Suaramuslim.net – Umat Islam Indonesia dewasa ini tengah dihadapkan pada “perang nonfisik” yang disebut ghazwul fikr (perang pemikiran). Perang pemikiran ini berdampak luas terhadap ajaran, kepercayaan dan keberagamaan umat. Adalah paham sekularisme dan liberalisme agama, dua pemikiran yang datang dari Barat, yang akhir-akhir ini telah berkembang di kalangan kelompok tertentu di Indonesia. Dua aliran pemikiran tersebut telah menyimpang dari sendi-sendi ajaran Islam dan merusak keyakinan serta pemahaman masyarakat terhadap ajaran agama Islam.
Sekularisme dan Liberalisme Agama yang telah membelokkan ajaran Islam sedemikian rupa telah menimbulkan keraguan umat terhadap akidah dan syariat Islam; seperti pemikiran tentang relativisme agama, penafian dan pengingkaran adanya hukum Allah (syariat) serta menggantikannya dengan hukum-hukum hasil pemikiran akal semata. Penafsiran agama secara bebas dan tanpa kaidah penuntun ini telah melahirkan pula paham Ibahiyah (menghalalkan segala tindakan) yang berkaitan dengan etika dan agama serta dampak lainnya.
Berdasarkan realitas ini, MUI memandang perlu bersikap tegas terhadap berkembangnya pemikiran sekuler dan liberal di Indonesia. Untuk itu, MUI mengeluarkan fatwa tentang sekularisme dan liberalisme agama.
Sejalan dengan berkembangnya sekularisme dan liberalisme agama juga berkembang paham pluralisme agama. Pluralisme agama tidak lagi dimaknai adanya kemajemukan agama, tetapi menyamakan semua agama. Dalam pandangan pluralisme agama, semua agama adalah sama. Relativisme agama semacam ini jelas dapat mendangkalkan keyakinan akidah.
Hasil dialog antar umat beragama di Indonesia yang dipelopori oleh Prof. DR. H. A. Mukti Ali, tahun 1970-an, paham pluralisme dengan pengertian setuju untuk berbeda (agree in disagreement) serta adanya klaim kebenaran masing-masing agama telah dibelokkan kepada paham sinkretisme (penyampuradukan ajaran agama), bahwa semua agama sama benar dan baik, dan hidup beragama dinisbatkan seperti memakai baju dan boleh berganti-ganti.
Paham pluralisme agama seperti ini tanpa banyak mendapat perhatian dari para ulama dan tokoh umat telah disebarkan secara aktif ke tengah umat dan dipahami oleh masyarakat sebagaimana maksud para penganjurnya. Paham ini juga menyelusup jauh ke pusat-pusat/lembaga pendidikan umat.
Itulah sebabnya Munas VII Majelis Ulama Indonesia merasa perlu merespons usul para ulama dari berbagai daerah agar MUI mengeluarkan fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme agama sebagai tuntunan dan bimbingan kepada umat untuk tidak mengikuti paham-paham tersebut.
Fatwa mengenai Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama dibagi menjadi dua bagian, yakni Ketentuan Umum dan Ketentuan Hukum. Kedua bagian tersebut merupakan satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Karena secara substansial ketetapan hukum yang disebutkan dalam bagian kedua menunjuk kepada definisi dan pengertian yang disebutkan pada bagian pertama. Definisi dalam fatwa tersebut bersifat empirik, bukan definisi akademis.
Dimaksud bersifat empirik adalah bahwa definisi pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama dalam fatwa ini adalah faham (isme) yang hidup dan dipahami oleh masyarakat sebagaimana diuraikan di atas. Oleh sebab itu, definisi tentang pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama sebagaimana dirumuskan oleh para ulama peserta Munas VII MUI bukanlah definisi yang mengada-ada, tapi untuk merespons apa yang selama ini telah disebarluaskan oleh para pluralis, liberalis dan sekularis agama.
Bahkan para penganjur pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama juga telah bertindak terlalu jauh dengan menganggap bahwa banyak ayat al-Qur’an sudah tidak relevan lagi, seperti larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan laki-laki non-Islam sudah tidak relevan lagi.
Mereka juga menganggap bahwa al-Qur’an itu bukanlah firman Allah tetapi hanya merupakan teks biasa seperti halnya teks-teks lainnya, bahkan dianggap sebagai angan-angan teologis (al-khayal al-dini). Misalnya, seperti yang dikemukakan oleh aktivis Islam liberal dalam website mereka yang berbunyi: ”Sebagian besar kaum muslimin meyakini bahwa al-Qur’an dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafzhan) maupun maknanya (ma’nan). Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam.”
Masih banyak lagi pernyataan-pernyataan “aneh” yang mereka kemukakan.
Fatwa MUI menegaskan pula bahwa pluralisme agama berbeda dengan pluralitas agama, karena pluralitas agama berarti kemajemukan agama. Banyaknya agama-agama di Indonesia merupakan sebuah kenyataan di mana semua warga negara, termasuk umat Islam Indonesia, harus menerimanya sebagai suatu keniscayaan dan menyikapinya dengan toleransi dan hidup berdampingan secara damai.
Pluralitas agama merupakan hukum sejarah (sunnatullah) yang tidak mungkin terelakkan keberadaannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Fatwa MUI tentang pluralisme agama ini dimaksudkan untuk membantah berkembangnya paham relativisme agama, yaitu bahwa kebenaran suatu agama bersifat relatif dan tidak absolut.
Fatwa ini justru menegaskan bahwa masing-masing agama dapat mengklaim kebenaran agamanya (claim-truth) sendiri-sendiri tapi tetap berkomitmen saling menghargai satu sama lain dan mewujudkan keharmonisan hubungan antar para pemeluknya.