Suaramuslim.net – Hari Selasa di pekan terakhir bulan Juli, saya ada jadwal mengajar mata pelajaran fikih di kelas X. Di dalam kelas saya bahas topik, “Fikih dan Penerapannya di Negeri Kita”. Sampailah pada sesi pertanyaan dari murid asal Flores, “Mengapa muslim Indonesia dikenal sebagai pengikut Imam syafi’i (Syafi’iyah)?“.
“Mayoritas di negeri ini pengikut Syafi’i, sisanya pengikut Hanbali.” Kenapa bisa dikatakan begitu?
Pertama, sebabnya di Indonesia, para pendakwah Islamnya kebanyakan pengikut Syafi’i. Sebut saja Syekh Muhammad Nawawi al Bantani, Hadratussyekh Hasyim asy’ari, Syekh Muhammad Junus (Pendiri al-Jam’iyatul Washliyah), KH Sahal Mahfudz, KH Ali Yafie, Ustadz Abdul Shomad hingga Prof. Huzaemah T. Yanggo (ahli perbandingan mazhab).
Kedua, kitab-kitab yang beredar dan dikaji di Mahad, Pesantren hingga Fakultas Syariah adalah kitab karangan ulama pengikut Imam Syafi’i. Contohnya: kitab Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Kifayatul Akhyar hingga I’anah ath-Thalibin. Di Fakultas Syariah UIN Malang, tes baca kitab Fathul Qorib menjadi salah satu syarat mengikuti ujian komprehensif.
Kalau yang mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal (Mazhab Hanbali), dipraktikkan kalangan Salafi. Apalagi penyebaran mazhab ini tak lepas dari alumni kampus ternama di Arab Saudi dan alumni Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA). Hanya saja, setelah berkiprah di khalayak umum, sebagian dari mereka ada yang hobinya “tahdzir” (celaan) kepada kiai. Da’i atau muballigh di luar kelompoknya. Selain itu, terkadang mereka merasa pengajiannya paling “nyunnah”.
Bagaimana dengan Syiah? Pengikut aliran ini dianggap bukan bagian dari Islam. Aliran ini diamalkan para anggota dan simpatisan Ikatan Jamaah Ahlul bait Indonesia (IJABI) dan Ahlulbait Indonesia (ABI). IJABI pimpinan Jalaluddin Rahmat ini berkiblat ke marja’ Lebanon, sementara ABI ke Iran. Seingat saya, Ormas ABI yang merupakan pecahan dari IJABI pernah menerbitkan “Buku Putih Mazhab Syiah”. Prof. Dr Quraish shihab memberi kata pengantarnya.
Praktik Fikih ibadah orang Syiah berbeda sekali dengan muslim sunni pada umumnya. Ada kerabat saya, ketika adzan maghrib berkumandang tidak langsung berbuka puasa. Beliau menunggu sampai langit benar-benar gelap. Kemudian saat salat, tak lupa membawa turbah (lempengan batu). Katanya buat alas sujud. jika ada anggota keluarga yang meninggal dunia, kain kafannya ditulisi kalimat doa versi ajaran Syiah.
Murid lain mengajukan pertanyaan menarik, “Muhammadiyah ikut imam yang mana?”. “Imam yang mana ya? eh tapi ingat, di Muhammadiyah berpedoman ke Majelis Tarjih,” jawab saya. Mengenai hal ini, saya teringat ucapan Prof. Yunahar Ilyas dalam Pengajian Romadhon PP Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (Juni, 2017), “Tarjih bukan sebuah madzhab namun manhaj. Tarjih itu berorientasi pada dalil dan istidlal bukan qoul minal aqwal”.
Muhammadiyah di sisi lain tidak mengabaikan mazhab-mazhab fikih. Misalnya perkara zakat fitrah, majelis tarjih memberi dua pendapat: berupa bahan makanan pokok (2,5 kg) atau uang seharga kadar makanan pokok. Pendapat pertama populer di kalangan Syafi’i, Maliki dan Hanbali, adapun pendapat kedua populer di kalangan Hanafi. Akhir kata, siapa saja yang condong kepada satu pendapat ulama atau lembaga fatwa, lalu diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, maka pada hakikatnya dia telah bermazhab. Wallahu a’lam.