Suaramuslim.net – “Beradu slogan adalah satu-satunya kegiatan produktif perpolitikan kita sekarang ini. Retorika memang menjadi kegemaran politik bangsa ini. Tetapi yang berlangsung sekarang adalah retorika politik dalam bentuknya yang banal: dangkal, murah, dan kosong. Pertandingan argumen di parlemen lebih banyak unsur demagogisnya, ketimbang pedagogis. Produk politik kepartaian (koalisi, politik pilkada, perebutan posisi-posisi dalam birokrasi), misalnya, lebih mengesankan sebuah hasil transaksi bisnis elite partai ketimbang upaya pendidikan politik bermutu untuk rakyat.”
Pembuka artikel berjudul “Tersesat di Jalan yang Benar” di majalah Tempo belasan tahun itu masih relevan akurasi misi kritisnya. Bukan hanya konten yang dituliskan, melainkan juga sang pengungkai kata: Rocky Gerung. Meski kekuasaan yang dikritiknya telah berganti, dia tetap berjalan. Bahkan, kini kian melambungkan namanya seiring kondisi praktik kekuasaan yang mencerminkan—istilahnya—“dungukrasi”. Kekuasaan yang menanggalkan nalar dalam tubuh politik dan kebijakan. Dus, lahirlah dari tubuh kekuasaan itu tindakan-tindakan yang membiarkan pembelahan anak bangsa sebagai akibat adanya penindakan hukum yang diskriminatif, kecondongan aparat untuk “peka” pada suara-suara oposisi, hingga kebijakan yang hanya polesan salon media.
Hadirnya kekuasaan yang memiriskan sesiapa yang masih memakai nalar itu, momen tepat hadirnya manusia seperti Gerung. Tak heran, dalam ajang kampanye politik, kendati dia mengaku bukan tim sukses, kehadirannya jadi magnet tersendiri. Di mana-mana, terutama di kalangan anak muda, yel-yel menggemakan namanya terjadi bak memperlakukan selebritas. Kehadirannya di sebuah acara diskusi yang dihelat stasiun televisi turut mengenalkan namanya. Apalagi dia memiliki uraian yang mampu memikat audiens, diksi yang enak bagi awam sekalipun, plus posisinya yang tandas sebagai pihak seberang rezim penguasa.
Termasuk ketika dia menghadiri acara deklarasi dukungan alumni perguruan tinggi pada pasangan Prabowo Subianto dan Sandiago Uno, Gerung praktis jadi bintang penting acara di panggung. Lima belasan menit yang diberikan buatnya sudah cukup meriuhkan audiens yang, bisa jadi, awalnya tak begitu nyaman bila disodorkan rekam jejaknya masa lalu. Tak sedikit, memang, banyak kalangan kritis penguasa hari ini berlatar islamis, juga mengelu-elukan Gerung. Ia semacam oase dari aspirasi umat untuk menghunjamkan kritis cerdas pada praktik kekuasaan yang acap semena-mena.
Hari ini Rocky Gerung seolah palagan perlawanan dan wakili jutaan perasaan para islamis di tanah air atas tikaman membabinajis alat penguasa dalam kebebasan bersuara. Kampanye melawan berita dusta dan provokatif oleh para pendukung penguasa malah dicemasi dengan kritis oleh Gerung. Melalui diktum bernas dan mudah dipahami awam, ia ungkap perlawanan. Betapa problem melawan berita bohong (hoaks) justru ada di pihak penguasa. Jadilah, kata-katanya dikutip di sana-sini sebagai perlawanan atas ketidakadilan rezim.
