Suaramuslim.net – Bila kita baca dan cermati UUD Negara Republik Indonesia, sejak dari Pembukaan, Batang Tubuh sampai selesai (Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan) maka kita temukan ada 26 kata yang berkaitan dengan kata adil, yaitu adil, keadilan, peri-keadilan, mengadili, peradilan, seadil-adilnya dan berkeadilan.
Menegakkan keadilan menjadi kewajiban kita semua bukan saja karena diwajibkan oleh semua agama (terutama tiga agama samawi, yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam), tetapi juga keadilan dalam arti luas (keadilan sosial, ekonomi, hukum, politik, dan pendidikan dll) adalah kunci satu-satunya tegaknya bangsa dan negara Indonesia. Tanpa adil dan keadilan yang tertera dalam Pancasila, masa depan bangsa dan negara Indonesia pasti akan goyah. Tidak peduli apa pun nama dan sistem yang diikuti oleh berbagai bangsa, apakah republik, republik rakyat, kerajaan, kesultanan, keamiran, atau katakanlah demokrasi dengan segala embel-embelnya, selama keadilan bagi rakyat masing-masing terjamin dan berjalan dengan mantap maka bangsa dan negara bersangkutan akan stabil, kokoh, aman, dan tentram.
Sebaliknya bila keadilan sudah berubah menjadi kezaliman sosial, ekonomi, politik, hukum, dll, maka lambat atau cepat bangsa dan negara bersangkutan akan ambruk. Barangkali hal ini sudah menjadi hukum besi sejarah. Semua kitab suci agama samawi, saya yakin, mengajarkan hal itu secara terang benderang. Sejarah umat manusia sejak dulu sampai sekarang juga menunjukkan hal yang sama.
Nawacita Menjadi Nawasengsara
Bila prestasi 4 tahun Pemerintah Jokowi dibandingkan dengan visi-misi dan program aksi yang dijadikan acuan utama kampanye pilpres 2014; atau dibandingkan dengan puluhan janji semasa kampanye, bisa dikatakan bahwa Presiden Jokowi telah gagal membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih kuat, lebih adil dan lebih makmur.
Kini tidak pernah lagi terdengar Program Nawa Cita yang muluk-muluk dan juga Pogram Tri Sakti. Program Trisakti sudah terbukti gagal. Kita jelas tidak berdikari dalam ekonomi. Berdaulat dalam politik pun rasanya tidak terjadi, karena Beijing oriented policy semakin kentara dilaksanakan sejak Jokowi jadi Presiden empat tahun lalu.
Sementara berkepribadian sesuai budaya Indonesia makin jauh dari impian, karena yang berkembang selama empat tahun belakangan ini justru sebuah cheating culture. Budaya tipu-tipu dirasakan oleh masyarakat luas. Rakyat disuruh percaya bahwa ekonomi makin bagus, kehidupan sosial – ekonomi bangsa makin makmur, masa depan makin cerah. Semuanya merupakan omongan bombastis yang tidak ada dalam kenyataan.
Program Nawa Cita tidak pernah terdengar lagi. Bagi masyarakat banyak, apalagi kawulo alit nawa cita itu sudah berubah menjadi nawa sengsara. Mereka merasakan sengsara sosial (kesenjangan sosial makin lebar antara kelompok kaya dan kelompok miskin); sengsara ekonomi (kehidupan ekonomi dirasakan makin berat); sengsara hukum (pelaksanaan hukum tumpul ke atas dan luar biasa tajam ke bawah); sengsara HAM (pelanggar HAM di tanah rencong, di tanah Papua, dan di pelbagai wilayah masih berlangsung); sengsara diskriminasi (pembubaran HTI tanpa lewat proses peradilan); sengsara moral (kehidupan bangsa hampir tanpa rujukan moral); sengsara ketergantungan kehidupan bangsa pada bangsa asing; sengsara kejiwaan (grafik jumlah penderita sakit jiwa meningkat tajam); dan sengsara membuncahnya kebohongan rezim.
Bila ada kelompok masyarakat yang tidak melihat “kemajuan ekonomi serta kehidupan rakyat yang semakin baik” lantas kelompok tersebut dianggap buta dan tuli. Saya rasa tidak ada ekspresi self-denial yang seironis ini.
Hal ini mengingatkan kita pada kisah klasik kuno yang menceritakan rakyat di sebuah kerajaan disuruh meyakini bahwa sang raja yang kirab keliling kota sedang mengenakan pakaian kebesaran, padahal raja itu sesungguhnya sedang bertelanjang bulat. Ditanamkan dalam benak rakyat di kerajaan itu, bahwa siapa saja yang tidak mampu melihat pakaian kebesaran yang dikenakan oleh raja, orang itu pasti sudah gila. Rakyat yang ketakutan hanya bisa mengangguk-angguk. Kerumunan orang dewasa yang sudah dicuci otaknya oleh kekuasaan raja, menjadi malu dan terkejut tatkala beberapa bocah dengan kejujuran mereka berteriak: “Raja telanjang, raja telanjang” berulang-ulang. END
Dikutip dari e-book karya Prof. M. Amien Rais berjudul “Hijrah; Selamat Tinggal Revolusi Mental Selamat Datang Revolusi Moral.”
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net