SURABAYA (Suaramuslim.net) – Presiden RI Joko Widodo memutuskan kawasan Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, sebagai kawasan ibu kota baru pemerintahan.
“Menyimpulkan ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara,” kata Jokowi dalam jumpa pers di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/8).
Komitmen pada Kemaritiman
Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, sekaligus Ketua Himpunan Ahli Pengelola Pesisir Indonesia Prof. Daniel M. Rosyid PhD, M.RINA dalam Dialog Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm mengatakan, secara psikologi ada hal penting saat pemerintah bergerak menjadikan Indonesia sentris.
Ada beberapa isu, di antaranya, perlunya pemerintah membangun sektor maritim, karena jika berbicara Indonesia sentris maka pemerintah harus melihat kenyataan bahwa Indonesia ini negara kepulauan 70 persen air.
Salah satu cara membangun sektor maritim adalah hadir di laut dengan membangun kapal berbagai macam jenis, karena kapal merupakan infrastruktur negara kepulauan yang bisa disebut jalan sekaligus truknya.
“Suatu keharusan membangun sektor maritim, jika hanya memindahkan ibu kota tetapi kita masih berpandangan negara benua maka tidak akan bisa mempersatukan kepulauan Indonesia yang luasnya seperti Eropa. Jika perspektif kita masih darat maka tidak bisa sampai pada cita-cita memeratakan pembangunan, saat ini kita terjebak jalan-jalan tol, buktinya, investasi laut masih sangat kecil dibanding darat,” paparnya pada Rabu (21/8).
Menurut Daniel, sebenarnya sudah ada blue print jejaring pelabuhan nasional, saat ini yang penting adalah mengembangkan pelabuhan baru di Kuala Tanjung, Bitung, Sorong namun harus dibarengi pemindahan energi. Persoalannya, kebijakan energi sekarang sedang didikte industri otomotif, konsumsi energi perkapita sebagian habis di transportasi sehingga menyebabkan ongkos logistik berbiaya tinggi.
Sebagai contoh, menurut Daniel, Papua dikenal dengan sumber daya melimpah, di mata dunia mereka mengetahui betapa eksotisnya pulau Papua. Keindahan alamnya berpadu dengan suku-suku asli yang masih hidup menyatu dengan alam setempat. Namun, pemantik kasus terbaru Papua itu karena kekayaan alam dilihat sebagai aset tetapi sumber daya manusianya dianggap sebagai tagihan.
“Jika belajar dari Rasulullah, hijrah rasul 10 tahun pertama adalah pemikiran, bagaimana mengubah pemikiran yang jahiliyah menjadi bangsa yang paling maju pada abad itu. Makanya jika mindset pemerintah masih pada pertumbuhan maka tidak bisa, harusnya kita berpikir pemerataan, menyasar pertumbuhan yang tidak terlalu tinggi tapi pemerataan harus bagus,” ungkapnya.
Daniel melanjutkan, salah satu sebab daerah Timur Indonesia itu mundur karena zona waktu yang berbeda. 3 zona waktu membuat kawasan timur kehilangan 4 jam perhari untuk transaksi dengan barat. Usulan kami dijadikan satu kesatuan waktu Indonesia sehingga terintegrasi dengan Singapura, Hongkong dan Malaysia. Ini akan mengintegrasikan Indonesia ke Asean dan mempersatukan waktu di NKRI.
“Bayangkan Indonesia Timur kehilangan waktu 4 jam untuk transaksi bertahun-tahun karena mengikuti Barat. Mereka baru bisa bertransaksi sekitar jam 10 WIT sementara WIB masih jam 8, jika WIT sudah tutup, Jakarta masih jam 2 siang,” paparnya.
Memindahkan ibu kota tidak bisa cepat, Daniel menilai, ini bukan persolan urgensi memindah ibu kota saja, tetapi pertimbangan ekosistem sangat penting. Meski pembangunan ibu kota memiliki konsep green living namun jika kajian lingkungan strategi tidak dilakukan maka akan menjadi persoalan.
Ibu kota Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda, ucapnya, salah satu wilayah yang sudah rusak akibat izin tambang tanpa henti. Kota ini semakin rentan, bencana akan berulang, selama pengrusakan tidak dihentikan. Samarinda juga dikepung aktivitas industri ekstraktif tambang dan sawit dari kabupaten tetangga.
