SURABAYA (Suaramuslim.net) – Keinginan Kapolri Jend Polisi Tito Karnavian agar pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kelak diisi perwakilan dari kepolisian menuai pro kontra. Independensi dan loyalitas menjadi pembahasan yang mencuat jika posisi pimpinan KPK dijabat oleh sosok dari kepolisian.
Kapolri menilai hal tersebut untuk mempermudah kerja sama dan sinergi penindakan korupsi dengan jaringan mereka. Namun, masyarakat sipil malah menyebutnya sebagai intervensi terhadap KPK.
Bagaimana duduk permasalahannya? Berikut pendapat dari dua pakar yang kami rangkum dari talkshow Ranah Publik.
Independensi Lembaga Anti Korupsi
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Trunojoyo Madura Surochim Abdussalam, M.Si dalam talkshow Ranah Publik (3/7) di Suara Muslim Surabaya 93.8 FM menjelaskan, lembaga KPK ini adalah lembaga super body.
KPK, lanjutnya, sebagai lembaga negara yang secara khusus melakukan tugas dalam tindakan pidana korupsi. Keberadaan KPK melebihi peran dan fungsi yang berada pada lembaga penegak hukum, antara polisi, kejaksaan, dan bahkan dengan lembaga-lembaga negara lainnya.
“Dia diberikan kewenangan yang super, bahkan lembaga-lembaga yang selama ini memiliki tugas itu dan berada di KPK biasanya ada rasa iri. Menurut saya wajar jika polri dan kejaksaan merasa ingin diikutsertakan dalam kepemimpinan KPK tentu ada kepentingan,” paparnya.
Perlu dicermati menurut Surochim, jika semua pihak ingin masuk KPK. Bagaimana bisa jika lembaga ini mempunyai syarat kepentingan misalkan memiliki loyalitas ganda, satu sisi mewakili KPK tetapi sisi lain masih berada di kepolisian dan kejaksaan maka akan menyulitkan teknis penyelidikan serta penyidikan.
“Bagaimana KPK sebagai superbody bisa menjalankan fungsi koordinasi dan pengawasan terhadap kelembagaan hukum lain dalam pemberantasan korupsi kalau aparat KPK lebih loyal kepada kepada polri atau kejaksaan. Maka jika ada calon KPK berasal dari polri dan kejaksaan, menurut saya syarat yang harus dipenuhi adalah mengundurkan diri. Karena jangan sampai mereka mendua,” jelasnya.
Surochim menilai, meskipun memang dalam perjalanannya dalam tubuh KPK selalu ada unsur dari kepolisian dan kejaksaan, tetapi yang perlu diingat prinsip utama menjadikan KPK mempunyai fungsi yang besar untuk penegakkan hukum. Pemberantasan hukum yang independen menjadi penting diperhatikan.
Surochim menjelaskan, hasil dari sebuah survei menyebut KPK menjadi lembaga negara yang paling dipercaya oleh masyarakat daripada lembaga negara lainnya seperti polri hingga DPR. Diharapkan KPK akan senantiasa bekerja secara profesional dan tetap dalam koridor penegakan hukum.
“Terkait adanya calon pimpinan KPK dari unsur polri dan kejaksaan silakan saja, tetapi jangan sampai ada loyalitas ganda, yaitu hanya ingin lembaganya aman untuk tidak diperiksa KPK jika kemudian ada penyimpangan dalam tindak kasus korupsi,” ujar Surochim.
“Independensi KPK sangat bergantung pada independensi penyidik, tak hanya level pimpinan. Oleh karena itu, perekrutan penyidik yang independen oleh KPK sangat penting sehingga dapat lebih menjamin integritas dan kinerja KPK dalam memberantas korupsi,” tandasnya.
Waspadai Intervensi KPK
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya Satria Unggul Wicaksana, SH, MH di Suara Muslim Surabaya 93.8 FM membenarkan jika KPK menjadi lembaga negara yang paling dipercaya oleh masyarakat daripada lembaga negara lainnya. Hal ini merupakan hasil survei tentang Tren Persepsi Publik Tentang Korupsi di Indonesia yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia bersama Indonesia Corruption Watch tahun 2018.
“Atensi publik dalam memberikan kepercayaan terhadap KPK dalam pemberantasan korupsi sangat tinggi, jika misalnya ada unsur dari polisi dan kejaksaan justru melemahkan, ini sangat disayangkan. KPK sebagai institusi harus dijaga, artinya berkomitmen untuk tidak berafiliasi dengan kepentingan di luar pemberantasan korupsi,” jelasnya.
Satria mengungkapkan, adanya kekhawatiran intervensi polisi kepada KPK bukan tanpa bukti, salah satu contoh kasus 2018 adalah penghilangan alat bukti oleh penyidik KPK dari unsur kepolisian, usai salah satu nama petinggi polisi mencuat diduga menerima aliran dana suap terkait impor daging sapi dari Basuki Hariman.
“Tentu ini menjadi preseden yang tidak bisa dilupakan, artinya loyalitas komisioner KPK harus dikedepankan dalam pemberantasan korupsi, jangan membawa kepentingan setelah dia menduduki jabatan di KPK,” jelasnya.
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengharapkan adanya unsur polri nantinya dalam susunan komisioner KPK untuk kerja sama yang efektif dalam menindak kasus korupsi di 34 provinsi dengan lebih dari 500 kepala daerah di Indonesia. Tapi menurut Satria, jika mencermati lebih jauh seharusnya itu tidak perlu karena sudah ada strategi nasional pencegahan korupsi di mana KPK, polri dan kejaksaan merumuskan strategi bersama untuk pemberantasan korupsi.
“Jadi tidak perlu lagi memasuki kewenangan lebih dalam urusan dapur setiap lembaga. KPK mempunyai platform bernama JAGA. Platform ini ditujukan agar masyarakat ikut berpartisipasi dalam upaya pencegahan korupsi. Setiap bulannya platform itu menerima laporan mencapai 7000, jika laporan itu tidak sampai 1 miliar biasanya langsung diteruskan kepada kepolisian dan kejaksaan. Sehingga kewenangan KPK sudah cukup clear,” jelasnya.
Satria menyatakan, masyarakat perlu mengawal sosok yang sudah terjaring dalam pansel pemilihan capem KPK.
”Ini menjadi persoalan yang harus kita hadapi, agenda pemberantasan korupsi kedepan sangat besar tantangannya. Orang baik jarang ikut mendaftar sebagai komisioner KPK, karena mereka beralasan takut ancaman dan intimidasi yang luar biasa. Kasus Novel Baswedan merupakan preseden sangat buruk terhadap kasus pemberantasan korupsi. Maka ini butuh jihad bersama, mengawal bersama KPK dalam memberantas korupsi.” Pungkasnya.
Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir