SURABAYA (Suaramuslim.net) – Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur, Suban Wahyudiono dalam talkshow Ranah Publik radio Suara Muslim Surabaya 93.8 FM di serambi masjid ITS Surabaya (2/9/19) menyatakan, wilayah Jatim ini posisi letaknya sudah berdekatan jalur pertemuan tektonik yaitu lempeng Indo-Australia dan Eurasia, sehingga sudah menjadi sunnatullah, mengharuskan masyarakatnya memiliki kesiapsiagaan dalam kebencanaan.
“Mengingat Indonesia berada di kawasan rawan bencana, sehingga fakta tersebut harus disikapi dengan bijak,” ungkapnya.
Menurut Suban, Jatim juga ditakdirkan mendapat bagian 7 dari 127 gunung aktif di Indonesia. Antara lain, Gunung Arjuno, Gunung Welirang, Gunung Baluran, Gunung Raung, Gunung Semeru dan Gunung Bromo, sehingga ada 21 kabupaten rentan terdampak erupsi. Selain itu, di Jatim sendiri terdapat pantai yang panjang, sehingga mengakibatkan rawan terjadi tsunami.
“Kita juga menganut iklim tropis, jadi jika kemarau bencanaya seputar kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, dan jika hujan datang, maka terdapat bencana banjir, angin puting beliung, dan tanah longsor,” paparnya.
Sesuai hasil kajian, Suban menjelaskan ada 12 ancaman potensi bencana di wilayah Jatim, 11 potensi bencana alam, dan satu bencana non alam.
“Memang ada perubahan mindset dalam penanggulaan bencana, dulu saat terjadi bencana ya secara aktif ditangani seperti biasa, namun sekarang untuk menghadapi berbagai macam bencana diperlukan persiapan atau mitigasi yang baik. Hal itu karena sebuah kajian menyebut orang yang selamat dalam bencana 35 persen disebabkan kemampuan dirinya, 28 persen dari orang lewat, 5 persen justru datangnya dari penolong,” jelasnya.
“Pendekatan ini, kami menyebutnya Pentahelix yang memprioritaskan penggunaan konteks lokal, kearifan lokal, sumber daya lokal sesuai dengan jiwa gotong royong. Maka strategi dalam menyiapkan kota untuk menghadapi seperti apa, ya kapasitas inilah yang bisa di otak atik,” tandasnya.
Subhan menjelaskan, ada tujuh prioritas dalam pembagian peran untuk kesiapan kota menghadapi bencana antara lain, penguatan kebijakan dalam kelembagaan (sebuah kota apakah sudah mempunyai perda kebencanaan dan masuk dalam RPJMD), pengkajian resiko dan perencanaan terpadu (peta kajian bahaya setiap kota apakah sudah ada), pengembangan sistem informasi (sarana media yang menjangkau masyarakat), penanganan tematik kawasan rawan bencana (penataan ruang berbasis pengurangan risiko bencana), peningkatan efektifitas pencegahan dan mitigasi bencana (penerapan aturan bangunan tahan gempa), serta penguatan kesiapsiagaan, pengembangan sistem pemulihan bencana (rencana kotigensi dengan berbagai elemen).
“Ini harus ada dalam kesiapan kota untuk menghadapi bencana, jadi lembaganya dahulu yang dibangun, karena bencana bisa datang tiap tahun seperti ulang tahun,” pungkasnya.
Antisipasi, Mitigasi, Adaptasi
Sementara itu, pakar geologi dari Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim ITS Surabaya Dr Ir Amien Widodo MSi dalam talkshow yang sama menjelaskan, hanya soal waktu, bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi akan terjadi lagi, bisa di mana saja, kapan saja di negeri ini.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Sementara persiapan kebencanaan di kota Surabaya ini, baru kurang lebih dua tahun badan penanggulangan bencana dan linmas terbentuk. Hal ini wajar, dikarenakan banyak ketidaktahuan pentingnya mitigasi bencana.
“Kenapa baru dua tahun? Dikarenakan banyak ketidaktauhan tentang potensi bencana yang ada, sehingga ada yang bilang, nantinya akan rugi jika badan terbentuk harus menggaji karyawannya yang ada,” paparnya.
