Suaramuslim.net – Dunia online memang menyediakan banyak hal. Orang bisa mendapatkan informasi tanpa batasan. Orang bisa belajar berbagai macam hal. Lalu bagaimana dengan belajar membaca Al Quran? Apakah cukup belajar membaca Al Quran tanpa guru, hanya klik Google misalnya? Apakah memadai belajar membaca Al-Quran hanya lewat youtube? Mari kita ulas.
Bicara suatu hal, maka kita harus melihat bagaimana hal itu pertama kali eksis. Semua pasti ada awalnya. Semua ada sejarahnya. Kita harus melihat sejarah diturunkannya Al Quran pertama kali. Alquran diwahyukan pertama kali kepada Nabi Muhammad saw. Siapa yang mewahyukan? Allah Swt. Siapa yang mengirimkan wahyu itu? Malaikat Jibril.
Jadi proses turunnya Al Quran melalui Malaikat Jibril. Jibril-lah yang yang mendiktekan Al Quran kepada Nabi. Jibril menuntun lisan dan pikiran Rasulullah saw. untuk melafalkan dan menghafalkan Al Quran.
Mari kita perhatikan bagaimana Al Quran mendeskripsikan proses turunnya Al Quran. “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya” (QS. Al Qiyamah 16-19).
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.” Allah mengingatkan dan menegur Nabi Muhammad agar tidak terburu-buru menirukan ayat-ayat yang didiktekan Jibril. Bisa jadi saat itu Nabi Muhammad ingin segera hafal.
Teguran Allah ini tidak hanya bagi Rasulullah, tapi ini juga menjadi pelajaran bagi umat Islam bahwa belajar membaca Al Quran tidak perlu tergesa-gesa. Bahwa mencari ilmu itu tidak boleh dan tidak akan bisa jika tergesa-gesa. Masih banyak pihak yang menawarkan berbagai metode membaca Al Quran secara cepat. Ada yang menawarkan metode cepat 3 jam, 10 jam, dst. Bukan itu. Bahwa belajar itu sepanjang hayat. Sejak dari buaian hingga liang lahat.
Metode memang penting. Tanpa metode yang baik, maka pembelajaran tidak menemui sasaran yang tepat. Namun metode harus ada tahapan. Semua ada prosesnya sesuai dengan jenjang yang ada. Ada jenjang anak-anak dan ada juga jenjang dewasa. Ada tahapan membaca atau melafalkan huruf-huruf.
Jika sudah lancar dan tepat melafalkan huruf dan hukum-hukum bacaannya, tahap selanjutnya tahap menghafalkannya, lalu memahami maknanya, kemudian disempurnakan dengan mengamalkannya. Sehingga pengamalan Al Quran menjadi perbuatan, lalu menjadi kebiasaan dan puncaknya menjadi akhlak/watak. “Sesungguhnya akhlak Rasulullah adalah Alquran.” Demikian Bunda Aisyah menggambarkan akhlak sang junjungan.
“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya” (QS Qiyamah 17).
Bagi yang belajar membaca Al Quran dan melanjutkan menghafalnya, maka pesan Allah di ayat 17 ini perlu dicamkan. Bahwa menjadikannya hafal dan terkumpul di dada (dan pikiran) kita adalah Allah Swt. Bukan kita, bukan ustaz, bukan guru, dst. Maka hafalan Al Quran itu hakikatnya adalah rezeki dari Allah. Tugas manusia hanyalah belajar dengan penuh sungguh-sungguh dan disertai kesabaran (baca: konsisten).
Karena Allah yang menjamin terkumpulnya hafalan itu, maka tugas manusia memohon kepada Allah semata. Kunci utama permohonan/doa adalah keikhlasan dan kesungguhan. Maka belajar membaca Al Quran dan menghafalkannya harus diliputi keikhlasan.
Mengapa harus sampai menghafalkannya? Bukankah cukup sampai lancar dan tepat? Begitulah generasi pertama menjalaninya. Nabi Muhammad belajar membaca Al Quran dari Jibril dan kemudian menghafalkannya, lalu mengamalkannya dan kemudian mengajarkan kepada para sahabat saat itu. Para sabahat Nabi saw. juga mengajarkan kepada generasi selanjutnya hingga saat ini.
Para sahabat Nabi saw. mengatakan, “Kami tidak melewatkan satu ayat pun bersama Rasulullah kecuali kami membacanya, menghafalkannya, memahaminya, dan mengamalkannya.” Tidak sampai di situ. Bacaan dan hafalan Al Quran mereka harus divalidasi agar terjaga validitasnya. Mereka saling membaca dan yang lain menyimaknya.
Ada kalanya Rasulullah menyimaknya sendiri. Bahkan Setiap Ramadhan Rasulullah sendiri tadarus dan disimak Jibril. Urutan ayat-ayat dan suratnya disesuaikan. Karena ayat-ayat Al Quran turun tidak berurutan seperti yang kita baca saat ini. Hal ini berlangsung hingga Nabi wafat. Kemudian kebiasaan ini dilanjutkan para sabahat dengan generasi selanjutnya.
Maka tidak bisa belajar membaca Al Quran secara mandiri ataupun sendirian. Harus ada guru atau orang yang paham untuk menyimaknya sebagai bentuk validasi. Membaca Al Quran secara mandiri dan individu hanya sebagai latihan dan mengulang-ulang saja. Bukan sebagai bentuk belajar. Karena belajar Al Quran harus ada gurunya.
“Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” Ayat ini memberi panduan kepada kita bahwa belajar membaca Al Quran (juga belajar ilmu lainnya) haruslah taat dengan instruksi sang guru. Tunggulah sampai selesai atau tuntas perintah sang guru, barulah kita melakukannya. Begitu juga belajar membaca Al Quran.
Itulah salah satu adab dalam belajar: tidak menyela ucapan atau tindakan guru. Karena guru lebih paham terhadap ilmu/keterampilan yang diajarkan. Misalnya kita belajar mengemudikan mobil, maka sang intrsuktur memberi aba-aba kapan harus menggunakan kopling, kapan harus injak rem, dsb. Tunggulah aba-aba itu. Jangan terburu ataupun juga terlalu lambat. Karena akan ada risiko jika kita abaikan. Begitulah adab belajar: taat pada guru. Termasuk belajar membaca Al Quran.
“Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” Di ayat Allah memberi penegasan bahwa pemahaman dan penjelasan ayat-ayat Al Quran adalah wewenang Allah. Tugas manusia hanya belajar secara ikhlas, sabar dan taat. Dalam perjalanannya nanti, secara bertahap dan dengan cara-Nya sendiri, Allah memberi pemahaman bagi siapa saja yang belajar membaca Al Quran.
Karena banyaknya atau hebatnya kepandaian seseorang dalam ilmu hakikatnya adalah anugerah Allah Swt. Bukan karena cemerlangnya otak kita, bukan hebatnya guru, bukan metode yang jitu. Semua itu karena kemudahan dan rezeki dari Allah. Di dalam kelas terdapat banyak pelajar. Namun kepandaian siswa itu berbeda-beda meskipun guru dan metodenya sama. Karena itulah tugas kita dalam belajar adalah memohon secara ikhlas kepada Allah semata.
“Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Alquran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan’” (QS Thaha 114).
Kontributor: Oki Aryono
Editor: Muhammad Nashir