dur tahun ini, selain dihadiri warga Nahdliyin juga masyarakat lintas agama dan etnis. Ia menyebut, haul Gus Dur di Tebuireng merupakan forum netral dan tidak menyediakan ruang bagi aksi dukung mendukung, baik untuk kepentingan pileg maupun pilpres 2019.

Dalam rubrik Catatan Gus Sholah kali ini, redaksi menampilkan tulisan Gus Sholah yang menjadi pengasuh Pesantren Tebuireng tentang para peziarah di awal-awal kematian Gus Dur 9 tahun lalu. Selamat membaca!

Fenomena Peziarah Gus Dur

Upacara kenegaraan saat Gus Dur dikebumikan di pemakaman keluarga di dalam area Pesantren Tebuireng dipadati oleh sekitar 50 ribu orang. Siapa pun tidak pernah menduganya, termasuk keluarga. Mereka terus berdatangan setiap hari dalam jumlah 7 ribu sampai 8 ribu per hari. Pada tahlilan malam ketujuh jumlah hadirin mencapai sekitar 30 ribu.

Setelah tiga minggu jumlah peziarah menurun sampai sekitar 2 ribu lima ratus per hari, tetapi pada hari Sabtu dan Ahad bisa mencapai angka sekitar 8 ribu per hari. Peringatan 40 hari wafatnya Gus Dur mungkin lebih besar dari pada peringatan 7 hari, karena jatuh pada hari Ahad. Sulit untuk memperkirakan berapa jumlah peziarah per hari yang bisa dijadikan pegangan dalam upaya Pesantren Tebuireng mempersiapkan diri. Mungkin setelah 100 hari bisa didapat angka tersebut. Sedang untuk hari Sabtu atau Ahad atau hari libur sudah ada angka 5 ribu per hari sebagai pegangan. Mengapa Pesantren Tebuireng harus mempersiapkan diri?

Ternyata kedatangan peziarah itu menimbulkan banyak dampak bagi Pesantren Tebuireng, bagi santri, petugas keamanan, guru, pembina santri dan juga saya sebagai pengasuh. Selama sebulan para santri amat terganggu dalam menjalani kegiatan mereka. Pengajian setelah salat Maghrib ditiadakan, baru dimulai lagi kemarin dengan jalan menutup pemakaman keluarga Tebuireng mulai pukul 17.00-20.00 WIB. Kegiatan belajar siang hari pada hari Ahad dipindah ke hari Selasa.

Kondisi kompleks Pesantren Tebuireng yang selama ini amburadul akibat padatnya peziarah mulai bisa dibenahi. Pedagang tidak boleh lagi berdagang di dalam kompleks. Tetapi area tempat parkir yang berdekatan dengan pondok putri yang berjarak sekitar 400 meter dari pondok putra masih dipenuhi oleh puluhan bus yang menurunkan peziarah di sana. Kesibukan perparkiran ini jelas mengganggu kegiatan santri putri dan juga klinik yang letaknya dekat parkir.

Karena banyaknya bus berukuran besar, maka tanahnya banyak yang ambles dan sering membuat busnya slip. Untuk mengatasi masalah itu, perlu ada pengerasan tanah tempat parkir yang memakan biaya sekitar 400 juta rupiah. Masalah lain ialah kurangnya MCK sehingga banyak yang BAB di semak-semak di sekitar pemakaman umum yang menempel dengan pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng. Bisa dibayangkan bagaimana baunya. Untuk mengatasi masalah ini, Pesantren Tebuireng harus membangun sejumlah MCK di dekat tempat parkir dengan dana hampir 100 juta rupiah. Ribuan peziarah adalah pasar kaget bagi penjual makanan, maka ratusan warung tenda mendadak berjualan di sekitar Pesantren Tebuireng. Tentu ini juga menambah masalah. Jalan di sekitar pesantren juga macet, apalagi pada hari Sabtu atau Ahad.

Yang paling ideal, menyediakan tempat parkir baru yang dilengkapi dengan kios untuk pedagang makanan dan souvenir serta oleh-oleh. Lokasinya sekitar 1 km di sebelah utara kompleks pesantren. Tetapi biaya sekitar 3 miliar rupiah jelas di luar kemampuan Pesantren Tebuireng. Layak kalau pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat membantu pembiayaan itu.

Sebagai pengasuh saya harus menerima banyak sekali tamu yang ingin bertemu. Adakalanya 100 orang tamu harus saya temui sehingga mereka harus duduk berdesakan di lantai. Pada hari-hari pertama sampai ketujuh jumlah tamu amat banyak dan saya sering kelelahan menerima mereka. Yang jelas, kegiatan rutin saya terganggu.

Saat saya bertanya kepada seorang pengunjung yang datang dari Banyumas mengapa dia jauh-jauh datang untuk berziarah ke makam Gus Dur? Dia menjawab karena mencintai dan menghormati Gus Dur, dan merasa kehilangan. Jawaban yang sama juga diberikan peziarah dari Kalimantan. Jawaban itu layak dianggap menjadi representasi dari jawaban para peziarah lainnya. Timbul pertanyaan, apakah betul Gus Dur itu seorang wali?

Menurut saya, wali itu mengandung dua aspek, keagamaan dan sosial. Secara sosial, tidak bisa dibantah bahwa Gus Dur sudah dianggap sebagai seorang wali. Adanya peziarah yang mengambil tanah untuk tujuan mendapat berkah, menunjukkan adanya anggapan itu. Sedang dari aspek keagamaan, kita tidak mungkin mengetahui sejauh mana Gus Dur itu dapat disebut sebagai seorang wali. Itu adalah rahasia Allah. Yang jelas, penghormatan terhadap Gus Dur yang kita saksikan setelah wafatnya menunjukkan bahwa Gus Dur adalah pemimpin yang hidup di hati rakyat.

*Disarikan dari buku Memadukan Keislaman dan Keindonesiaan; Esai-esai Kebangsaan karya KH. Salahuddin Wahid, penerbit Pustaka Tebuireng: 2017, halaman 33-37.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment