SURABAYA (Suaramuslim.net) – Kota Surabaya menjadi tuan rumah peringatan Hari Pers Nasional 2019. Eko Pamuji Sekretaris PWI Jawa Timur dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (06/02/19) mengatakan, Hari Pers Nasional (HPN) tahun ini mengangkat tema “Pers Menguatkan Ekonomi Kerakyatan Berbasis Digital.”
Eko menyebut adanya HPN ini bukan hanya membangkitkan ekonomi masyarakat dan menjalin kerja sama antara pers dan juga masyarakat umum untuk memberikan informasi yang benar. Namun juga melahirkan persatuan Indonesia.
“Jadi ada 3 hal dari tema itu yang harus kita pertimbangkan yaitu pers, ekonomi kerakyatan dan menggunakan teknologi digital. Era teknologi saat ini sudah tidak bisa ditolak, bagi siapa saja yang tidak mengadaptasi kemajuan teknologi maka akan tertinggal baik di bidang ekonomi maupun pers,” ungkapnya.
Eko mengatakan, promosi dalam kegiatan perekonomian merupakan sesuatu yang sangat penting agar produk dikenal masyarakat, baik lokal, regional, nasional, maupun internasional. Dalam kaitannya dengan ekonomi kerakyatan pers memiliki peran strategis untuk memperkuat sistem perekonomian.
“Ketika UMKM, pelaku industri yang tumbuh di Jatim ingin maju dan berkembang maka harus memakai teknologi digital. Di sinilah peran pers menyuarakan kepada para UMKM bahwa dunia sudah berubah maka kita harus beradaptasi,” ucap Ketua Serikat Media Siber Indonesia wilayah Jatim ini.
Eko menjelaskan, saat ini ada 2 bentuk media, pers dan non pers. Pertumbuhan media yang justru menjadi mainstrem adalah media sosial atau non pers. Hal itu dikarenakan dengan mudahnya setiap orang mendapat akses ke sana memberitakan sebuah isu, bahkan terjebak dalam berita-berita palsu atau hoax.
Itu terjadi karena mereka yang punya aspirasi tidak bisa tersalurkan di media pers.
“Sedangkan media pers di bawah naungan Dewan Pers. Media inilah yang sebenarnya menjadi pencerah kepada media sosial yang sering digunakan menyebar informasi hoax,” tuturnya.
Pers Semakin Menjadi Political Sphere
Pengamat Media dan Komunikasi Dr Sirikit Syah dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (06/02/19) menyampaikan, refleksi HPN 2019 yang paling signifikan adalah agresifitas masyarakat dan aparat penegak hukum dalam menerapkan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang diperkenalkan tahun 2008 yang memberikan dampak pada media secara keseluruhan.
“Jangan lupa bahwasanya UU ITE terdapat Transaksi Elektronik yang hingga saat ini masih banyak pelanggaran yang terjadi,” ujar dosen STIKOSA AWS ini.
“Yang masuk kategori Transaksi Elektroik sangat banyak, di antaranya kirim barang online, transportasi, perbankan. Sedangkan sosialisasi tentang ini sangat kurang dimaksimalkan oleh Kominfo. Padahal dalam UU itu pasal informasi yang berkaitan dengan media massa hanya 4 pasal dari keseluruhan 50 pasal,” ungkapnya.
Menurut Sirikit, persoalannya Pasal Informasi yang justru tidak mendominasi dalam UU ITE lebih gencar dilakukan dikarenakan masyarakat saat ini suka meramaikan media sosial sehingga mendorong pihak aparat mempelajari lebih jauh tentang permasalahan ITE.
Semestinya, lanjutnya, melalui HPN 2019 yang salah satu fokusnya ekonomi kerakyatan berbasis digital pasal transaksi elektronik sebagai platform hukum yang harus disosialisasikan.
“Pers sangat berperan dalam menyuarakan dan menghadirkan masukan di era serba digital ini. Pemberitaan dari pers terkait daya saing UMKM sangat diperlukan,” jelasnya.
Sirikit menilai, refleksi kedua di HPN 2019, sebagian media mainstream sudah menjadi political sphere, ini tentu menghianati teori Jurgen Habermas tentang public sphere.
“Sekarang yang dimaksud Habermas dengan public sphere pindah ke media sosial sementara media mainstream sebagian besar dikuasai oleh kekuasaan (politik) termasuk broadcasting televisi dan radio,” tuturnya.
Pers Harus Menyehatkan Ruang Publik
Dekan Fakultas Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura Surochiem Abdussalam dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (06/02/19) mengatakan, untuk bisa menjadikan pers yang sehat berkualitas maka negara harus hadir.
Jika suatu negara bisa menjaga ruang publik dengan baik maka akan tetap sehat, sebaliknya jika negara bermain-main menjadikan seluruh media menjadi barisan pendukung untuk kekuasaan tentu menjadi catatan buruk.
“Kita tidak bisa tergantung hanya pada satu kekuatan untuk mengharapkan ruang publik sehat, namun harus ada kekuatan negara melalui regulasi, pers, dan konsumen media yang teredukasi,” tuturnya.
Surochiem menyebut, tantangan pers mainstream masih tetap hingga kini yakni terus meneguhkan semangat menjaga ruang publik. Menjaga, memperbaharui dan meraih kepercayaan publik dan jangan sampai blunder informasi tidak valid sehingga terus kehilangan kredibilitas dan publik lari mencari informasi melalui medsos dan mencibir isi media mainstream sebagai media partisan.
“Saya menyadari apa yang menjadi diskusi publik, tidak mungkin semua media akan diurusi oleh Dewan Pers. Tetapi kita juga tidak berandai-andai semua media bisa terdaftar melalui Dewan Pers. Seperti saat ada persoalan tabloid Indonesia Barokah kemarin dengan mudahnya Dewan Pers mengatakan itu bukan anggota pers kami,” ungkapnya.
Menurut Surochiem, di sisi lain sebagai konsumen media, publik harus terus ditingkatkan kemampuan literasi medianya sehingga bisa kritis dan konstruktif dalam melubernya arus informasi media saat ini.
Demikian pula awak media harus didorong untuk patuh dan membentengi diri melalui kode etik dan kode perilaku awak media sehingga senantiasa bisa memiliki dan menjaga integritas dalam memproduksi isi media,” paparnya.
Selanjutnya Surochiem menyebut, negara melalui regulasi harus visioner dan bisa menciptakan social engineering sehingga regulasi tidak ketinggalan zaman dan senantiasa bisa menjawab kebutuhan zaman mutakhir.
“Negara harus sungguh sungguh dalam menegakkan hukum pro publik agar hukum media massa terus mendapat respek dan dihargai publik. Tiga pilar ini, pers-publik-regulasi, penting untuk direvitalisasi menyongsong hari pers nasional 2019,” tandasnya.
Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir