Suaramuslim.net – Tuntutan berbagai elemen masyarakat untuk mengungkap penyebab kematian ratusan anggota Kelompok Petugas Pemungutan Suara (KPPS) semakin masif. Tuntutan untuk melakukan otopsi terhadap mayat-mayat yang sudah dikubur sedemikian besar. Hal ini sebagai bentuk kepedulian terhadap penyebab hilangnya nyawa para petugas yang menjalankan tugas negara. Kematian yang demikian masif tentu saja perlu pembuktian medis, sehingga terkuak misteri sekalian menjawab kegelisahan sosial.
Di sisi lain, kurangnya respek dan respon pemerintah ketika melihat banyaknya warga negara yang meninggal, dalam menjalankan tugas negara, layak menjadi catatan keprihatinan. Bahkan ada yang berpandangan bahwa upaya mengotopsi jenazah itu dinilai tidak manusiawi, sehingga tidak perlu membongkar mayat yang sudah dikubur. Masih di sinilah menarik untuk memperdebatkan antara membuka kotak pandora misteri meninggalnya anggota KPPS atau membiarkan masyarakat secara liar menafsirkan sesuai dengan latar belakang sosialnya masing-masing.
Antara Keprihatinan dan Penghalangan Upaya Medis
Tuntutan masyarakat untuk mengungkap misteri kematian ratusan anggota KPPS semakin masif setelah adanya penjelasan dari dokter spesialis syaraf, Ani Hasibuan. Dia mengungkapkan bahwa bahwa kematian karena kecapekan dinilai janggal. Dia menganalisis bahwa tidak mungkin seseorang mati karena kecapekan. Kecapekan itu hanya sebagai pemicu terhadap penyakit yang dimiliki oleh pasien. Kalau hanya karena beban kerja, kecil kemungkinan anggota KPPS meninggal secara massal. Selelah apapun, kerja KPPS masih ada jeda waktu untuk istirahat, entah makan, minum atau rehat.
Yang menarik dari ungkapan Ani bahwa pentingnya menghargai satu nyawa. Dengan mengutip ayat 32 dari Al Quran surat Al-Maidah yang berbunyi: “Barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.”
Pandangan di atas menunjukkan adanya kepedulian seorang tenaga medis tentang keprihatinannya atas kematian ratusan warga negara tanpa terusut secara memadai. Oleh karena itu, sangat logis apabila dunia kedokteran siap membantu misteri meninggalnya secara sia-sia. menghargai nyawa satu orang. Sehingga ratus nyawa yang mati harus dicari penyebabnya.
Sebelumnya pihak kepolisian melarang rumah sakit melakukan otopsi terhadap ratusan jenazah KPPS. Bahkan KPU menyatakan bahwa kematian ratusan anggota KPPS ini jangan dipolitisir. Bahkan presiden menyatakan agar masyarakat menerima kenyataan itu sebagai takdir dan tak perlu diperpanjang lagi. Padangan kepolisian, KPU, dan presiden ini justru dianggap masyarakat sebagai upaya menutup-nutupi rancangan busuk.
Belakangan muncul sejumlah tuntutan untuk membuka kotak pandora dan misteri kematian para anggota KPPS itu.
Pertama, dokter yang mengaku dari Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa yang menyatakan sikap terkait kematian ratusan KPPS dalam Pemilu 2019 ini. Mereka menuntut kepada pemerintah untuk membentuk tim gabungan pencari fakta dan mendorong Komnas HAM untuk meneliti adanya dugaan pelanggaran HAM dan membawa kasus tersebut ke forum internasional, serta menuntut Kapolri untuk mengeluarkan surat perintah otopsi kepada dokter forensik se-Indonesia pada semua korban. Serta meminta pemerintah bertanggung jawab penuh atas semua korban dengan memberikan santunan yang sesuai undang-undang.
Kedua, muncul gagasan dari dokter-dokter dari rumah sakit Muhammadiyah yang menyiapkan tenaga, waktu, dan tempat untuk melakukan otopsi terhadap mayat para anggota KPPS sehingga bisa menguak misteri kematian ratusan anggota KPPS itu.
Ketiga, kesiapan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dalam membantu terkuaknya kematian para anggota KPPS. Bahkan PB IDI bukan saja merekomendasi pentingnya dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), tetapi juga siap membantu sepenuhnya secara optimal, komprehensif, dan bertanggung jawab. Hal ini mengingat bahwa kelelahan bukanlah penyebab langsung dari kematian mendadak, namun hanya sebagai faktor pemicu.
Upaya Menutup Celah Pandangan Liar
Tuntutan berbagai elemen masyarakat yang demikian tinggi dalam menguak misteri kematian lebih dari setengah juta anggota KPPS, dan partisipasi masyarakat. Dalam hal ini para dokter, sudah seharusnya memperoleh respon positif dari pihak pemerintah. Respon positif pemerintah itu sangat penting mengingat kematian warga negaranya secara massif dalam waktu yang hampir bersamaan menjadi tanggung jawabnya.
Ketika pemerintah, dalam hal ini presiden dan kepolisian, atau penyelenggara Pemilu, dalam hal ini KPU, berpandangan bahwa kematian ratusan anggota KPPS hendaknya dilupakan dan menganggapnya sebagai fenomena biasa, maka kotak pandora atas kematian para anggota KPPS itu tetap akan misterius. Kondisi ini justru membiarkan kepada publik untuk menafsirkan secara liar dan menduga-duga penyebab kematian massal itu. Ketika warga negara tidak memperoleh informasi yang valid terhadap kematian mendadak atas anggota KPPS, maka mereka akan menyelesaikan dengan caranya sendiri-sendiri.
Maka tidak salah apabila masyarakat terus curiga kepada pemerintah, karena membiarkan kasus ini menggantung, dan masyarakat akan menganggap bahwa pemerintah sebagai bagian dari konspirasi atas kematian para anggota KPPS itu. Namun sebaliknya, bila pemerintah membuka tangan seluas-luasnya dengan mengeluarkan kebijakan atas bolehnya melakukan otopsi kepada tenaga medis, maka misteri itu akan terkuak dan pemerintah telah menutup celah pandangan-pandangan liar itu terhadap negara.
Kalau saja kematian satu nyawa bernama Mirna yang diracun Jessica, seluruh masyarakat Indonesia heboh dan televisi meliput secara live selama 24 jam. Maka sungguh naif apabila pemerintah membiarkan ratusan warganya mati dalam keadaan menjalankan tugas negara. Maka jalangan salahkan ketika ada pandangan liar yang mengaitkan bahwa pemerintah adalah bagian dari konspirasi atas matinya ratusan anggota KPPS itu.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net