Suaramuslim.net – Akhir-akhir jelang pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) 17 April 2019 istilah INAelectionObserverSOS semakin menghangat dan menarik didiskusikan. Menghangatnya istilah ini tidak lepas dari sedemikian massifnya dugaan kecurangan yang dilakukan oleh Calon Presiden (Capres) Petahana.
Pelanggaran secara massif dan kasat mata oleh Petahana seolah menjadi hal biasa dan tak peduli terhadap kritik dan protes masyarakat. Tak ambil cuti selama kampanye, menggerakkan seluruh aparat sipil, kepolisian, dan militer untuk mememilihnya, mengklaim program negara sebagai programnya, merupakan contoh pelanggaran terbuka yang dilakukan Petahana.
Pelanggaran kasat mata seperti ini tidak pernah terjadi pada kampanye-kampanye presiden sebelumnya. Bahkan tata aturan dan norma Pemilu beserta wasitnya (KPU dan Bawaslu) sudah sulit diharapkan untuk menjadi penopang Pilpres yang jujur dan adil, sehingga adanya pengawas internasional sudah sangat urgen.
Observer dan Kecurangan Massif
Mendatangkan pengawas internasional merupakan pertanda buruk bagi praktek Pemilihan Umum (Pemilu), khususnya Pemilihan Presiden (Pilpres) di Indonesia. Betapa tidak, dengan mendatangkan pengawas luar seolah menunjukkan kepada dunia bahwa negara ini sedang menghadapi petaka besar dalam pelaksanaan Pilpres.
Dalam logika sederhana, ketika para penyelenggara Pemilu menjalankan fungsinya dengan baik dan masyarakat mempercayainya, maka tidak perlu mendatangkan pengawas internasional. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang berbeda, di mana publik Indonesia sudah pesimis terhadap terwujudnya Pilpres yang jujur dan adil.
Memang ada dilema besar ketika membuka ruang bagi pengawas asing. Di satu sisi, bisa memberi angin dan spirit bagi semua pihak untuk menegakkan aturan Pilpres secara terbuka, jujur, dan adil, sehingga terpilih pemimpin yang kapabel dan kredibel sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Tetapi sisi lain, praktik Pilpres yang penuh dengan kecurangan secara kasat mata dan massif, pihak asing akan melihat dan itu preseden buruk. Hal ini sama saja membuka borok dan kebobrokan seluruh penyelenggaraan Pemilu, dan pihak lain mengetahuinya secara terbuka. Citra buruk Indonesia di mata dunia internasional tidak akan terelakkan.
Pentingnya kehadiran pengawas internasional karena opini publik sudah sedemikian pesimis melihat praktik penyelenggaraan Pilpres yang terlihat potensi pelanggarannya. Sehingga tanpa menghadirkan pengawas asing sama saja dengan membiarkan kerusakan massif yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang menginginkan kemenangan dengan segala cara. Bahkan selevel Amien hingga menyerukan People Power bila terjadi kecurangan, tanpa menyerukan lagi ke jalur Mahkamah Konstitusi.
Tidak cutinya presiden selama masa kampanye sehingga bebas menggunakan fasilitas negara. Dia bergerak secara leluasa untuk melanggar ketentuan-ketentuan sebagai Capres yang seharusnya mengambil cuti saat berkampanye. Ketika tidak mengambil cuti, maka Petahana bisa secara leluasa menggerakkan aparatur negara untuk ikut mendukung pemenangannya. Bahkan selama masa kampanye dia bisa leluasa menggunakan mengklaim program beserta pendanaannya sebagai karyanya.
Keterlibatan aparat kepolisian dan birokrasi pemerintah untuk mendukung dan memenangkan Petahana sedemikian nyata, sehingga berpotensi besar bisa memperbesar peluang untuk memenangkan pertarungan ini. Apa yang dilakukan oleh kepolisian yang disinyalir melakukan gerakan massif berupa pendataan untuk memenangkan Petahana, merupakan pelanggaran besar. Bahkan Kapolri sendiri meminta kepada aparat bawahannya untuk bersikap netral.
Sebagai Petahana yang tak mengambil cuti bisa mempengaruhi dan menggerakkan secara leluasa kepada para Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk memilihnya. Perintah untuk menaikkan gaji dan membayarnya jelang pencoblosan merupakan pelanggaran kasat mata. Padahal selama memerintah, Petahana tidak pernah menaikkan gaji para ASN. Dengan adanya kebijakan ini, maka sara dari ASN dan keluarganya bisa menambah pundi-pudi suara untuk Petahana.
Bahkan politik uang yang demikian massif juga terlihat kasat mata. Tertangkapnya Bowo Sidik Pangarso oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa tidak sebagai sebuah bagian dari operasi besar untuk melakukan kecurangan. Bahkan akrobat politik yang dilakukan oleh Luhut Binsar Panjaitan saat memberi amplop kepada salah seorang kiai di Bangkalan bisa dikategorikan pelaggaran moral secara terbuka.
Mempertanyakan Ketegasan Bawaslu
Mayarakat memiliki harapan besar terwujudnya Pemilu yang jujur dan adil, sehingga melahirkan pemimpin yang kapabel dan berintegritas. Untuk melahirkan pemimpin yang kapabel dan berintegritas, maka perlu ada jaminan terlaksananya aturan dan norma Pemilu. Namun realitas adanya pelanggaran secara massif demikian kasat mata. Berbagai kritik dan masukan sudah disampaikan, termasuk terhadap peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang dinilai kurang maksimal.
Sesuai dengan UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, Bawaslu memiliki fungsi dan wewenang yang cukup baik. Beberapa fungsi Bawaslu di antaranya, untuk mencegah pelanggaran Pemilu, bertindak bila terjadi sengketa proses Pemilu, mencegah terjadinya praktik politik uang, mengawasi netralitas ASN, anggota TNI dan anggota Kepolisian. Sementara wewenangnya memeriksa, mengkaji, dan memutuskan atas terjadinya berbagai kasus dan pelanggaran Pemilu. Bahkan dalam menjalankan tugas dan wewenang itu, Bawaslu diharapkan bisa bersikap adil.
Fungsi dan wewenang Bawaslu sedemikian besar namun apa yang dilakukan Bawaslu untuk menindak pelanggaran Pemilu tidaklah maksimal. Bahwa masyarakat bisa dikatakan pesimis terhadap kinerjanya. Presiden yang tak cuti saat kampanye, bebas menggunakan fasilitas negara. Bahkan begitu leluasa menggerakkan ASN, tentara, dan kepolisian untuk mempengaruhi publik agar memenangkan Petahana, tidak membuat Bawaslu bergerak untuk melaksanakan fungsi dan wewenangnya.
Melihat kinerja Bawaslu yang tidak memberikan harapan positif itulah, maka masyarakat menilai bahwa keberadaan pengamat asing sangat penting. Hal ini dalam rangka untuk ikut membantu mengawasi jalannya Pilpres agar tidak terjadi penyimpangan yang massif dan kasat mata. Mendatangkan pengawas asing merupakan jalan terakhir karena harapan untuk menciptakan Pilpres yang jujur dan adil terasa mustahil.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net