Amien menjelaskan, menurut peta sumber dan bahaya gempa di Indonesia pada Oktober 2017 menyebutkan, sumber gempa di Jawa timur ada dua, yaitu dari tumbukan lempeng tektonik di selatan Jatim dan sesar aktif di Jawa. Gempa akibat tumbukan lempeng dikenal dengan gempa megathrust dengan magnitudo maksimum 8,7 dan berpotensi tsunami melanda pantai selatan Jatim.
“Sesar aktif yang melewati Jatim, terdapat di Banyuwangi, Probolinggo, Pasuruan, Surabaya, dan Waru. Sesar aktif itu juga sampai Caruban melewati Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, dan Nganjuk. Sesar aktif di daratan umumnya sangat merusak. Hal ini disebabkan besarnya guncangan yang merupakan fungsi kekuatan sumber gempa dan jarak sumber gempa,” sambung Amien.
Jika gempa skala 6, Amien memisalkan, terjadi di wilayah Surabaya maka dampak dari itu akan terkena ke seluruh kota, yang menjadi persoalan adalah apakah bangunan warga sudah siap juga pemetaan jenis tanah? Di antaranya dengan pengaturan tata ruang wilayah. Jika desain dan standar bangunan jelek atau tidak sesuai dengan aturan tahan gempa, dan lapisan tanah di bawahnya lembek atau lunak, maka masuk kategori kawasan risiko bencana gempa tinggi.
“Penilaian kualitas bangunan dan sifat fisik tanah di kawasan Surabaya sangat penting, setelah melakukan penilaian, kemudian dibuat zonasi kawasan berisiko. Selain itu, konstruksi bangunan harus memenuhi standar tahan gempa sesuai dengan UU 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung,” jelasnya.
Amien menjelaskan, setiap kabupaten/kota seharusnya diwajibkan membuat sebuah peta rawan bencana dan juga rencana untuk penanggulangan bencana di daerahnya masing-masing. Ini untuk mengantisipasi sejak dini langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menghadapi suatu bencana. Persiapan itu juga bisa dilakukan pada calon ibu kota baru di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur termasuk wilayah yang berpotensi banjir dan tsunami.
“Berbagai kejadian bencana seperti gempa, tsunami, tanah longsor maupun banjir sudah berulang kali terjadi, semestinya kita jadi ahli di bidang kebencanaan itu. Tapi kenyataannya justru sebaliknya. Masyarakat Indonesia tetap tidak ahli dan terus jatuh korban, kerusakan dan kerugian akibat bencana. Bila masyarakat sudah dilatih untuk waspada terhadap bencana sejak dini dan tahu bagaimana menghadapi bencana dengan baik, tentunya hal itu tak akan lagi banyak terjadi,” pungkasnya.
Siap untuk Selamat
Masyarakat Tangguh Indonesia, Elin dalam talkshow yang sama menjelaskan, salah satu penyebab semakin parahnya dampak bencana adalah lemahnya strategi mitigasi bencana yang melibatkan masyarakat secara aktif. Oleh karena itu kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat diperlukan untuk mengurangi risiko bencana yang terjadi. Sebenarnya kegiatan mitigasi bencana dapat dimulai dari unit terkecil, yaitu individu.
“Hal krusial yang perlu dilakukan adalah mengubah pola pikir masyarakat menjadi masyarakat yang tangguh dalam menghadapi bencana. Usaha ini bisa dimulai dengan mengidentifikasi potensi bencana di sekitar kita. Setelah itu, kita perlu mengetahui langkah awal yang harus dilakukan sebelum bencana terjadi, ketika, dan setelah bencana terjadi. Hal ini berpeluang besar membantu penyelamatan dan perlindungan diri,” ucapnya.
Masyarakat tidak boleh hanya berpangku tangan menunggu inisiasi pemerintah dalam hal edukasi kesiapsiagaan bencana. Usaha mengurangi dampak bencana bisa mulai dilakukan dengan mengedukasi diri sendiri dan orang terdekat. Setelah hal itu dilakukan, edukasi masyarakat sekitar juga perlu dilakukan, karena partisipasi aktif masyarakat dalam hal tanggap bencana terbukti berperan penting dalam mengurangi kerugian akibat bencana di Jepang, negara yang juga rawan akan bencana.
Karena itu, kesiapsiagaan dan keterampilan masyarakat, khususnya keluarga menjadi kunci utama keselamatan dalam menghadapi bencana. Sehingga menjadi penting untuk mewujudkan keluarga tangguh bencana di seluruh Indonesia,” tutupnya.
Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir