SURABAYA (Suaramuslim.net) – Hujan yang terus mengguyur sebagian besar wilayah di Jawa Timur pekan lalu, mengakibatkan beberapa kabupaten mengalami bencana banjir. Banjir melanda 15 kabupaten di Jawa Timur. Kondisi terparah terjadi di Kabupaten Madiun. Penyebab banjir di 15 kabupaten diperkirakan karena curah hujan tinggi dan anak sungai tak kuat menampung air hujan.
Berdasarkan laporan Pusdalops BPBD Provinsi Jawa Timur (07/03), 15 kabupaten yang mengalami banjir adalah Kabupaten Madiun, Nganjuk, Ngawi, Magetan, Sidoarjo, Kediri, Bojonegoro, Tuban, Probolinggo, Gresik, Pacitan, Tranggalek, Ponorogo, Lamongan dan Blitar. Data sementara, banjir menyebabkan lebih dari 12.495 KK terdampak, sehingga sebagian masyrakat mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Waspada Bencana Hidrometeorologi
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Juanda Muhammad Nur Huda dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (11/03) menyampaikan imbauan terkait cuaca potensi curah hujan tinggi masih akan terjadi di beberapa wilayah Indonesia, pasalnya peringatan waspada potensi bencana hidrometeorologi masih berlanjut untuk wilayah Indonesia.
Hal itu, ujarnya, dikarenakan MJO (Madden Julian Osciliation) yang memberikan dampak berupa peningkatan curah hujan beberapa hari lalu di wilayah Indonesia bagian barat saat ini bergerak ke arah timur.
“Namun pengaruh fenomena MJO atau penguapan perbedaan suatu daerah di suatu tempat kemungkinan terjadi di suatu wilayah sangat kecil, sehingga yang paling berpengaruh cuaca lokal dan regional,” paparnya.
Nur Huda mengimbau kepada masyarakat untuk selalu berhati-hati dan waspada. Karena dampak dari potensi hidrometeorologi terusan tersebut menyebabkan curah hujan tinggi yang dapat memicu bencana hidrometeorologi. Seperti banjir, tanah longsor, banjir bandang, genangan, angin kencang, pohon tumbang, petir dan jalan licin.
“Jadi mulai tanggal 8-14 Maret akan berpotensi hujan lebat di sebagian wilayah Pulau Jawa. Juga untuk wilayah Indonesia bagian Tengah dan Timur, tetapi di beberapa daerah curah hujan tidak tentu, karena kondisi wilayah atmosfer yang berbeda di setiap daerah jawa timur,” jelasnya.
Nur Huda menjelaskan, puncak musim hujan dan kemarau tidak selalu sama. Misalnya saat sejumlah daerah di Jawa Timur dilanda banjir, salah satu desa di Situbondo justru kekurangan air tepatnya di dusun Desa Sumbertengah, Kecamatan Bungatan, sehingga pengiriman air bersih pun masih terus dilakukan oleh BPBD setempat.
“Yang paling menentukan musim suatu daerah adalah kondisi penguapan di wilayah itu, bisa kekeringan terlebih dahulu, atau hujannya yang lebih dulu,” lanjutnya.
Nur Huda menyebut, menurut data BMKG intensitas hujan di daerah Madiun sekitarnya beberapa hari kemarin sangat tinggi. Batas ukurnya jika ukuran hujan di suatu wilayah lebih dari 50 mm maka masuk ketegori ekstrem. Sementara data yang diperoleh saat terjadi banjir, intensitas hujan sangat ekstrem. Di antaranya Notopuro 126 mm, Pilang Kenceng 107 mm, Sumber Sari 110 mm, Saradan 178 mm, Kedung Rejo 106 mm dan Caruban tidak sampai 100 mm.
“Dari data itu maka sudah sangat ekstrim, jika intensitas itu berlangsung selama 10 jam di suatu wilayah yang pada umumnya angka itu merupakan akumulasi setiap bulan di setiap daerah, akan terjadi banjir” paparnya.
Menurut Nur Huda, BMKG Juanda sebelumnya juga sudah memberikan warning akan terdapat potensi hujan lebat di sebagian wilayah Pulau Jawa, untuk wilayah Indonesia bagian Tengah dan Timur.
“Kita sudah memberikan warning ada aktifitas MJO yang akan berdampak di Jatim, belum lagi di stasiun Juanda kami memberikan peringatan dini hujan lebat. Artinya lebat ini sudah masuk kategori ekstrem,” pungkasnya.
Cuaca Ekstrem Diprediksi Berlanjut
Sementara itu, Pakar geologi dari Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim ITS Surabaya Dr Ir Amien Widodo MSi dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (11/03) menjelaskan, kondisi Banjir yang melanda 15 kabupaten di Jawa Timur punya sejarah yang cukup panjang.
