JAKARTA (Suaramuslim.net) – Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) menilai politik ekonomi Indonesia yang banyak bergantung pada ekstrasi sumber daya alam dan pengejaran rente dari tanah, membuat akuisisi lahan skala luas oleh korporasi dan alih fungsi lahan pertanian secara masif untuk kepentingan residensial dan industri berjalan cepat.
“Di berbagai daerah, kini terjadi perubahan drastis dalam penggunaan tanah seiring pemberian konsesi pengelolaan jutaan hektar tanah ke segelintir pemilik modal besar. Konversi lahan dari lahan hutan dan pertanian menjadi aktivitas perkebunan dan pertambangan sangat masif terjadi.” Ujar Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS, pada diskusi pemaparan hasil riset #IDEASTalk yang bertajuk ‘Tanah Untuk Rakyat dan Utopia Reforma Agraria’ di Jakarta, Selasa (15/10).
Berdasarkan data yang dihimpun IDEAS, pada 2016, luas perkebunan kelapa sawit yang 20 tahun lalu di kisaran 3 juta hektar dan kini telah menembus 12 juta hektar, 3,16 juta hektar di antaranya dikuasai hanya oleh 15 perusahaan besar swasta.
Di saat yang sama, 66 perusahaan mendapat hak pengelolaan hutan alam dan tanaman industri seluas 12,32 juta hektar, serta 60 perusahaan tambang swasta mendapat hak pengelolaan mineral dan batu bara seluas 3,97 juta hektar.
Penguasaan lahan paling masif terjadi di sektor pertambangan migas. Pada 2016, terdapat 65 perusahaan migas mendapat hak konsesi ladang minyak dan gas bumi seluas 16,65 juta hektar.
Yusuf Wibisono memaparkan terdapat jutaan hektar lahan hutan dan pertanian dikonversi menjadi ladang perkebunan dan pertambangan kerap menghasilkan konflik serta menciptakan tekanan yang semakin berat pada kesejahteraan masyarakat miskin yang menggantungkan dirinya pada tanah untuk ketahanan pangan dan sumber penghidupannya.
“Dari catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam rentang 7 tahun terakhir (2011-2018), telah terjadi 2.973 kasus konflik agraria yang menyebabkan 106 orang meninggal, 841 orang luka-luka dan 1.691 orang ditahan, umumnya akibat kekerasan aparat negara dan preman bayaran.
Konflik agraria antara warga dengan perusahaan swasta dan pemerintah, didominasi konflik di sektor perkebunan, infrastruktur, properti, kehutanan dan pertambangan. Kebijakan pertanahan seharusnya berperan krusial dalam konflik agraria ini, dengan menyediakan aset kolektif bagi masyarakat, menjaga rasa keadilan publik, meredistribusi tanah produktif sekaligus melindungi lingkungan hidup,” ujar Yusuf.
Pada diskusi pemaparan hasil #IDEASTalk tersebut, Peneliti IDEAS Firda Amalia memberikan setidaknya dua contoh konflik agraria antara rakyat dan korporasi besar yang saat ini kasusnya ditangani oleh Pusat Bantuan Hukum (PBH) Dompet Dhuafa yaitu Kasus Petani Teluk Jambe, Karawang dan Kasus Petambak Bratasena, Tulang Bawang, Lampung.
“Konflik agraria di Teluk Jambe mencakup areal di 10 desa dan 4 kecamatan dan melibatkan sekitar 600 Kepala Keluarga Petani di Kabupaten Karawang ini, pecah sejak 2013 ketika PT Pertiwi Lestari secara paksa memagari lahan yang telah puluhan tahun digarap warga. Eskalasi konflik memuncak pada 2016-2017. Kasus konflik agraria terjadi pula di Tulang Bawang, Lampung, petambak yang terusir ini bertahun-tahun menjadi pengungsi di desa sekitar. Upaya hukum untuk kembali ke tambak selalu menemui kegagalan. Berbagai audiensi dan dengar pendapat dengan pihak berwenang juga tidak memberikan hasil,” tutur Firda Amalia.
Atas nama investasi dan penciptaan lapangan kerja, arus kapital besar yang mengeksploitasi sumber daya alam dan tanah di sektor perkebunan, kehutanan dan pertambangan ini didukung oleh intervensi pemerintah. Namun terlalu sering investasi swasta skala besar diiringi dengan pemindahan sejumlah besar orang secara paksa, gagal menciptakan lapangan kerja secara luas dan tidak membangun infrastruktur yang dijanjikan untuk masyarakat lokal.
IDEAS mengidentifikasi setidaknya terdapat 168 investor besar, baik swasta maupun negara, yang melakukan akuisisi lahan skala besar di atas 100 ribu hektar di sektor pertambangan, kehutanan dan perkebunan sawit yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia.
“Reforma agraria memiliki tujuan utama untuk menurunkan kemiskinan dengan meningkatkan kepemilikan lahan bagi rakyat miskin. Tanah adalah aset produktif utama bagi rakyat miskin. Ketiadaan lahan membatasi masyarakat miskin untuk mendapatkan penghasilan dari tanah termasuk usaha pertanian. Minimnya lapangan kerja membuat masyarakat miskin semakin sulit lepas dari jerat kemiskinan. Sehingga reforma agraria menjadi kebutuhan yang mendesak saat ini demi terciptanya kesejahteraan rakyat,” tutup Firda Amalia.
Reporter: Ali Hasibuan
Editor: Muhammad Nashir