Ya, menarik di sini, sebagaimana saya pribadi sering temukan uraian-uraian Gerung dibagikan, diulas, dan kadang didoakan diberikan hidayah. Semuanya karena rasa jatuh hati pada posisi Gerung. Sekian pendapat yang sempat kontrovesi dari lisan Gerung seakan tidak dipedulikan. Kesamaan agenda menghadang rezim lebih menyeruak. Atau, jangan-jangan, sebagian islamis itu memang tidak paham reputasi masa lalu Gerung. Apa pun itu, menarik di sini “simbiosis” Gerung dan islamis dalam melawan kekuasaan. Tak perlu disinisi hal-hal terkait opini bernuansa agnostik, liberal bahkan permisif dalam kasus-kasus tertentu dari sang filosof-populer ini. Juga tak perlu cemas berlebihan bahwa ini tetanda literasi umat memang rendah sehingga mudah terpikat pada orang “lain” (ini juga tak salah tapi tak perlu sampai mensinisi lantas pesimis bahwa umat tidak bakal memetik pelajaran soal arti dan kedudukan akal dalam keseharian).
Musim menggandrungi Rocky Gerung menjadi obat yang logis dan niscaya di tengah kemarau panjang lima tahun kekuasaan yang memperlihatkan kebanalan. Dan hari ini, apa yang ditulisnya di atas bakal lebih mendapati hal memerikan hati kita semua. Rocky Gerung hanyalah seorang filosof Ibu Kota yang resah terhadap realita sekarang. Ia bukan pembela islamisme, begitu rekam jejaknya. Pun tak aneh bila musim memilih penguasa ia berada di kubu sebaliknya; yang kini dikritiknya lantang.
Dan Gerung pun berjuntaian harum namanya di banyak pabrik olah kata para islamis. Hal yang tak terbayangkan sebelumnya dari sosok pembela ideologi Kiri dalam kapasitas sebagai akademisi. Gerung seakan wakil melawan penindasan penguasa melalui alat dan relawannya. Gerung seolah kita, dan kita cukup terwakili oleh Gerung. Sebuah penyederhanaan tipikal islamis memang. Terlebih saat melawan kekuatan besar maka adanya pihak sejurusan menjadi berkah. Abaikan hal-hal lain.
Menyimpati Gerung bolehlah. Ini tentu saja mesti ditindaklanjuti mengingat posisinya sekarang mungkin saja “rentan”. Pertama, rentan dalam modus operandi Muslimin mencari legitimasi dan basis argumen. Bukan soal latarnya dia, melainkan ini tentang autokritik pada kita yang sebenarnya oleh Quran banyak diperintahkan untuk mempergunakan akal dalam menimbang. Tradisi berpikir sudah lekat dalam khazanah Islam. Sayang, hari ini malah kita belajar dengan cara populer pada Gerung melalui kondisi politik aktual. Daripada tidak beranjak, kondisi yang ada ini dimanfaatkan untuk selanjutnya membekali diri dengan tradisi berpikir logis, dialektis, dan argumentatif. Terlebih di masa media sosial menjamur.
Kedua, rentan berkait dengan keselamatan Gerung sendiri. Bila karena ucapan yang bentuk protes saja seorang Ahmad Dhani didakwa 1,5 penjara, siapa menjamin Gerung tetap menghirup udara bebas sementara pihak sebelah begitu kegerahan dengan kritik tajam lagi akuratnya? Siapa bisa menjamin Rocky Gerung bakal aman dan nyaman setelah “berani” melawan para koleganya yang belakangan bersaf rapat di pihak penguasa?
Nah, di sinilah seyogianya mereka yang mendukung keberanian Gerung dalam menyigi perilaku penguasa untuk melanjutkan ke pengawasan. Siapa tahu Gerung besok tinggal nama; mendadak ia diwartakan telah tidak lagi berembus napas alias meninggalkan dunia selamanya. Jangan tanya ada apa dan mengapa ia mendadak tiada. Jadi, ini kesempatan kita selagi gandrung pada sosok Rocky Gerung bukan pada lapisan banal, permukaan dan dangkal, mengidolakan karena figuritas (yang ini Gerung pun pasti tak suka), melainkan lebih ke soal gagasan dan cara mengolahnya.
Bila dulu umat lain belajar berpikir pada Ibnu Rusyd, barangkali ini masa Muslimin di tanah air belajar bernalar benar dari Rocky Gerung. Tentu dengan sekian kritisisme tanpa fanatik buta pada segala ujarannya.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net