Suaramuslim.net – Islam melegitimasi konsep memilih pemimpin dengan mudah dan cepat. Untuk memilih seorang pemimpin yang unggul dan amanah, diawali dengan mengumpulkan orang-orang terbaik. Orang-orang terbaik itu berkumpul dan bermusyawarah untuk menentukan pemimpin. Mereka memilih dan memilah-milah sejumlah orang untuk dipilih sebagai kepala negara. Pemimpin yang terpilih haruslah memiliki akhlak yang baik dipercaya masyarakatnya.
Proses terpilihnya Utsman bin Affan bisa dipakai sebagai rujukan dalam memilih pemimpin. Kecilnya kepentingan atau ambisi untuk berkuasa menjadi kunci lancarnya proses pemilihan khalifah ketiga ini. Model pemilihan Utsman bisa dijadikan sebagai rujukan dalam memilih pemimpin di era modern. Sangat berbeda dengan sistem demokrasi, yang membutuhkan proses yang rumit, dana besar, pikiran dan tenaga yang tak terhingga, serta konflik kepentingan dan konflik sosial yang besar.
Islam dan Proses Memilih Pemimpin
Kalau Abu Bakar terpilih melalui isyarat Nabi, di mana ketika sakit yang lumayan berat, yang menunjuknya sebagai imam salat. Para sahabat mengetahui Abu Bakar sebagai pribadi yang paling mulia dan unggul bila dibandingkan dengan yang lain, sehingga mereka langsung menetapkannya sebagai pemimpin secara aklamasi.
Demikian pula proses terpilihnya Umar bin Khaththab sangat simpel, di mana Abu Bakar menunjuk sebagai penggantinya. Namun yang berbeda dan terbilang demokratis, kapabel, sesuai dengan konsep negara modern, adalah terpilihnya Utsman bin Affan. Dikatakan demokratis karena melalui proses dan tahapan yang jelas. Dikatakan kapabel karena orang-orang yang memilih memiliki kualitas yang tidak diragukan.
Ketika menjelang wafat karena ditusuk pisau beracun, Umar berwasiat dan menunjuk 6 orang sebagai penggantinya. Maka berkumpullah Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Sa’ab bin Abi Waqqash, Zubair bin Awwam, dam Thalhah bin Ubaidillah. Dalam waktu singkat terpilihnya Utsman sebagai khalifah ketiga. Biaya yang harus dikeluarkan sangat kecil, waktunya singkat, dan terpilihlah pemimpin yang qualified.
Pasca penentuan 6 orang, Abdurrahman bin Auf mengusulkan agar 6 orang yang telah ditunjuk Umar diambil 3 saja. Pada saat itu, Sa’ad bin Abi Waqqash menyerahkan urusannya pada Abdurrahman bin Auf. Zubair bin Awwan menyerahkan suaranya pada Ali bin Abi Thalib. Sementara Thalhah bin Ubaidillah menyerahkan urusannya pada Utsman bin Affan. Ketiga sudah terpilih 3 orang (Abdurrahman bin Auf, Utsman, dan Ali), tiba-tiba Abdurrahman bin Auf menyatakan mundur, sehingga tersisa nama Utsman dan Ali.
Ketika tinggal dua orang itu (Utsman dan Ali), Abdurrahman bin Auf menyampaikan beberapa hal, di antaranya memuji Ali sebagai kerabat nabi, orang yang pertama-tama masuk Islam, serta menyebut jasa-jasanya. Kemudian dinasihatkan agar berbuat adil dan tetap memperhatikan Utsman jika terpilih menjadi khalifah. Ali mengiyakan dan siap mematuhi nasihat itu. Setelah itu, Abdurrahman bin Auf memanggil Utsman dan meyampaikan beberapa nasihat untuk berbuat adil, dan menyebut kebaikan-kebaikannya, dan siap memimpin jika terpilih menjadi khalifah serta tetap memperhatikan Ali.
Setelah menasihati kedua calon pemimpin itu, maka Abdurrahman bin Auf berkeliling dan masuk mengetuk pintu setiap rumah orang Muhajirin dan Anshar di Madinah. Hal ini untuk memperoleh pandangan tentang dua calon khalifah itu. Ternyata hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa sebagian besar di antara mereka memilih Utsman sebagai khalifah. Maka setelah itu disepakati Utsman ditetapkan sebagai khalifah secara kolektif tanpa ada gejolak yang berarti.
Proses pemilihan pemimpin ini tidak membutuhkan waktu lama dan tidak mengeluarkan biaya banyak, namun diperoleh pemimpin yang kapabel dan bisa memimpin sesuai dengan yang diinginkan rakyat kebanyakan dan sejalan dengan agama ini.
Kalau dibandingkan dengan sistem demokrasi yang saat ini menjadi pilihan masyarakat modern, bukan hanya membutuhkan dana yang besar dan waktu yang demikian lama, tetapi proses yang harus dilalui sangat melelahkan. Belum lagi efek yang ditimbulkan pasca terpilihnya pemimpin, karena dianggap kurang tepat, melahirkan konflik dan dendam yang berkesinambungan.
Dalam Islam, persyaratan untuk menjadi pemimpin demikian ketat, dan orang yang memilihnya juga memiliki kualifikasi yang jelas dan ketat pula. Enam orang yang masuk kategori sebagai calon pemimpin, ketika memilih Utsman, adalah calon penghuni surga, di mana mereka adalah orang-orang yang agung dan mulia. Mereka memiliki track record yang tak diragukan, di antaranya memiliki kepribadian atau akhlak mulia, pernah berprestasi dalam membela Islam dan berada di garis depan ketika Nabi menghadapi perlawanan dari orang-orang kafir.
Kepemimpinan Sistem Demokrasi
Kalau kita terjemahkan pada era saat ini, calon pemimpin harus dikenal sebagai orang yang memiliki perbuatan-perbuatan yang agung dan mulia di mata masyarakatnya. Di antaranya tidak pernah berbuat tindak pidana seperti korupsi, suap, narkoba, berjudi, melacur dan sebagainya. Dia harus dikenal dengan berbagai personal yang baik seperti matang, dermawan, pejuang, kinerjanya terbaik, dan sebagainya.
Namun yang terjadi saat ini muncul calon pemimpin yang memiliki masa lalu yang menyeramkan, seperti pernah terlibat kejahatan dan memiliki moral yang buruk, atau dari keluarga yang kurang baik, menggunakan segala cara untuk memenangkan pertarungan, serta tidak pernah terlihat jasanya pada bangsa dan negara. Pemimpin yang demikian tidak akan membangun negaranya tetapi akan mengeksploitasi dan menghancurkan negara, serta menindas dan memperbudak rakyatnya untuk kepentingan diri, keluarga, dan partainya.
Hancurnya sebuah negara bukan hanya disebabkan oleh kualitas akhlak dan moral penduduknya yang rendah tetapi juga kesalahan memilih pemimpin dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat, sehingga yang terpilih sesuai dengan karakter sebagian besar masyarakatnya.*
*Opini yang terkandung dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial suaramuslim.net.