Suaramuslim.net – Tidak ada manusia yang ingin disempitkan rezekinya oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Shalat Dhuha sering disebut sebagai shalat pembuka pintu rezeki. Mengapa demikian? Bagaimana tata caranya? Berikut uraiannya.
Dari Nu’aim bin Hammar Al-Ghathafaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ لاَ تَعْجِزْ عَنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ
“Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang.” (HR. Ahmad, 5: 286; Abu Daud, no. 1289; At Tirmidzi, no. 475; Ad Darimi, no. 1451 . Syaikh Al-Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
Dalam Faidh Al-Qadir (4: 615), Al-Munawi menjelaskan maksud kalimat, akan dicukupi di akhirnya adalah akan diselamatkan dari cobaan dan musibah di akhir siang. Menurut penjelasan para ulama, empat raka’at yang dimaksud, bisa jadi termasuk dalam shalat Dhuha empat raka’at, bisa jadi maksudnya adalah shalat qabliyah shubuh dua raka’at dan shalat shubuh dua raka’at.
Tata Cara Melakukan Shalat Dhuha
Islam mengajarkan para pemeluknya agara menjadi manusia yang peduli kepada sesamanya melalui sedekah. Bahkan kita pun diperintahkan setiap harinya untuk bersedekah dengan seluruh persendian. Ternyata bersedekah dengan seluruh persendian bisa dilakukan dengan sholat Dhuha. Menurut pendapat yang paling kuat, hukum shalat Dhuha adalah sunnah secara mutlaq dan boleh dirutinkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wasiatkan kepada Abu Hurairah untuk dilaksanakan. Nasehat kepada Abu Hurairah pun berlaku bagi umat lainnya.
Abu Hurairah mengatakan, “Kekasihku –yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– mewasiatkan tiga nasehat padaku: [1] Berpuasa tiga hari setiap bulannya, [2] Melaksanakan shalat Dhuha dua raka’at, dan [3] Berwitir sebelum tidur.”
Asy Syaukani mengatakan, “Hadits-hadits yang menjelaskan dianjurkannya shalat Dhuha amat banyak dan tidak mungkin mencacati satu dan lainnya.”
Sedangkan dalil bahwa shalat Dhuha boleh dirutinkan adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Aisyah, ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya.
Shalat Dhuha dimulai dari waktu matahari meninggi hingga mendekati waktu zawal (matahari bergeser ke barat). Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa waktunya adalah mulai dari matahari setinggi tombak –dilihat dengan pandangan mata- hingga mendekati waktu zawal dan beliau jelaskan bahwa waktunya dimulai kira-kira 20 menit setelah matahari terbit, hingga 10 atau 5 menit sebelum matahari bergeser ke barat.
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) menjelaskan bahwa waktu awal shalat Dhuha adalah sekitar 15 menit setelah matahari terbit. Sedangkan waktu utama mengerjakan shalat Dhuha adalah di akhir waktu, yaitu keadaan yang semakin panas.
Zaid bin Arqom melihat sekelompok orang melaksanakan shalat Dhuha, lantas ia mengatakan, “Mereka mungkin tidak mengetahui bahwa selain waktu yang mereka kerjakan saat ini, ada yang lebih utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Waktu terbaik) shalat Awwabin (nama lain untuk shalat Dhuha yaitu shalat untuk orang yang taat atau kembali untuk taat) adalah ketika anak unta merasakan terik matahari.”
An Nawawi mengatakan, “Inilah waktu utama untuk melaksanakan shalat Dhuha. Begitu pula ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa ini adalah waktu terbaik untuk shalat Dhuha. Walaupun boleh pula dilaksanakan ketika matahari terbit hingga waktu zawal.”
Adapun tata cara melakukannya adalah sebagai berikut :
- Berniat sholat Dhuha terlebih dahulu.
- Shalat Dhuha boleh dikerjakan sebanyak minimal 2 rakaat atau tak terbatas. Jika jumlah raka’atnya melebih 2 raka’at maka dilakukan setiap 2 rakaat satu kali salam.
- Dalam pelaksanaan shalatnya boleh membaca surat apapun yang dikuasai, karena tak ada dalil khusus untuk bacaan surat dalam shalat Dhuha.
Dilansir dari dilansir konsultasisyariah.com, ada doa shalat Dhuha yang yang amat terkenal yaitu,
Allahumma innadh dhuha-a dhuha-uka, wal bahaa-a bahaa-uka, wal jamaala jamaaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrata qudratuka, wal ishmata ishmatuka. Allahumma inkaana rizqi fis samaa I fa anzilhu, wa inkaana fil ardhi fa akhriju, wa inkaana mu’asaran fayassirhu, wa inkaana haraaman fathahhirhu, wa inkaana ba’iidan fa qaaribhu, bihaqqidhuha-ika, wa bahaa-ika, wa jamaalika wa quwwatika wa qudratika, aatini maa ataita ‘ibadikash shaalihiin.
Doa ini disebutkan oleh As Syarwani dalam Syarhul Minhaj (7:293) dan Abu Bakr Ad Dimyathi dalam I’anatut Thalibiin (1:295). Namun, tidak menunjukkan dalil bacaan ini. Tim fatwa Syabakah Islamiyah, di bawah bimbingan Dr. Abdullah al-Faqih mengatakan, “Kami tidak mendapatkan dalil kuat yang menunjukkan adanya doa ini pada referensi- referensi yang kami miliki.” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no.53488).
Sehingga, perlu dipahami dan dijadikan prinsip bagi setiap orang yang beriman. Karena hukum asal ibadah adalah haram kecuali jika ada dalilnya. Apapun bentuk ibadah tersebut dan siapa pun yang mengajarkannya, satu harga mati: semua harus berdalil. Jika tidak maka itu bukan ibadah meskipun kelihatannya adalah ibadah. (muf/smn)