Suaramuslim.net – Telah banyak buku biografi yang mengulas sisi kegemilangan seorang Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), ulama, sastrawan dan sekaligus politisi kharismatik asal tepi Danau Maninjau Sumatera Barat ini. Kisah-kisah kegemilangannya sebagai ulama lalu kemudian menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, karya sastranya yang mempesona, hingga kelihaiannya dalam politik telah banyak kita simak. Sebagaimana sejarawan Taufik Abdullah menggambarkan Hamka sebagai manusia dalam sejarah, pelaku sejarah sekaligus penyusun sejarah.
Namun tak banyak yang mengulas sisi-sisi humanis seorang Hamka, sehingga kita mengandaikan ia sebagai manusia hebat yang tak bisa dijangkau dan ditiru. Seolah “Hamka-Hamka” baru tak bisa dilahirkan dan dimunculkan kembali.
Adalah Yusuf Maulana, dalam karya terbarunya menulis biografi Hamka dengan lebih humanis. Menggunakan alur induktif di mana secara detail kita disajikan kisah-kisah khusus, spesifik dan manusiawi seorang Hamka. Mulai dari pertumbuhan sejak dini hingga pada akhirnya menggapai kegemilangannya. Bahkan cenderung menyajikan biografi ini sebagai antitesis pensakralan sosok Hamka, tentu dengan maksud yang baik dalam fitrahnya sebagai seorang manusia.
Dalam buku Biografi Buya Hamka: Ulama Umat Teladan Rakyat, Yusuf Maulana menggarisbawahi, bahwa kehebatan dan kegemilangan Hamka, muncul dari sebuah ikhtiar panjang dalam berbagai pusaran dan kondisi yang (seharusnya) serba tidak memungkinkan lahir sesosok manusia hebat seperti Hamka.
Misalkan dibandingkan dengan Haji Agus Salim, yang memang dikaruniai kecerdasan, Hamka harus belajar lebih keras lagi, bahkan tak menempuh jenjang pendidikan formal, berbeda dengan Agus Salim. Atau dibandingkan dengan HOS Tjokroaminoto yang muncul dengan penuh kharisma mengguncang tanah Jawa, sosok Hamka bukannya tanpa cela.
Sosok Hamka dalam biografi besutan Yusuf Maulana diceritakan lahir dari keluarga yang tidak ideal. Saat Hamka berumur 10 tahun ibunya dicerai oleh ayahnya Haji Rasul, yang kemudian menikahi perempuan lain dan juga berpoligami. Dalam gambaran masa kini, seseorang dengan latar belakang keluarga broken home akan mendapatkan apologi jika hidupnya kemudian berantakan.
Dari latar pendidikan formal, Hamka juga tak melanjutkan pendidikannya dan mentok hanya sampai kelas dua Sekolah Dasar Maninjau. Semasa sekolah ia juga dikenal sebagai anak yang nakal, mulai dari tak pernah mendengarkan guru di sekolah, hingga hobi sabung ayam.
Meski pendidikan formal tak berlanjut, Hamka terus melanjutkan belajar agama di Pesantren Thawalib yang didirikan ayahnya, belajar pada Ki Bagus Hadikusumo dan juga belajar pergerakan pada HOS Tjokroaminoto. Dan dari sinilah titik hambatan latar belakang Hamka yang penuh ketidakmungkinan untuk jadi sosok gemilang di masa depan, ia patahkan dengan ikhtiar.
Dalam biografi ini, Yusuf Maulana ingin mengisahkan tentang mahalnya hidayah dan bagaimana ikhtiar Hamka menjemputnya, termasuk kegemilangannya kelak yang merupakan manifestasi dari salah satu mahfuzat yang terkenal: Man Jadda Wajada, barang siapa bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkan hasil.
Yusuf Maulana menyebut, seorang Hamka berhasil keluar dari bayang-bayang takdir yang gelap.
Kritik Keras Karena Bersastra dan Tuduhan Plagiarisme
Salah satu sisi hidup Hamka yang tak dimiliki ulama lain adalah kemampuannya dalam bersastra. Di usianya yang belum genap 30 tahun, Hamka menulis novel yang sangat laris di masanya yakni Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk dan Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Novel itu laris manis dan fenomenal di kalangan remaja pada masanya, bahkan cenderung kontroversial dan tabu karena dianggap mempromosikan pergaulan bebas. Kritik terhadap Hamka karena dianggap menulis fiksi yang mempromosikan pergaulan bebas datang bukan dari tokoh yang main-main, A. Hassan ulama besar dari PERSIS lah yang mengkritik keras novel-novel tersebut.
