Suaramuslim.net – “Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaih-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).” (Surah Shad: 44). Nabi Ayub adalah salah seorang dari bangsa Romawi. Nama lengkapnya Ayub ibn Maush, ibn Zarah ibn al-‘Aish ibn Ishaq ibn Ibrahim al-Khalil.
Kata Prof. Yunahar Ilyas dalam Suara Muhammadiyah (28 Januari 2019), Ibn Katsir menguatkan nasab ini karena Surat Al-An’am: 84 jelas menyebutkan Ayub adalah keturunan Ibrahim. Dhamir orang ketiga pada kalimat wa min dzurriyatihi kembali kepada Ibrahim, bukan kepada Nuh. Versi lain menyebutkan Ayub adalah putera Maush, ibn Ra’awil ibn al-‘Aish ibn Ishaq ibn Ibrahim. Dalam versi kedua ini tempat Zarah digantikan oleh Ra’awil. Dalam versi Al-Kitab, Ayub putera Zarah ibn Ra’awil ibn al-‘Aish ibn Ishaq ibn Ibrahim.
Muhammad al-Washfi dalam Târîkh al-Anbiyâ’ wa ar-Rusul wa al-Irtibâth a-Zamani wa al-‘Aqâidi (2001) mencoba menggabungkan dua sumber. Sumber Arab dan al-Kitab sehingga nasab Ayub menjadi Ayub ibn Maush, ibn Zarah ibn Ra’awil ibn al-‘Aish ibn Ishaq ibn Ibrahim al-Khalil.
Terdapat enam ayat di dalam Al Quran yang membicarakan tentang cobaan sakit yang menimpa Nabi Ayub sekaligus kesabaran beliau dalam menghadapinya. Enam ayat tersebut tersebar di dua surah dalam Al Quran. Pertama dalam surah Shad ayat 41–44, dan kedua dalam surah Al Anbiya’ ayat 83–84.
Dalam bukunya berjudul “al-Qur’an menyuruh kita sabar” (Gema Insani press, 2005), Dr Yusuf Qardhawi berpendapat tidak semua kisah tentang penyakit yang diderita Ayub itu benar. Banyak cerita lebay yang bersumber dari israiliyat yang diterima mentah-mentah, sehingga bertahan di pikiran umat bahwa Ayub menderita borok dan bisul yang mengeluarkan ulat. Sebab, penyakit tersebut mustahil diderita rasul Allah yang dapat menyebabkan orang-orang lari sebelum menerima dakwah, sementara ia tetap menjalankan dakwah kepada mereka.
Suatu hari Siti Rahmah (istri Nabi Ayub yang masih keturunan dari Nabi Yusuf) pagi-pagi ia berangkat bekerja ke pembuat roti. Ketika sang juragan tahu itu istri Nabi Ayub, si juragan memecatnya karena khawatir tertular penyakit. Malang nian nasib Rahmah.
Dari Rahmah ini, Nabi Ayub mendapat anak bernama Basyar, yang kemudian hari ia mendapat julukan Dzulkifli. Kelak dzulkifli juga menjadi seorang Nabi.
Di dalam Tafsir al-Maraghi dikisahkan, suatu hari Siti Rahmah berkata kepada Nabi Ayub, ”Tidakkah engkau berdoa memohon kesembuhan kepada Allah wahai suamiku?”. Menariknya, Nabi Ayub malah bertanya, “Berapa lamakah masa kita menikmati kesenangan?” Istrinya tadi menjawab, “80 tahun.” Ayub berkata, “Aku malu kepada Allah untuk memohon kepada-Nya, karena masa aku menderita cobaan ini belum sebanding dengan masa aku telah menikmati kebahagiaan“.
Merujuk kesimpulan M. Bani Mulyanto (Fakultas Ushuluddin-UIN Sunan Kalijaga, 2008), cobaan yang menimpa Nabi Ayub ‘alaihissalam menurut Al Quran adalah hilangnya harta kekayaan, terpisah dari anak-anaknya, dan menderita penyakit parah. Sedangkan kesabaran yang ditunjukkan Ayub dalam menghadapi cobaan-cobaan tersebut adalah tidak mengeluh, tidak bersedih, dan tidak berputus asa, serta semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan berdoa kepada-Nya penuh ikhlas, rendah diri, dan sopan santun.
Apabila manusia ditimpa suatu cobaan, kemudian ia mampu bersabar sebagaimana yang dilakukan Ayub, maka Allah akan mengabulkan permohonannya dengan segera dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik dari pada sebelumnya. Lebih dari itu, ia akan terhindar dari kecemasan, kesedihan, stres, dan kondisi buruk lainnya. Wallahu a’lam