“Dari 2002, 2007, 2013 pada saat itu terjadi hujan besar dan kali Bengawan Solo penuh sehingga sungai-sungai yang berada di sekitar tidak bisa mengalir. Maka yang terkena dampak banjir pada daerah Ngawi akibat luapan dari sungai Madiun dan Bengawan Solo yang melintas,” ungkapnya.
Amien menyatakan, jika dilihat hujan deras telah menyebabkan banjir melanda 15 kabupaten karena sungai-sungai dan drainase yang ada tidak mampu mengalirkan aliran permukaan sehingga banjir merendam di banyak tempat harusnya bisa diantisipasi.
“Yang lumrah sering disalahkan saat terjadi banjir adalah intensitas hujan terlalu lama, padahal dari dulu hujan ya masih tetap, namun kesiap siagaan bencana harus terus dilakukan untuk mengantisipasi lebih dini,” jelasnya.
Amien menyebut, jika hutan di gunung masih baik maka hujan akan bisa diserap hingga 80 persen. Karena di dasar hutan terdapat ranting-ranting sehingga hujan tidak ada kesempatan lari ke tempat lain. Nantinya hujan dikeluarkan secara perlahan berupa mata air. Cara ini paling efektif dan sejak dahulu. Siklus berjalan dahulu seperti ini.
“Beberapa tahun ini, sungai-sungai Magetan sudah tidak ada air, karena mata air menjadi kecil. Penyebab utama adanya perubahan pegunungan menjadi pemukiman dan sawah. Maka semestinya 80 persen air yang tertampung dan menjadi mata air berubah mengalir menjadi banjir,” paparnya.
Menurut Amien, bumi sistemnya tertutup, istilahnya hujan yang berbutar dalam siklus ke siklus jumlahnya tetap. Ia akan terbagi dalam tahunan, 5 tahunan bahkan 30 tahun. Saat ini pada tahun 2018 statusnya semua ekstrem. Jika panas maka akan panas sekali, jika dingin juga dingin sekali. Hal itu dikarenakan terjadi peningkatan suhu bumi 1,5 derajat celcius.
“Dari PBB pun sudah memperingatkan adanya peningkatan suhu bumi, kita hanya mempunyai waktu 12 tahun lagi, jika kita tidak melakukan sesuatu untuk mengurangi suhu bumi maka diperkirakan cuaca ekstrem akan berlanjut selamanya,” tegasnya.
Upaya Peningkatan Status Darurat Bencana
Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Jawa Timur, Subhan Wahyudiono dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (11/03) melalui sambungan telepon menyatakan, banjir yang terjadi pada 6 Maret 2019 melanda 15 Kabupaten, dan bertambah 2 kabupaten pada 7 Maret, yakni Banyuwagi dan Blitar sehingga total ada 17 kabupaten di Jawa Timur.
“Dari 17 kabupaten yang tekena banjir, 12 kabupaten di antaranya sudah mulai surut total. Banyuwangi, Blitar, Jember, Tulungagung, Pacitan, Kediri, Nganjuk dan Sidoarjo. Namun ada beberapa yang masih saat ini dilakukan pembersihan di Madiun, Bojonegoro, dan Ngawi,” ungkapnya.
Subhan menyebut, meskipun sebagian besar pengungsi di daerah Ngawi dan Madiun sudah kembali ke rumah mereka, namun posko kesehatan masih akan dibuka untuk mendampingi warga yang melakukan pembersihan puing-puing serta antisipasi terjadi penyakit yang ditimbulkan pasca banjir.
“Hingga saat ini masih ada 3 kabupaten yang tergenang, antara lain Gresik, Tuban dan Lamongan. Namun genangan yang tersisa tidak terlalu dalam, sekitar 30-40 cm,” jelasnya.
Menurut Subhan, sebetulnya kesiapsiagaan BPBD Jatim sudah dimulai pada tahun lalu saat Gubernur Jatim pada 17 Desember 2018 menetapkan status siaga darurat bencana banjir, tanah longsor, puting beliung dan rob di Jatim sesuai surat rekomendasi BMKG Juanda.
“Namun karena banjir ini cakupannya sangat luas hampir 42 persen dari 38 kabupaten/kota. Maka saat ini kami mengusulkan peningkatan status siaga menjadi darurat bencana,” ungkapnya.
Subhan menilai, status ini sangat penting untuk mendapatkan akses di seluruh bidang terutama untuk pengerahan logistik, sumber daya manusia, hingga pengelolaan keuangan. Dengan adanya peningkatan status diharapkan bantuan-bantuan yang tidak terduga dan sedang dibutuhkan bisa sampai kepada kabupaten/kota dengan segera.
Kontributor: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir