Suaramuslim.net – Soal rasa hati atau kenyamanan tetap tidak bisa dikebelakangkan dari kepentingan. Ia berjalan dialektik dengan keyakinan nalar yang termantapkan melalui klaim-klaim kebenaran. Kalau tidak ada kemauan untuk berlaku jujur pada kebenaran yang otentik, keyakinan palsu tadi sekalipun tetap diteguhkan sebagai hujah abadinya kebenaran yang diyakini. Padahal, semuanya bisa ditarik dari keberanian mengorbankan kepentingan materi dan reputasi diri.
Di titik ini kita bisa mengerti kenapa ada sosok pintar tapi enggan menerima risalah kebenaran hakiki yang dibawa para nabi. Dan hari ini kita juga harus terima, meski dalam sekadar urusan politik, orang-orang yang memilih mengedepankan kepentingan diri dibandingkan integritas dirinya yang justru pernah dibangun susah payah. Ideologi bernama kepentingan pribadi itulah melenakan profesor rumah perubahan hingga anak kiai besar nan kreatif.
Jangan salah. Ini bukan soal mereka mendukung siapa, melainkan tentang cara-cara mereka ikut terjerembab dan menikmati proses memenangkan jagoannya secara manipulatif dan tidak intelektual. Pendek ungkap, menempuh jalur biadab dan jauh dari apa yang mereka ajarkan di ruang-ruang perkuliahan. Ruang refleksi untuk menilik apakah patut bicara di acara motivasi perubahan dengan sekaligus jalankan misi kehumasan rezim kekuasaan? Apakah bawa barokah membuat media yang hanya hadirkan curiga resah dan bumbu fitnah?
Kepintaran dan kreativitas itu modal berharga. Tapi ia tak sepi diuji dari soal laku adab pada kekuasaan. Masih ada akal dan hati yang dipergunakan, atau sekadar loyal pada suara hati yang tak ingin “asal bukan mereka” yang berkuasa?
Inilah satu timpang kelakuan orang-orang yang tunduk dan terdisiplinkan oleh kekuasaan fakir argumen sebagai bahan bakar bernegara. Semoga, dan seharusnya, semasa pos-jokowi cara-cara orang berakal dan kampusan tidak lagi menempuh modus operandi demikian.
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net