Meski dikritik, tahun-tahun berikutnya Hamka tetap produktif menulis, dan masa-masanya ketika itu tinggal di Medan dan Deli, Sumatera Utara termasuk masa paling produktif bagi Hamka dalam menghasilkan karya-karya yang masih relevan dan banyak dibaca hingga hari ini. Karya fiksi yang ia tulis ialah Lembah Kehidupan serta Merantau ke Deli, sementara karya non fiksi yang banyak jadi rujukan sampai sekarang adalah trilogi Tasawuf Modern, Lembaga Budi, dan Falsafah Hidup.
Tak hanya kritik akan karya fiksinya yang diterima Hamka, ia juga dituduh melakukan plagiarisme dari novel karangan sastrawan dari Prancis Alphonse Karr yang disadur oleh Mustafa Al Manfaluti, ketika menulis Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Bahkan Pramoedya Ananta Toer menabuh perang terbuka dengan mengobarkan tuduhan tersebut dalam harian Bintang Timur.
Menurut Yusuf Maulana, Hamka tidak sepenuhnya melakukan plagiat. Sebagai anak muda yang sedang gandrung ke sastra, ia mengidolakan Mustafa Al Manfaluti hingga Alphonse Karr dan berusaha mengadaptasinya dalam bentuk yang lebih membumi di Indonesia, dan tentu saja dibalut dengan pesan-pesan dakwah.
Namun sayang seteru ideologi dan politiknya melihat hal tersebut sebagai celah yang terus menerus diangkat untuk menunjukkan kesalahan seorang Hamka.
Masa-Masa Sulit dan Kisah Inspiratif
Semakin tinggi pohon semakin kencang angin menerpa, begitu kata pepatah. Seperti itu pula jejak hidup Hamka. Sepak terjangnya dalam politik jelang kemerdekaan Indonesia diuji dengan tuduhan bahwa ia adalah kolaborator Jepang karena bersikap kooperatif dengan penjajah.
Hamka dikenal dekat dengan Jenderal Tetsuzo Nakashima, Gubernur Militer Jepang di Sumatera Timur. Ia bahkan sempat menjadi anggota Cuo Sang In atau Dewan Pertimbangan Pusat di masa pemerintahan Jepang pada tahun 1945 sebelum merdeka.
Setelah Indonesia merdeka, di usianya yang cukup senja pada tahun 1959 selama dua tahun empat bulan Hamka dipenjara pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Saat itu, atas usulan PKI, Hamka dituduh melanggar Undang-Undang Anti Subversif Perpres Nomor 11 yaitu merencanakan melawan presiden.
Selama menjadi tahanan politik, Hamka tetap produktif berkarya bahkan menghasilkan karyanya yang paling fenomenal yakni Tafsir Al Azhar yang jadi rujukan dalam Ilmu Tafsir Al Quran hingga kini tidak hanya di Indonesia.
Dalam masa sulit ketika Hamka dipenjara, keluarganya juga mengalami kesulitan saat banyak kolega yang menjauh karena takut dicap melawan pemerintah. Meski begitu bantuan dari orang tak dikenal kerap datang silih berganti membantu keluarga Hamka.
Sebagai seorang ulama, Hamka dikenal cukup kontroversial. Di antara kontroversi yang digambarkan Yusuf Maulana dalam biografi Hamka yang ia tulis ialah ketika Hamka menerima seorang wanita paruh baya berbaju tenis yang tergolong cukup seksi di masa itu. Cibiran tak sedikit datang dari kanan kiri. Namun dari peristiwa itu ada hikmah yang terjadi di kemudian hari, sang ibu tersebut pada akhirnya mendapatkan hidayah lewat Buya Hamka, dan menjadi jemaah masjid Al Azhar yang paling istiqamah.
Ada banyak kisah tentang Hamka yang disajikan oleh Yusuf Maulana yang belum banyak ditulis oleh penulis biografi Hamka sebelumnya. Bahkan oleh koran Republika, karya Yusuf Maulana yang berjudul Buya Hamka: Ulama Umat Teladan Rakyat ini disebut sebagai antitesis dari Hamka’s Great Story karya James R Rush.
Sementara menurut saya, biografi Hamka karya penulis yang telah sejak lama mengakrabi kehidupan Hamka ini, adalah bak kurikulum. Bahwa menjadi seperti Hamka, atau paling tidak meneladaninya sangatlah mungkin dan bisa.
Karya ini penting dibaca oleh orang tua, pendidik, dan siapa pun yang ingin melahirkan generasi muslim yang gemilang. Karena Hamka tak terlahir dan tumbuh serta memiliki keluarga yang sempurna. Namun hidayah terbuka baginya, atas dukungan orang terdekatnya di antaranya pamannya Yusuf Amrullah yang mampu melihat potensi sang keponakan di tengah kenakalannya, bisa mencarikannya guru dan lingkungan tempat bertumbuh dan belajar yang tepat sehingga tumbuhlah Hamka menjadi seseorang yang hebat.
Kontributor: Ahmad Jilul Qurani Farid
Editor: Muhammad Nashir