Suaramuslim.net – Jika di dalam teori sosial, menilai status seseorang berdasarkan stratifikasi sosial atau tingkatan status dalam masyarakat. Islam justru tidak pernah membedakan ataupun mengelompokkan seseorang berdasarkan status maupun kedudukan. Berikut ulasannya.
Surat Al Hujurat ayat 13 adalah ayat yang diturunkah oleh Allah subhanahu wa ta’ala yang menegaskan persamaan kedudukan manusia. Dalam ayat itu, yang menjadi pembeda bukanlah tingkat kekayaan, suku bangsa, melainkan tingkat ketakwaan yang diwujudkan dari baiknya hubungan manusia itu kepada Tuhannya dan kepada sesamanya.
Setiap ayat yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala menyampaikan pesan dan aturan bagi seluruh muslim yang terkandung dalam tafsir Al-Quran tersebut. Dilansir dari laman ibnukatsironline, terdapat beberapa hal yang dapat dipelajari dari surat Al Hujurat ayat 13.
Menjelaskan Penciptaan Manusia yaitu Laki-laki dan Perempuan
Allah ta’ala mengingatkan asal-usul manusia, bahwa mereka semua adalah ciptaan-Nya yang bermula dari seorang laki-laki dan seorang perempuan (min dzakar wa untsâ). Menurut para mufassir, dzakar wa untsâ ini, maksudnya adalah Adam dan Hawa. Seluruh manusia berpangkal pada bapak dan ibu yang sama, karena itu kedudukan manusia dari segi nasabnya pun setara. Konsekuensinya, dalam hal nasab, mereka tidak boleh saling membanggakan diri dan merasa lebih mulia daripada yang lain.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala, Inna khalaqnâkum min dzakar wa untsâ, menegaskan bahwa tidak ada keunggulan seseorang atas lainnya disebabkan perkara sebelum kejadiannya. Dari segi bahan dasar (asal-usul), mereka semua berasal dari orangtua yang sama, yakni Adam dan Hawa. Dari segi pembuatnya, semua diciptakan oleh Dzat yang sama, Allah subhanahu wa ta’ala. Perbedaan antara lelaki dan perempuan bukanlah karena faktor sebelum kejadiannya, namun karena faktor-faktor lain yang mereka peroleh atau mereka hasilkan setelah mereka menjadi manusia. Perkara paling mulia yang mereka hasilkan itu adalah ketakwaan dan kedekatan mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Perbedaan untuk Saling Mengenal
Ayat ini menegaskan, dijadikannya manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling mengenal satu sama lain (lita’ârafû). Menurut al-Baghawi dan al-Khazin, ta‘âruf itu dimaksudkan agar setiap orang dapat mengenali dekat atau jauhnya nasabnya dengan pihak lain, bukan untuk saling mengingkari. Berdasarkan ayat ini, Abd ar-Rahman as-Sa’di menyatakan bahwa mengetahui nasab-nasab merupakan perkara yang dituntut syariat. Sebab, manusia dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku memang untuk itu. Karena itu, seseorang tidak diperbolehkan menasabkan diri kepada selain orangtuanya.
Dengan mengetahui nasab, berbagai hukum dapat diselesaikan, seperti hukum menyambung silaturahmi dengan orang yang memiliki hak atasnya, hukum pernikahan, pewarisan, dan sebagainya. Di samping itu, ta’aruf juga berguna untuk saling bantu. Dengan saling membantu antar individu, bangunan masyarakat yang baik dan bahagia dapat diwujudkan.
Mengikis Fanatisme Golongan
Ayat ini, diturunkan untuk mengikis sentimen dan fanatisme golongan yang berdampak pada perpecahan. Firman Allah ini menentang segala hal yang mengunggulkan kelompok manusia atas dasar apapun. Berbagai perbedaan seharusnya digunakan untuk upaya saling mengenal: lita’ârafû.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjadikan ayat ini sebagai dalil untuk mencabut paham jahiliyah ini dari kaum muslim. Dari Ibnu Umar beliau bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah melenyapkan dari kalian kesombongan jahiliyah dan saling berbangga karena nenek moyang. Manusia itu ada dua kelompok. Ada yang shalih, bertakwa, dan mulia di hadapan Allah. Ada pula yang fasik, celaka, dan hina di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Manusia itu diciptakan Allah dari Adam dan Adam dari tanah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘Yâ ayyuhâ an-nâs innâ khalaqnâkum min dzakar wa untsâ….’” (HR at-Tirmidzi).
Allah subhanahu wa ta’ala menggunakan kata khalaqnâ (Kami menciptakan) dan ja‘alnâ (Kami menjadikan), yang menunjukkan tiadanya andil manusia di dalamnya. Karena itu, sewajarnya manusia tidak dinilai karena aspek tersebut. (muf/smn)