Pemindahan Ibu Kota untuk Pemerataan Ekonomi
Pengamat Ekonomi Universitas Airlangga Dr. Imron Mawardi dalam Dialog Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm pada Rabu (21/8) menyatakan, yang perlu dikaji adalah alasan pemerintah. Satu alasan yang kerap mengemuka adalah beban berat yang ditanggung oleh Jakarta.
Jakarta saat ini menjadi pusat segalanya, mulai dari pusat pemerintahan, keuangan, industri dan bisnis. Akibatnya, selain sangat padat penduduk, Jakarta juga macet parah. Alasan lain yang disampaikan oleh pemerintah memindahkan ibu kota adalah untuk pemerataan pembangunan dan beban ke luar pulau Jawa.
“Menurut saya, fungsi dan urgensi pemindahan ibu kota pemerintahan adalah, apakah padatnya Jakarta lebih terkait Jakarta sebagai ibu kota atau pusat bisnis? Ini perlu dikaji apa yang menyebabkan,” jelasnya.
Menurut Imron, jika Jakarta padat sebagai pusat bisnis sebenarnya urgensi memindahkan ibu kota tidak terlalu kuat. Harusnya bisa diselesaikan dengan menciptakan pusat bisnis baru di luar Jakarta.
“Penduduk Jawa tidak berimbang dibandingkan provinsi lain di Indonesia. 51 persen berada di Jawa, 27 persen di Sumatra, dan beberapa persen tersebar di provinsi lain. Dulu memang ada transmigrasi, tujuannya ingin membangun pemerataan. Misalkan pemerintah ingin membangun pusat bisnis baru maka secara otomatis, infrastruktur harus didukung,” jelasnya.
Imron menjelaskan, dalam ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di level makro, ternyata tidak serta merta menciptakan pemerataan kesejahteraan di tingkat mikro. Sejauh ini pertumbuhan perekonomian Indonesia lebih banyak dinikmati golongan masyarakat menengah ke atas ketimbang masyarakat menengah ke bawah.
Imron menilai, strategi pembangunan Indonesia semestinya tidak lagi hanya terpaku pada upaya pertumbuhan ekonomi, tapi pertumbuhan ekonomi yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat.
“Analoginya, ada 100 orang penduduk, 10 orang pendapatannya 100 juta per bulan, yang 90 orang cuma 1 juta. Bagaimana cara untuk mendapatkan pertumbuhan yang bagus? Cara lebih mudah ya, memperhatikan yang 10. Ini yang dilakukan pemerintah karena berorientasi pada pertumbuhan,” paparnya.
Padahal, Imron menilai, pemerintah harus melihat pada kenyataan, misalkan, problem saat ini adalah kemiskinan tinggi ada di sektor kontribusi dalam ekonomi rendah, itu disebabkan karena tidak terlalu diperhatikan. Dulu kontribusi pertanian terhadap PDB sekitar 26 persen, namun lama kelamaan turun hingga 13, padahal sebagian orang miskin berprofesi sebagai petani.
“Jika berorientasi pada pertumbuhan akhirnya ya Jawa sentris, karena jika Jawa mencapai pertumbuhan 7 persen maka yang diperhatikan Jawa, akibatnya pemerataan sangat rendah, ketimpangan Jawa dengan pulau lain semakin tinggi,” papar Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah Jatim ini.
Pemerintah, imbuh Imron, bisa menimbang urgensi pemindahan ibu kota, jika tujuannya untuk pemerataan yang berimbas pada kesejahteraan masyarakat Indonesia, maka yang perlu dilakukan bukan memindahkan ibu kota. Karena jika itu dilakukan, harapan pertumbuhan ekonomi bisa jadi hanya bertumbuh sekitar Kalimantan saja.
“Seharusnya, pemerintah juga berorientasi, bagaimana menciptakan ekonomi baru sehingga tujuan jangka pendek yang diharapkan, beban Jakarta berkurang tapi jangka panjang pun juga berjalan, yaitu terjadi kesejahteraan masyarakat yang meningkat akibat pemerataan,” pungkasnya.
Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir